Minggu, 28 November 2010

MANAJEMEN HATI SAAT TIADA SIMPATI

Siapa yang tidak panas telinga plus hatinya ketika mendapat kritik tajam nan menggelegar? Pastilah hati menjadi ciut, pandangan mata tertutup kabut, dan semangat pun langsung surut. Segala usaha nampaknya sia-sia belaka. Percuma cucuran keringat, tak ada gunanya banting tulang, dan mubazir begitu saja perjuangan berdarah-darah. Pahit dan getir tak terkira rasanya. Mereka yang punya kebiasaan merendahkan memang begitu puas ketika korbannya kelimpungan dan jatuh tersungkur oleh cemoohannya. Namun, haruskah kita terkapar oleh hujatan kritik yang mengancurkan itu?

Jelas jawabannya adalah TIDAK.....!!!!!!!! (dengan huruf besar dan tanda seru seribu...). Mengapa demikian? Pastinya, lidah yang tak bertulang itu hanya ingin melihat kita tak berdaya. Mereka akan sorak-sorai karena berhasil menenggelamkan mimpi-mimpi kita yang dengan susah-payah kita bangun sedepa demi sedepa. Tentu, sikap mereka ini tak lain dan tak bukan karena dilandasi oleh rasa iri yang merupakan 'tanda tak mampu'. Bagi mereka yang bijak, tentunya saat melihat rekannya berhasil di satu bidang, ia akan 200% mendukungnya meskipun dirinya tidak mampu mencapainya, bukan malah menghujat dan mencampakkan kawannya itu. Jika tetap saja dengki, kedua-keduanya tidak akan merasakan manisnya kesuksesan. Mereka berdua hanya akan menjadi manusia biasa yang datar-datar saja hidupnya jika tidak malah keduanya hancur lebur.

Agar peristiwa yang merobek-robek kalbu itu tidak berefek panjang, para pejuang tangguh harus bermental baja. Ia tidak boleh putus asa ketika gelombang kritik menderanya. ia harus terus berjalan ke depan walau hembusan angin menerpanya. Ia harus kokoh tanpa goyang walau gempa kedengkian meluluhlantakkan pertahanan jiwanya. Ia harus tetap menjulang menatap langit sambil menunggu pertolongan kekuatan adidaya dari sang pencipta alam semesta. Ia tahu, dalam jalur perjuangan, proses menjaga hati agar istiqamah begitu pahit. Hampir dapat dikatakan bahwa "every process is awful and messy." Bukankah tak ada orang yang peduli dengan ulat dan kepompong? Bukanlah tak ada seorang pun yang suka makan tepung? Tapi ketika  kempompong telah berubah jadi kupu-kupu dan tepung telah matang menjadi donat, hampir semua orang akan berduyun-duyun untuk berburu dan menikmatinya. Itulah gambaran betapa 'jahatnya' sebuah proses. Jika seseorang tidak kuat mentalnya, ia tidak akan mampu mencapai titik kulminasi penciptaan dirinya. Ia hanya akan tetap menjadi ulat yang menjijikkan dan tepung yang terasa hambar selama-lamanya. Oleh sebab itu, bagi kita yang merasa dalam tahap "menjadi', tentunya sabetan ujung pedang kritik dan ancaman yang menghunjam ke pembuluh nadi tak akan bisa menghentikan begitu saja langkah kita untuk menuju puncak penciptaan yang penuh kejayaan.

Akhirnya, sudah menjadi konsekuensi hidup, banyak orang yang tak sepenuhnya mendukung dan peduli dengan nasib yang sedang kita alami. Senyuman sinis dan picingan mata penghinaan tak jarang dialamatkan kepada para pejuang yang sedang melalui 'proses menjadi'.  Semoga saja, kita diberi kekuatan untuk tetap bisa meluruskan pandangan ke depan karena ada satu impian yang ingin kita tunjukkan kepada dunia bahwa 'aku pun bisa melakukannya'. Okay, tetap semangat Bro....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction