Dua hari yang lalu saya pergi ke Jakarta. Sudah hampir lima tahun saya meninggalkan ibu kota negara ini sejak ditugaskan untuk mengabdi di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang pada awal 2005. Hiruk pikuk kota yang begitu padat kadang membuat saya agak shock meskipun saya sebelumnya cukup lama tinggal di Jakarta, paling tidak 9 tahun. Satu fenomena yang cukup menarik bagi saya sekaligus memprihatinkan adalah kondisi kendaraan umum di sana. Kendaraan umum yang saya maksud adalah bis-bis dalam kota yang rata-rata kurang layak jalan. Saya akui bahwa banyak penumpang yang terpaksa naik bis-bis itu karena memang alternatifnya tidak ada lagi. Sebagai contoh, ketika saya ingin ke Ciputat, bis satu-satunya yang mengantar ke sana dari terminal Kampung Rambutan adalah metromini 510.
Sejak 15 tahun yang lalu ketika saya menginjakkan kaki di Jakarta, Metromini 510 nampaknya tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan, misalnya dicat atau digantikan oleh armada baru. Setiap hari, bis-bis itu selalu penuh dijejali penumpang, baik dari arah ciputat maupun dari arah kampung rambutan. Penumpang berebut temapt duduk yang memang terbatas jumlahnya. Apalagi kalau hari senin pagi, para pekerja dan mahasiswa rela antri dan menunggu keberangkatan bis hingga satu jam ke depan. Sebeneranya, ada satu alternatif cara untuk sampai ke ciputat, yakni dengan menaiki bis metromini 509. Hanya masalahnya, penumpang harus turun dulu di terminal lebak bulus. Dengan begitu ongkos yang harus dikeluarkan menjadi 2 kali lipat.
Setiap kali naik 510, saya harus siap-siap berdiri. Bis cepat penuh namun akan jalan jika segala sudut ruang bis terisi semua. Hampir-hampir, ruang untuk sirkulasi udara pun tidak ada karena saking penuhnya. Badan tidak dapat digerakkan ke kanan-kiri sama sekali. Bahkan, jika harus membah Alhasil, posisi berdiri pun harus berimpit dengan penumpang lain yang terus diisikan. Karena dikejar waktu, para penumpang nurut saja ketika sang kenek mengatakan, “Terus naik bang, terus masuk, kanan-kiri, kanan-kiri merapat-merapat…” udara panas Jakarta menyebabkan keringat berucuran, namun bis tetap tidak mau berangkat sampai penumpang meluber ke pintu. Kenek pasti kesulitan ketika akan menutup pintu sebelum masuk tol. Sebagian penumpang nyeletuk dengan kesal, “Kita ini seperti ikan asin aja, ditumpuk-tumpuk bersesakan…” bahkan seorang ibu ikut-ikutan mendamprat keneknya, “Bang, kalau mau nambah penumpang, taruh di atas tuh, masih kosong!”
Pemandangan semacam ini dari hari ke hari makin buruk saja. Entah, tidak ada tindakan dari pemerintah tentang penertiban ini. Mungkin mereka juga tak dapat berbuat apa-apa mengingat mereka belum bisa memberikan alternatif lain untuk kendaraan yang lebih nyaman. Jalur bus way belum menyentuh jalur Rambutan-Ciputat. Bangkali jika jalur ini sudah tersedia, kepadatan penumpang dalam metromini 510 dapat dikendalikan. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar