Selasa, 27 April 2010
USAHA DAN DOA
Sejak mendengar kabar dari Kang Karyo, hati Gus Muh gundah. Ia sadar bahwa ia bukanlah orang yang berhak mengatur keinginan warga untuk membelanjakan harta mereka, termasuk beli mobil. Apalagi, dirinya bukanlah orang kaya lagi terpandang. Tetapi, mengingat adanya gejala kurang sehat yang dialami para tetangganya, hatinya tergerak untuk sekedar ikut serta mencarikan solusinya. Bagaimanapun juga, sikap cuek tidak akan menyelesaikan masalah, malah justru akan menyesatkan kawan-kawannya itu lebih jauh.
Langkah pertama yang hendak dilakukan Gus Muh adalah mendekati pak Sembung yang kabarnya gelisah karena tuntutan istrinya yang ingin beli mobil. Beberapa saat, ia merenung cara yang tepat untuk menggali informasi lebih dalam tanpa ada kesan ikut campur urusan orang lain. Ia harus berhati-hati menata kalimat supaya misinya dapat tercapai. Setelah bulat tekadnya, ia mendatangi rumah pak Sembung sehabis shalat asar.
Gus Muh mengetok pintu dan mengucap salam. pak Sembung yang asik nonton sepak bola di layar TV sedikit terkejut melihat kehadiran Gus Muh.
"Monggo, Gus, silakan duduk! Wah, ada angin apa nih kok tumben sore-sore begini Gus Muh sudah jalan-jalan?" sambut pak Sembung ramah.
"Ya, saya udah lama nggak bertemu pak Sembung. Masih jualan di pasar, tho?" jawab Gus Muh.
"Masih, Gus. Meskipun sekarang penghasilan saya tidak seperti dulu. Tapi, alhamdulillah, masih bisa bertahan hidup." Pak Sembung adalah pemilik kios kecil di pasar yang menyediakan barang pecah belah. Ia telah 10 tahun menekuni usaha itu.
"Gimana kabar, bu Sembung, baik, kan?"
"Ya, begitulah, Gus! Kami sedang kurang kompak. Istri saya sekarang sedang pulang ke orang tuanya karena malu ketemu tetangga."
"Lho, kok, bisa malu, gimana ceritanya? Tapi, maaf, bukan maksud saya turut campur masalah pak Sembung."
"Saya malah beruntung, Gus Muh datang ke sini. Setidaknya saya bisa curhat dengan Jenengan. Saya pusing, Gus. Istri saya belakangan ini sering ngambek. Ia pingin punya mobil seperti bu Toni. Istri saya itu orangnya nggak mau kalah sama teman-temannya, apalagi satu dusun seperti ini. Makanya, karena ia pernah bilang kalau bulan ini kami akan beli mobil tetapi keuangan kami jelas nggak mungkin, maka ia kini memilih lebih baik tinggal sama orang tuanya di kampung."
"Oalah...." ucap Gus Muh menimpali.
"Trus, saya harus bagimana, Gus?"
"Pak Sembung, cobaan orang memang berbeda-beda. Salah satunya adalah ujian kekayaan. Menurut Ustad Usman waktu khutbah Jumat yang lalu, kita harus pandai-pandai mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan. Kita harus bisa bersikap lebih arif, dengan sering melihat ke bawah untuk urusan-urusan keduniaan. Misalnya, dalam hal mobil, mestinya kita melihat orang-orang yang tidak memiliki mobil, bukan malah membandingkan diri kita dengan mereka yang telah memiliki mobil. Dengan begitu, akan muncul rasa syukur dalam hati bahwa Allah saat ini telah memberikan motor kepada kita sehingga kita tidak perlu capek-capek mengayuh sepeda saat bepergian. Hati kita akan damai dan bahagia."
"Betul, Gus. Tapi, itu tidak berlaku untuk istri saya. Ia tidak bisa tenang ketika ada kawannya yang berhasil membeli sesuatu yang melebihi miliknya. Seperti sekarang ini, ia memaksa saya untuk segera mencari mobil agar tidak ketinggalan dengan temannya."
"Memang, keinginan untuk memiliki harta banyak dan fasilitas lengkap tidak ada salahnya. Namun, seharusnya kita mampu mengukur kadar kekuatan kita. Dalam kondisi seperti ini, kita harus bekerja lebih keras lagi dan berdoa kepada Allah agar kita mudah menjemput rezekinya. Kita harus yakin, bahwa Allah Maha Kaya. Ia akan mengabulkan permohonan hamba-Nya selama hamba itu bersungguh-sungguh dalam mengejar impiannya, baik dalam usaha maupun pendekatan diri kepada-Nya."
Pak Sembung diam sesaat. Ia mencoba mencerna kalimat-kalimat Gus Muh yang penuh arti. Tumbuh semangat baru dalam kalbunya, ia akan dapat menyadarkan istrinya yang sering tertipu oleh gemerlapnya dunia. Ia jadi malu kepada Gus Muh karena memang selama ini ia hanya mengandalkan usaha keras tetapi kurang berdoa. Ia telah lama meninggalkan shalat. Pantas saja, ia sepertinya kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Tanpa sadar, air mata beningnya menetes.
"Terima kasih, Gus. Saya jadi sadar sekarang." Pak Sembung terisak sambil tersenyum.
Gus Muh pun ikut gembira.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar