Kunjungan Obama ke Indonesia pada dasarnya banyak memberikan rasa gembira bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Maklum, pulangnya si anak Menteng itu dianggap sebagai salah satu bentuk apresiasi kepada sebuah bangsa yang pernah memberikan satu penggal kisah perjalanan hidup presiden negara adidaya itu. Di balik kemewahan pesta penyambutan presiden Amerika itu, ternyata masih ada satu persitiwa yang cukup unik, yakni terkait dengan prosesi jabat tangan Obama dan istrinya itu dengan para anggota kabinet bersatu. Masalahnya adalah Tifatul Sembiring, mantan ketua partai PKS itu, masuk di deretan jajaran para menteri sehingga mau tidak mau ia harus ikut jabat tangan juga dengan Michelle Obama. Sebagaimana diketahui, PKS adalah sebuah partai politik yang mengusung paham Islam Fundamental yang sangat ketat menjaga jarak kontak fisik dengan lawan jenis yang bukan mahram.
Larangan jabat tangan laki-laki-perempuan bukan keluarga di kalangan muslim fundamental menjadi sebuah paham yang krusial. Jabat tangan dengan istri orang lain, sebagai misal, dianggap hal yang tabu. Alasan dasarnya adalah bahwa jabat tangan itu berpotensi untuk memicu kontak fisik yang lain sehingga bisa membawa pelakunya ke jurang perzinahan. Dalil kuat yang mendukung itu adalah sebuah ayat al-Qur’an yang mengingatkan kepada umat Islam untuk tidak mendekati zina karena zina merupakan jalan yang kotor dan seburuk-buruknya perilaku. Jabat tangan semacam tadi termasuk perilaku mendekati zina. Dengan kata lain, ‘handshake’ antara laki-laki perempuan bukan mahram bisa dianggap awal dari zina.
Ketika tokoh Fundamental sekaliber Tifatul bersentuhan tangan dengan Michelle Obama, banyak masyarakat kita yang berkomentar. Sebagian dari mereka menyayangkan kejadian itu karena dalam soal yang prinsip semestinya tidak ada kompromi. Tifatul seyogyanya bisa menghindar secara arif dengan tidak mengulurkan tangan dan hanya merapatkan kedua telapak tangannya di dadanya sambil berkata, “Sorry, I cannot shake your hand”. Atau, paling ekstrim dan lebih aman, dia tidak usah datang ke acara tersebut. Di pihak lain, ada orang-orang yang mengolok-oloknya karena dianggap tidak konsisten dengan gaya hidupnya yang ’suci’.
Apapun pandangan orang, peristiwa jabat tangan itu sudah terjadi. Itu artinya kita harus bisa mendudukkan perkara pada konteksnya. Bagi saya, posisi Tifatul yang berada dalam sebuah upacara terhormat itu bisa dianggap darurat. Darurat bisa memberikan satu pintu jalan keluar agar tidak membuat kemadaratan lebih besar. Misalnya, ketika Tifatul menolak jabat tangan dengan istri Obama, padahal baru saja ia jabat tangan dan bertegur sapa dengan Obama, maka sikap itu akan sangat mengejutkan dan akan memberikan impresi negatif kepada Michelle. Oleh sebab itu, tatkala Tifatul dengan ’terpaksa’ menjabat tangan Michelle dapat dianggap sebagai salah satu penghormatan demi terciptanya susana harmonis. Ia bisa berdalih bahwa darurat bisa memberikan satu pintu solusi cerdas, persis dengan kondisi jamaah haji kita di Makkah saat ini.
Sayangnya, Tifatul berkomentar lain. Dia bersikeras bahwa Michelle-lah yang memaksanya untuk jabat tangan. Padahal dalam rekaman video itu ( http://news.yahoo.com/s/yblog_upshot/20101109/pl_yblog_upshot/first-ladys-handshake-with-conservative-indonesian-muslim-raises-eyebrows), Tifatul sama sekali tidak menunjukkan ekspresi menghindar, sangat berbeda dengan apa yang dia katakan kepada pers. Nah, barangkali, di sinilah perlunya kedewasaan kita dalam menyikapi masalah itu. Perkara hati biarlah jadi urusan Tifatul dan Tuhannya. Kita anggap saja bahwa Tifatul berbuat itu hanya sebagai bentuk rasa hormat kepada sesama manusia, khususnya dalam posisi darurat. Dan dengan begitu, selesai sudah urusan. Adapun ketika perilaku itu dianggap sebagai bentuk sikap munafik, wah kita harus hati-hati agar tidak mudah menghakimi seseorang. Jangan-jangan kita ini juga termasuk golongan itu. Kita pasti tahu bahwa manusia memang tempat salah dan lupa. Semoga saja jika demikian, dia (dan kita juga yang ikut mengolok-oloknya) bisa segera bertobat. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar