“Ayolah bermimpi dan terus berkarya…!” begitu inti pesan singkat Andrea Hirata dalam sebuah percakapan denganku beberapa waktu lalu, persis seperti yang ia tuangkan dalam novel larisnya, “Sang Pemimpi.” Ia tiada segan memotivasiku untuk menelurkan karya-karya besar meski bukan pada bidangku. Ia bak seorang kakak lelaki yang mendorong adiknya mendalami pelajaran bahasa Indonesia. Ia menyarankanku untuk membuat tulisan yang bisa dikonsumsi masyarakat lebih luas sehingga manfaatnya berlipatganda. Ia bahkan siap membantu mencarikan penerbit jika ada karya yang sudah siap dipublikasikan. Hemm, tulus sekali, bukan?
Berkaca sepuluh tahun lalu, Andrea bukanlah siapa-siapa. Dia hanya seorang pegawai Telkom yang berpindah-pindah tugas dari Malang, lalu ke Surabaya, Medan, dan akhirnya berlabuh di Bandung. Ia bahkan pernah jadi salah satu relawan saat bencana Tsunami melanda Aceh. Sejak novel pertamanya yang berjudul “Laskar Pelangi” meledak di pasaran, Andrea kian terbenam dalam mimpi-mimpinya menjadi penulis top dunia. Hari-harinya selalu diisi dengan merenung dan menulis. Satu demi satu karya spektakulernya pun menyapa pembaca. Berkat kegigihan dan kesungguhan hatinya, ia akhirnya terpilih menjadi duta bangsa dalam acara bergensi “Internasional Writing Program 2010”, sekolah sastra nomor satu dunia, yang dihelat di Iowa.
Andrea memang hebat. Semangat menulisnya tidak pernah padam. Ia bagaikan letupan bara api yang selalu benderang menyinari lingkungan sekitarnya. Bahkan kalau mungkin, ia ingin menggeser posisi mentari yang setia memberikan ruh kehangatan dan kehidupan alam semesta. Setiap saat ia begitu intim bergumul dengan laptop mungilnya yang selalu tersedia di tas ransel kesayangannya.
Beberapa kali ia sempat singgah ke apartemenku untuk sekadar rehat sambil bercerita ke sana kemari. Ia pun berkisah kalau pada minggu ini ia mendapat tawaran super istimewa dari agen buku Amerika yang ingin menerbitkan karyanya edisi bahasa Inggris. Agen ini bukan sembarang penerbit. Tidak gampang sebuah buku mendapat sambutan luar biasa dan bahkan didatangi oleh agen ternama dari pusatnya sastra internasional. Inilah sebuah capaian sangat membanggakan yang telah diraih oleh anak negeri!
Lalu apa resepnya jadi sastrawan besar sekaliber Andrea? Dari penuturannya, sebenarnya tidak ada ramuan khusus untuk menjadi penulis tenar. Ia hanya membocorkan satu rahasia bahwa jiwanya memang sejak kecil sudah terbiasa hidup di dunia kaum Melayu yang suka berpantun. Bahkan, apabila sang ibunda meluapkan kemarahan padanya, beliau sering mengungkapkannya dalam bait-bait syair yang kental sekali aroma sastranya. Jadi, pengalaman hidup semacam inilah yang memicu bersarangnya jiwa pujangga dalam lubuk hatinya. Wajar jika kemudian Andrea yang mengaku belum pernah menulis di koran ataupun majalah mampu melahirkan karya satra yang menguncang dunia buku Indonesia yang kini getarannya sudah dirasakan di mancanegara.
Pertapaan Andrea di Iowa nampaknya akan segera berakhir. Andrea akan kembali ke tanah air pertengahan bulan November ini. Sekarang, setelah mendapat polesan lembut dari para punggawa sastra dunia, Andrea berjanji akan menumpahkan seluruh ilmu sastranya dalam karya-karyanya. Didikan para pemenang nobel selama kuliah tiga bulan itu tak akan disia-siakannya. Ia ingin menyuguhkan hidangan baru yang lezat dan benar-benar “nyastra.” Jadi, kini saatnya kita menunggu gebrakan sajian baru hasil metamorphosis Andrea Hirata dalam beberapa waktu mendatang! Selamat menikmati….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar