Selasa, 21 Juli 2009

MENGAPA SULIT MENULIS?


Pertanyaan ini belakangan cukup mengganggu pikiran saya. Untuk ukuran seorang dosen, semestinya keluhan tersebut tidak perlu terjadi. Namun sayang, dalam lebih dari dua bulan terakhir ini, tren kreatifitas saya dalam menulis di blog nampak menurun. Saya juga agak heran. Padahal, dunia tulis-menulis merupakan salah satu hobi yang saya geluti sejak kecil. Dulu bermula di bangku madrasah ibtidaiyyah ketika tiba pelajaran mengarang, saya termasuk orang yang tak pernah kehabisan ide. Ada saja sebongkah gagasan yang dapat saya tuangkan sehingga hadir sebuah karya tulis, meskipun dalam bentuk sederhana. Bakat penting ini dalam setiap tahapnya telah teruji melalui banyak tantangan termasuk ketika harus menulis paper kelulusan madrasah aliyah, skripsi, dan dua tesis.

Saat menjadi mahasiswa, tulisan saya cukup sering dimuat di beberapa koran dan majalah. Jenis tulisan juga berfariasi, dari mulai artikel, resensi, puisi, hingga cerpen. Singkat cerita, saya termasuk orang yang layak masuk kategori bisa menulis. Namun patut disayangkan, kemampuan tersebut tanpa disadari tidak terasah secara istiqamah sehingga acapkali ketika akan menulis, muncul di benak saya, apakah saya masih bisa menghasilkan sebuah karya. Apalagi, saat ini, kesibukan saya sebagai seorang dosen, seorang mahasiswa, dan seorang kepala rumah tangga yang harus menemani dua anak saya yang masih balita, membuat saya merasa kehabisan waktu untuk hanya sekedar berinteraksi dengan komputer dan menumpahkan ide-ide yang tersumbat. Ingin rasanya saya merekam setiap jengkal sejarah kehidupan saya sehingga suatu saat jika ingin membuat sebuah biografi, saya tak perlu berlelah-lelah memeras otak hanya untuk mengingat-ingat aneka peristiwa yang pernah menghampiri saya. Ah, namun, ternyata bermodal semangat saja tidak cukup. Begitu pula berbekal kemampuan menulis saja juga tidak mumpuni. Ternyata ada satu hal yang telah lama hilang dan sekarang sedang saya cari, yaitu istiqamah. Istiqamah tidak hanya menicayakan semangat yang menyala dalam melakukan sesuatu, namun ada ketahanan hati untuk selalu memberikan sepenggal waktu untuk sekedar berbagi pikiran dalam baris-baris kalimat. Ketahanan hati ini ternyata permata yang mampu memancarkan cahaya meskipun lampu-lampu lain telah kian meredup. Ketahanan hati untuk memutuskan segara menulis dan bisa jadi menetapkan untuk berhenti menulis. Saat akan bangkit, ketahanan hati juga harus mendorong agar semangat itu tetap membara sehingga tak lekang oleh waktu dan tergilas oleh zaman. Dengan kata lain, sikap istiqamah merupakan kunci keberhasilan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk di dalamnya gairah menulis.

Saya terkadang tak habis pikir, kawan-kawan saya yang jago membuat tulisan dan paling kritis ketika mengomentari hasil karya orang lain, ternyata tidak mampu bertahan ketika dihadapkan dengan persoalan istiqamah. Semangat sih boleh, kecerdasan dalam mengkritik sih oke, tapi ketika harus membuat tulisan yang runtut dan berkualitas, mereka seringkali kebobolan. Mereka bisa jadi tergoda oleh sikap idealitas yang berlebihan sehingga tak ada sebuah karya pun yang dilahirkan. Alhasil, idealisme yang tak dibarengi dengan kepandaian membagi waktu dan berani berkata tidak ketika memang kekuatannya sudah menthok, akan berujung pada kepanikan diri yang membutakan sehingga hasilnya hanyalah nol besar. Untuk itu, keagungan moral yang dibalut dengan kesantunan juga menjadi salah satu kunci utama kesuksesan seseorang.

Ooo, barangkali itu yang sedang menghinggapi saya. Saya sangat mungkin sedang dijangkiti virus tidak istiqamah dan terlalu congkak. Oleh karenanya, saya menjadi kesulitan mencari ide dan selalu takut membuat kesalahan. Takut dikatakan jeleklah, takut dicibirlah, takut kehilangan popularitaslah, dan takut-takut lainnya. Wajar dong kalau kemudian saya tidak menghasilkan apa-apa sebab terlalu terbelenggu dengan pelbagai beban yang dibuat sendiri. Mungkin saat ini, saya harus lebih rileks, lebih jernih dalam menilai sesuatu, lebih tenang dalam mengamati, dan lebih tegar tatkala berhadapan dengan hujan kritik. Toh, kafilah pasti berlalu. Nah, tahulah saya sekarang bahwa untuk mengasah kemampuan menulis, saya harus membebaskan diri dari segala rantai pencengkeram kekebebasan saya. Saya harus merdeka untuk menulis, toh, kalaupun tidak ada yang mau membaca, tulisan itu akan tersimpan dalam file saya. Suatu saat, tulisan itu akan membangkitkan kenangan saya yang bisa jadi akan bermanfaat untuk mendorong semangat juang orang-orang yang ada di sekitar saya. Jadi, selamat menulis dengan kemerdekaan sepenuhnya! Ok, siaaap!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction