Jumat, 31 Juli 2009

WAKAF UANG: KAJIAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF SERTA IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA


A. Pendahuluan

Wakaf merupakan salah satu bentuk kegiatan ibadah yang sangat dianjurkan bagi umat Islam karena pahala wakaf akan selalu mengalir meskipun sang wakif telah wafat. Hal ini sebagaimana dinyatakan Rasulullah dalam sebuah hadis populer riwayat Ahmad (t.th./XIX: 10) dari Abu Hurairah, “Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah (termasuk wakaf), ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shaleh yang mendoakannya.”[1] Dengan wakaf, pundi-pundi amal seorang mukmin akan senantiasa bertambah hingga akhir zaman.

Menapaki jejak sejarah, keberadaan wakaf terbukti telah banyak membantu pengembangan dakwah Islam di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Sejumlah lembaga pendidikan, pondok pesantren maupun masjid di Indonesia banyak ditopang keberadaan dan kelangsungan hidupnya oleh wakaf. Hanya saja, jika wakaf pada masa lalu seringkali dikaitkan dengan benda-benda wakaf tidak bergerak, seperti tanah maupun bangunan, kini mulai dipikirkan wakaf dalam bentuk lain, misalnya wakaf uang (cash waqf) yang penggunaannya di samping untuk kepentingan tersebut, juga dapat dimanfaatkan secara fleksibel bagi pengembangan usaha produktif kaum lemah (Hafidhuddin, 2004: ix).

Potensi wakaf di Indonesia hingga kini masih cukup menggembirakan. Menurut data Direktorat Urusan Agama Islam, pada tahun 1999, jumlah tanah wakaf di seluruh Indonesia tercatat 1.477.111.015 m2 yang terdiri atas 349.296 lokasi. Pada tahun 2004, jumlah tanah wakaf tersebut meningkat menjadi 1.538.198.586 m2 yang terdiri atas 362.471 lokasi. Dengan demikian, dapat dilihat laju perkembangan obyek wakaf dalam lima tahun, lokasi wakaf bertambah 13.175 titik dengan luas 61.087.571 m2 (Karim, 2006: vii). Saat ini pada tahun 2009, jumlah tersebut tentu bertambah secara signifikan.[2]

Dengan berkembangnya zaman, wakaf tidak lagi hanya diasosiasikan pada obyek wakaf berupa tanah, akan tetapi sudah merambah kepada wakaf bentuk lain, sebagaimana telah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Secara terperinci, obyek wakaf di Lembar Negara RI Tahun 2004 Nomor 159 tersebut dijelaskan bahwa harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah (pasal 15). Harta benda wakaf terdiri atas benda tidak bergerak dan benda bergerak. Benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi: a) Uang; b) Logam mulia; c) Surat berharga; d) Kendaraan; e) Hak atas kekayaan intelektual; f) Hak sewa; dan g) Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 16). Dengan demikian, harta benda wakaf sudah mengalami pengembangan yang signifikan sehingga seseorang tidak perlu menunggu menjadi tuan tanah dahulu untuk melakukan wakaf. Ia bahkan dapat menyisihkan beberapa ribu rupiah saja untuk mengabadikan kekayaan dalam bentuk wakaf uang atau biasa juga disebut wakaf tunai. Wakaf uang akan menjadi fokus utama pembahasan dalam makalah ini.

Tulisan ini akan mengulas tentang wakaf uang dalam perspektif fiqh, hukum positif, dan implementasinya di Indonesia. Walau wakaf uang belum banyak dikenal dalam kitab-kitab klasik, namun paling tidak indikasi penerapannya sudah ada pada beberapa abad silam. Untuk itu ulasan tentang wakaf uang dalam perspektif fikih, baik klasik mapun modern, mendapat porsi penting dalam tulisan ini. Kemudian, pembahasan tentang wakaf uang dalam hukum positif akan merujuk kepada Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004. Pada akhir uraian, kajian tentang implementasi wakaf uang di Indonesia dengan mengambil sampel Tabung Wakaf Indonesia (TWI) akan melengkapi pembahasan ini.

B. Pembahasan

1. Wakaf Uang dalam Perspektif Fikih

a. Pengertian Wakaf

Wakaf secara bahasa berasal dari kata waqafa-yaqifu yang artinya berhenti, lawan dari kata istamarra (Warson, 1984: 1683). Kata ini sering disamakan dengan al-tah}bi>s atau al-tasbi>l yang bermakna al-h}abs ‘an tas}arruf, yakni mencegah dari mengelola (az-Zuhayli, t.th.: 7599).

Adapun secara istilah, wakaf menurut Abu Hanifah adalah menahan harta di bawah naungan pemiliknya disertai pemberian manfaat sebagai sedekah (h}abs al-‘aini ‘ala> milk al-wa>qif wa tas}adduq bi al-manfa‘ah) (al-Hasfaki, t.th./IV: 532). Kemudian, menurut Jumhur, wakaf adalah menahan harta yang memungkinkan untuk mengambil manfaat dengan tetapnya harta tersebut serta memutus pengelolaan dari wakif dan selainnya dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah (h}abs ma>l yumkinu al-‘intifa>‘ bihi>, ma‘a> baqa>’ ‘ainihi, bi qat}‘i at-tas}arruf min al-wa>qif wa gairihi, taqarruban ila> Alla>h) (az-Zuhayli, t.th.: 7601). Namun, menurut al-Kabisi, definisi yang lebih singkat namun padat (ja>mi‘ ma>ni‘) adalah definisi Ibnu Qudamah (t.th./VI: 187) yang mengadopsi langsung dari potongan hadis Rasulullah, yang berbunyi ‘menahan asal dan mengalirkan hasilnya’ (in syi’ta habasta as}laha> fa tas}addaq biha>) (al-Kabisi, 2004: 61). Hadis tersebut secara jelas dimuat antara lain dalam sunan at-Turmudzi (t.th./V: 388) dan Sunan Ibn Majah (t.th./VII: 325). Pendapat ini juga menjadi acuan dalam definisi wakaf dalam pandangan Tabung Wakaf Indonesia (Saidi, 2007: 2)

Untuk terlaksananya sebuah wakaf, perlu dipahami terlebih dahulu seputar masalah rukun wakaf. Dalam kitab-kitab klasik, semisal Raud}ah at-T{a>libi>n, disebutkan bahwa rukun wakaf ada empat hal, yakni wa>kif (subyek wakaf), mauqu>f (obyek wakaf), mauqu>f alaih (pengelola wakaf), dan s}i>gat (akad) (al-Nawawi, t.th./II: 252-256). Wakaf uang merupakan salah satu obyek wakaf yang dalam pandangan an-Nawawi didefinisikan sebagai setiap harta tertentu yang dimiliki dan memungkinkan untuk dipindahkan dan diambil manfaatnya (t.th./II: 253). Al-Khatib dalam kitab al-Iqna>’ mengartikan mauqu>f sebagai barang tertentu yang dapat diambil manfaatnya dengan tidak melenyapkan barang tersebut dan merupakan hak milik dari wakif (t.th./II: 73). Dengan demikian, obyek wakaf, termasuk wakaf uang, meliputi beberapa syarat sehingga layak menjadi barang yang diwakafkan.

Setidaknya, ada lima syarat yang harus dimiliki benda tersebut, seperti dilansir oleh al-Kabisi (2004: 247). Kelima syarat tersebut adalah bahwa harta wakaf memiliki nilai (ada harganya), harta wakaf jelas bentuknya, harta wakaf merupakan hak milik dari wakif, harta wakaf dapat diserahterimakan, dan harta wakaf harus terpisah. Wakaf uang yang biasanya berupa uang kontan (cash waqf) dalam hal ini secara konsep telah memenuhi kelima syarat tersebut.

b. Pengertian Wakaf Uang

Wakaf uang merupakan terjemahan langsung dari istilah Cash Waqf yang populer di Bangladesh, tempat A. Mannan menggagas idenya. Dalam beberapa literatur lain, Cash Waqf juga dimaknai sebagai wakaf tunai. Hanya saja, makna tunai ini sering disalahartikan sebagai lawan kata dari kredit, sehingga pemaknaan cash waqf sebagai wakaf tunai menjadi kurang pas. Untuk itu, dalam tulisan ini, cash waqf akan diterjemahkan sebagai wakaf uang, kecuali jika sudah termaktub dalam hukum positif dan penamaan produk, seperti Sertifikat Wakaf Tunai.

Selanjutnya, wakaf uang dalam definisi Departemen Agama (Djunaidi, 2007: 3) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang. Dengan demikian, wakaf uang merupakan salah satu bentuk wakaf yang diserahkan oleh seorang wakif kepada nadzir dalam bentuk uang kontan. Hal ini selaras dengan definisi wakaf yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (2003: 85)[3] tanggal 11 Mei 2002 saat merilis fatwa tentang wakaf uang.

حَبْسُ مَالٍ يُمْكِنُ اْلإِنُتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ بِقَطْعٍ فِى رَقَبَتِهِ عَلَى مَصْرَفٍ مُبَاحٍ مَوْجُوْد

Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyapnya bendanya atau pokoknya, dengan cara melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.

Dalam definisi di atas, wakaf tidak lagi terbatas pada benda yang tetap wujudnya, melainkan wakaf dapat berupa benda yang tetap nilainya atau pokoknya. Uang masuk dalam kategori benda yang tetap pokoknya. Dengan demikian, definisi MUI di atas memberikan legitimasi kebolehan wakaf uang.

c. Sejarah Wakaf Uang

Praktik wakaf telah dikenal sejak awal Islam. Bahkan, masyarakat sebelum Islam pun telah mempraktikkan sejenis wakaf, tapi dengan nama lain, bukan wakaf. Karena praktik sejenis wakaf telah ada sebelum Islam, tidak terlalu menyimpang kalau kemudian dikatakan bahwa wakaf adalah kelanjutan dari praktik masyarakat sebelum Islam (Ilchman, 2006). Dalam catatan sejarah Islam, wakaf tunai sudah dipraktikkan sejak awal abad kedua hijriyah. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (t.th./IX: 330),[4] bahwa imam al-Zuhri (w. 124 H) salah satu ulama terkemuka dan peletak dasar tadwi>n al-hadi>s memfatwakan, dianjurkannya wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana sosial, dakwah, dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah dengan menjadikannya uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.

Wakaf uang juga dikenal pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir. Pada masa itu, perkembangan wakaf sangat menggembirakan. Wakaf tidak hanya sebatas pada benda tidak bergerak, tapi juga benda bergerak semisal wakaf uang. Tahun 1178, dalam rangka menyejahterakan ulama dan kepentingan misi madhab Sunni, Salahuddin al-Ayyubi menetapkan kebijakan bahwa orang Kristen yang datang dari Iskandaria untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Tidak ada penjelasan, orang Kristen yang datang dari Iskandaria itu membayar bea cukai dalam bentuk barang atau uang. Namun lazimnya, bea cukai dibayar dalam bentuk uang. Uang hasil pembayaran bea cukai itu dikumpulkan dan diwakafkan kepada para fuqaha’ dan para keturunannya (Djunaidi, 2007, 12).

Selain memanfaatkan wakaf untuk kesejahteraan masyarakat seperti para ulama, dinasti Ayyubiyyah juga memanfaatkan wakaf untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya, yaitu madhab Sunni, dan mempertahankan kekuasaannya. Dinasti Ayyubiyah juga menjadikan harta milik negara yang berada di baitul mal sebagai modal untuk diwakafkan demi perkembangan madhab Sunni untuk menggantikan madhab Syi’ah yang di bawah dinasti sebelumnya, yaitu Fatimiyah (Djunaidi, 2007, 12).

Salahuddin al-Ayyubi juga banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa untuk pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’i, madrasah madhab Maliki, dan mazhab Hanafi dengan dana melalui model mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab Syafi’i dan kuburan Imam Syafi’i dengan cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil. (Djunaidi, 2007, 12)

Hukum mewakafkan harta milik negara seperti yang dilakukan salahuddin al-Ayyubi adalah boleh. Penguasa sebelum Salahuddin, Nuruddin asy-Syahid mewakafkan harta milik negara. Nuruddin mewakafkan harta milik negara, karena ada fatwa yang dikeluarkan oleh ulama pada masa itu, Ibnu Ishrun dan didukung oleh ulama lainnya, bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawa>z). Argumentasi kebolehannya ialah untuk memelihara dan menjaga kekayaan negara. (Djunaidi, 2007b, 13)

Dinasti Mamluk juga mengembangkan wakaf dengan pesatnya. Apa saja boleh diwakafkan dengan syarat dapat diambil manfaatnya. Tetapi, yang banyak diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan, dan tempat belajar. Juga, pada masa dinasti Mamluk terdapat hamba sahaya (budak) yang diwakafkan untuk merawat lembaga-lembaga agama. Misalnya, mewakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah (Djunaidi, 2007b, 13).

Di era modern ini, wakaf uang yang menjadi populer berkat sentuhan piawai M. A. Mannan (2001: 36) dengan berdirinya sebuah lembaga yang ia sebut Social Investment Bank Limited (SIBL) di Bangladesh yang memperkenalkan produk Sertifikat Wakaf Tunai untuk yang pertama kali di dunia. SIBL mengumpulkan dana dari para aghniya’ (orang kaya) untuk dikelola secara profesional sehingga menghasilkan keuntungan yang dapat disalurkan kepada para mustadh’afin (orang fakir miskin) (Djunaidi, 2007a: 12).

Sekilas tentang Bangladesh, negara ini termasuk negara miskin dan terbelakang dengan jumlah penduduk yang besar, sekitar 120 juta dengan luas daerah 55.000 mil persegi. Selain itu, kondisi alam yang seringkali kurang menguntungkan karena negara ini termasuk sering tertimpa bencana banjir dan angin topan. Peningkatan populasi Bangladesh cukup padat, yaitu 717 orang per km persegi dan juga termasuk salah satu dari negara yang mempunyai sumber daya alam yang sangat terbatas. Berbagai dimensi kemiskinan ini antara lain tercermin dari penurunan pendapatan riil sektor pertanian, ketidakmerataan distribusi pendapatan yang cenderung menguntungkan masyarakat perkotaan, perbedaan gaji antarsektor formal dan informal, peningkatan dramatis dalam biaya hidup, mencuatnya beberapa masalah pemenuhan kesehatan masyarakat, pengangguran, dan migrasi internal. Mungkin jika ditilik dari kehidupan ketatanegaraan, Bangladesh sebenarnya membutuhkan manajemen SDM yang lebih baik, agar kehidupan masyarakatnya lebih sejahtera (Djunaidi, 2007b: 114).

Terlepas dari fenomena kehidupan masyarakat yang relatif miskin dan serba kekurangan, di bidang yang lain, terutama dalam pengamalan ajaran keagamaan, masyarakat Bangladesh bisa dianggap begitu antusias dalam hal praktik ajaran keagamaan. Dalam hal yang berkaitan dengan pemahaman ajaran agama dan kebutuhan peningkatan ekonomi, masyarakat Bangladesh sepertinya sadar bahwa mereka membutuhkan alternatif pengembangan ekonomi masyarakat yang berbasis syariah. Wakaf uang, selain juga wakaf reguler, menjadi sarana pendukung kesejahteraan ekonomi masyarakat. Di Bangladesh, wakaf telah dikelola oleh Social Investment Bank Ltd (SIBL). Bank ini telah mengembangkan pasar modal sosial (The Volutary Capital Market). Instrumen-instrumen keuangan Islam yang telah dikembangkan, antara lain: surat obligasi pembangunan perangkat wakaf (Waqf Properties Development Bond), sertifikat wakaf uang (Cash Waqf Deposit Certificate), sertifikat wakaf keluarga (Family Waqf Certificate), obligasi pembangunan perangkat masjid (Mosque Properties Development Bond), saham komunitas masjid (Mosque Community Share), Quard-e-Hasana Certificate, sertifikat pembayaran zakat (Zakat/Ushar Payment Certificate), sertifikat simpanan haji (Hajj Saving Certificate) dan sebagainya (Djunaidi, 2007b: 114-115).

d. Dasar Hukum Wakaf Uang

Melihat popularitas wakaf uang yang belum dikenal pada masa awal Islam, maka tidak heran jika pembahasan dasar hukum wakaf uang juga sulit ditemukan dalam kitab-kitab klasik. Bahkan, wakaf pun hanya terbatas pada harta tidak bergerak sebagaimana dipahami dalam fikih klasik. Namun, seiring perjalanan waktu, wakaf uang pun mendapat legitimasi hukum. Setidaknya, berikut ini dipaparkan sumber pijakan dibolehkannya wakaf uang. Sumber-sumber tersebut terdiri dari ayat al-Qur’an, hadis, dan pendapat ulama.

1) Al-Qur’an

a) Ali Imran: 92

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.

b) al-Baqarah: 261

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Kedua ayat di atas termasuk ayat-ayat global yang mendorong umat Islam untuk menyisihkan sebagian rezekinya untuk kepentingan umum. Ayat ini sering disitir untuk mendorong kaum muslimin berinfaq dan bersedekah. Wakaf termasuk bagiaan dari rangkaian sedekah yang justru sifatnya kekal. Dengan begitu, penggunaan kedua ayat sebagai dasar pijak hukum dibolehkannya wakaf uang menemui relevansinya. Sebagai tambahan, kedua ayat di atas termasuk landasan hukum bagi Majelis Ulama Indonesia untuk membolehkan wakaf uang.

2) Hadis

a) Hadis Riwayat Ahmad

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قاَلَ: إِذَا مَاتَ ابْنُ أَدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثٍ, صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ, أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ, أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ

Apabila anak Adam meningal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya.[5]

b) Hadis Riwayat al-Bukhari

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ الله ُعَنْهُمَا أَنَّ عُمَرَ بْن َالخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ, فَأَتَى النَّبِى صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيْهَا, فَقَالَ: يَارَسُوْلَ اللهِ, إِنِّى أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالا قَطٌّ أَنْفَسُ عِنْدِى مِنْهُ, فَمَا تَأْمُرُنِى بِهِ؟ قَالَ: إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا فَتَصَدَّقْ ِبهَا.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. bahwa Umar bin al-Khattab r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi saw untuk meminta petunjuk mengenai tanah itu. Ia berkata, “wahai rasulullah, saya memperoleh tanah di Khaibar yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut, apa perintah Engkau kepadaku mengenainya? Nabi saw menjawab: Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan hasilnya.[6]

Kedua hadis di atas merupakan dasar umum disyariatkannya wakaf dan juga dipakai oleh MUI dalam fatwa kebolehan wakaf uang. Hadis pertama mendorong manusia untuk menyisihkan sebagain rezekinya sebagai tabungan akhirat dalam bentuk sedekah jariah. Uang merupakan sarana yang paling mudah untuk disedekahnya. Pada hadis kedua, wakaf uang menjadikan hadis ini sebagai pijakan hukum karena menganggap bahwa wakaf uang memiliki hakikat yang sama dengan wakaf tanah, yakni harta pokoknya tetap dan hasilnya dapat dikeluarkan. Dengan mekanisme wakaf uang yang telah ditentukan, pokok harta akan dijamin kelestariannya dan hasil usaha atas penggunaan uang tersebut dapat dipakai untuk mendanai kepentingan umat.

3) Pendapat Ulama

Hukum wakaf uang telah menjadi perhatian para ahli hukum Islam. Beberapa sumber menyebutkan bahwa wakaf uang telah dipraktikkan oleh masyarakat yang menganut madhab Hanafi.

Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum wakaf uang. Imam al-Bukhari (t.th./IX: 330),[7] mengungkapkan bahwa imam az-Zuhri (w. 124 H) berpendapat bahwa dinar boleh diwakafkan. Caranya adalah dengan menjadikan dinar \itu sebagai modal usaha (dagang), kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Wahbah az-Zuhaily juga mengungkapkan bahwa madhab hanafi membolehkan wakaf uang sebagai pengecualian, atas dasar istihsan bi al-‘urfi, karena sudah banyak dilakukan oleh masyarakat. Mazhab Hanafi memang berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf (adat istiadat) mempunyai kekuatan yang sama dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash (teks) (VIII, 1985: 162). Dasar argumentasi madhab Hanafi adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud,

فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ الله ِحَسَنٌ, وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ

Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk. (Musnad Ahmad)[8]

Cara melakukan wakaf uang memurut madhab Hanafi ialah menjadikannya modal usaha dengan mudharabah atau mubadha’ah. Sedangkan keuntungannya disedekahkan kepada pihak wakaf. Pendapat ini didukung oleh Ibn Jibrin (//ibn-jebreen.com), salah satu ulama modern, bahwa wakaf uang harus diberdayakan sehingga mampu memberikan kemudahan dalam membantu orang-orang yang secara ekonomi kurang beruntung.

Ibn Abidin mengemukakan bahwa wakaf uang yang dikatakan merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakat adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah Romawi, sedangkan di negeri lain, wakaf uang bukan merupakan kebiasaan. Karena itu, Ibn Abidin berpandangan bahwa wakaf uang tidak boleh atau tidak sah (Djunaidi, 2007: 5). Madhab Syafi’i berpandangan bahwa wakaf uang tidak dibolehkan seperti yang disampaikan Muhyiddin an-Nawawi (t.th./XV: 325) dalam kitab al-Majmu>’nya. Menurutnya, madhab Syafi’i tidak membolehkan wakaf uang karena dinar dan dirham akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada lagi wujudnya.

Perbedaan pendapat di atas, bahwa alasan boleh dan tidak bolehnya wakaf uang berkisar pada wujud uang. Apakah wujud uang itu setelah digunakan atau dibayarkan masih ada seperti semula, terpelihara, dan dapat menghasilkan keuntungan lagi pada waktu yang lama? Namun kalau melihat perkembangan sistem perekonomian yang berkembang sekarang, sangat mungkin untuk melaksanakan wakaf uang. Misalnya uang yang diwakafkan ini dijadikan modal usaha seperti yang dikatakan oleh madhab Hanafi. Atau diinvestasikan dalam wujud saham di perusahaan yang kuat atau didepositokan di perbankan syariah, dan keuntungannya dapat disalurkan sebagai hasil wakaf. Wakaf uang yang diinvestasikan dalam wujud saham atau deposito, wujud atau lebih tepatnya nilai uang tetap terpelihara dan menghasilkan keuntungan dalam jangka waktu yang lama (Djunaidi, 2007: 6)

Selain ulama mazhab Hanafi, ada sebagai ulama yang mengatakan bahwa mazhab Syafi’i juga membolehkan wakaf uang sebagaimana ditulis oleh al-Mawardi (t.th/VII: 1299).

َورَوَى أَبُو ثَوْرٍ عَنِ الشَّافِعِى جَوَازَ وَقْفِهَا أَىْ الدَّنَانِيِْر وَ الدَّرَاهِيْمِ

Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang dibolehkannya wakaf dinar dan dirham.

Komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga membolehkan wakaf uang (2003: 86). Fatwa komisi fatwa MUI itu dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002.[9] Dalam fatwa tersebut ditetapkan bahwa wakaf uang merupakan wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai (cash). Termasuk dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibilehkan secara syar’i. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.

2. Wakaf Tunai dalam Perspektif Hukum Positif

Wakaf tunai bagi umat Islam tergolong baru. Hal ini bisa dicermati dengan lahirnya fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang wakaf uang yang ditetapkan tanggal 11 Mei 2002. Undang-Undang Tentang Wakaf sendiri juga baru disahkan oleh Presiden pada tanggal 27 Oktober 2004. Undang-undang ini merupakan tonggak sejarah baru bagi pengelolaan wakaf setelah sebelumnya wakaf diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 dan Kompilasi Hukum Islam buku III (Ali, 2006: 98-101).

Secara terperinci, obyek wakaf yang menjadi induk dari wakaf uang dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dijelaskan bahwa harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah (pasal 15). Harta benda wakaf terdiri atas benda tidak bergerak dan benda bergerak. Benda tidak bergerak meliputi:

a. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;

b. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a;

c. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;

d. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

e. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi: a) Uang; b) Logam mulia; c) Surat berharga; d) Kendaraan; e) Hak atas kekayaan intelektual; f) Hak sewa; dan g) Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 16).

Pasal 15 dan 16 di atas menunjukkan bahwa fikih wakaf Indonesia telah mengadopsi semangat fikih klasik yang dipadukan dengan kebutuhan zaman. Kalau dalam perspektif fikih klasik, seperti pendapat Abu Hanifah, umumnya wakaf masih dikaitkan dengan barang-barang yang tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan. Pendapat semacam ini sebenarnya pernah berlaku di Indonesia sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, sebagaimana tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam. Undang-Undang Tentang Wakaf ini memberikan keleluasaan bagi umat Islam untuk turut serta dalam program wakaf sehingga tidak perlu lagi menunggu kaya dahulu seperti tuan tanah. Mereka dapat menyisihkan sebagian rezekinya untuk wakaf uang atau menyerahkan hak miliknya untuk diwakafkan secara berjangka. Ini merupakan terobosan baru yang dapat memberikan peluang bagi peningkatan kesejahteraan umat Islam.

Lebih lanjut, kedua pasal tersebut diberikan elaborasinya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006. Pasal yang menjelaskan kedua pasal tersebut (15 dan 16) adalah pasal 15-23. Pada pasal 15 PP ini dijelaskan tentang jenis harta benda wakaf yang meliputi: a) Benda bergerak; b) Benda bergerak selain uang; dan c) Benda bergerak berupa uang (Pasal 15). Di sini ada perbedaan penyebutan dengan UU, yang hanya mengklasifikasikan benda wakaf menjadi bergerak dan tidak bergerak. Namun PP ini menyebut lebih rinci dari benda bergerak berupa uang dan selain uang. Pembedaan ini semata-mata karena konsekuensi dari benda bergerak berupa uang dan selain uang tidaklah sama sebagaimana tercermin dalam pasal-pasal selanjutnya.

Benda tidak bergerak meliputi:

a. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;

b. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a;

c. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;

d. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

e. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan (pasal 16).

Benda bergerak selain uang dijelaskan dalam pasal 19, 20, dan 21. Dalam pasal 19 disebutkan bahwa:

(1) Benda digolongkan sebagai benda bergerak karena sifatnya yang dapat berpindah atau dipindahkan atau karena ketetapan undang-undang

(2) Benda bergerak terbagi dalam benda bergerak yang dapat dihabiskan dan yang tidak dapat dihabiskan karena pemakaian.

(3) Benda bergerak yang dapat dihabiskan karena pemakaian tidak dapat diwakafkan, kecuali air dan bahan bakar minyak yang persediaannya berkelanjutan.

(4) Benda bergerak yang tidak dapat dihabiskan karena pemakaian dapat diwakafkan dengan memperhatikan ketentuan prinsip syari’ah.

Adapun pasal 20 menjelaskan bahwa benda bergerak karena sifatnya yang dapat diwakafkan meliputi: a) Kapal, b) Pesawat terbang, c) Kendaraan bermotor, d) Mesin atau peralatan industri yang tidak tertancap pada bangunan, e) Logam dan batu mulia; dan/atau, f) Benda lainnya yang tergolong sebagai benda bergerak karena sifatnya dan memiliki manfaat jangka panjang.

Selanjutnya, pasal 21 menjabarkan bahwa benda bergerak selain uang karena peraturan perundang-undangan yang dapat diwakafkan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah sebagai berikut:

a. Surat berharga berupa, 1. Saham, 2 surat utang negara, 3 obligasi pada umumnya, dan/atau 4. Surat berharga lainnya yang dapat dinilai dengan uang.

b. Hak atas kekayaan intelektual yang berupa: 1. Hak cipta, 2. Hak merk, 3. Hak paten, 4. Hak desain industri, 5. Hak rahasia dagang, 6. hak sirkuit terpadu, 7. Hak perlindungan varietas tanaman; dan/atau 8. Hak lainnya.

c. Hak atas benda bergerak lainnya yang berupa: 1. Hak sewa, hak pakai dan hak pakai hasil atas benda bergerak; atau 2. Perikatan, tuntutan atas jumlah uang yang dapat ditagih atas benda bergerak.

Adapun benda bergerak berupa uang dijelaskan dalam pasal 22 dan 23.

Dalam pasal 22 dijelaskan bahwa

(1) Wakaf uang yang dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah.

(2) Dalam hal uang yang akan diwakafkan masih dalam mata uang asing, maka harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam rupiah.

(3) Wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan untuk:

a. Hadir di lembaga keuangan syari’ah penerima wakaf tunai (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendak wakaf uangnya;

b. Menjelaskan kepemilikan dan asal-usul uang yang akan diwakafkan;

c. Menyetor secara tunai sejumlah uang ke LKS-PWU;

d. Mengisi formulir pernyataan kehendak wakif yang berfungsi sebagai AIW.

Pasal 23 menjelaskan bahwa Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui LKS yang ditunjuk oleh Menteri sebagai LKS penerima wakaf uang (LKS-PWU).

Dari paparan di atas nampak jelas bahwa Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 yang dijelaskan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 lebih mengedepankan aspek administrasi yang meniscayakan adanya manajemen yang kuat di samping aspek fikihnya, lebih-lebih dalam pengaturan wakaf uang. Hal ini dinilai wajar karena munculnya undang-undang tersebut merupakan jawaban atas kegalauan sebagian umat Islam Indonesia dalam pelaksanaan wakaf yang masih simpang-siur dengan manajemen tradisional. Dengan demikian, wakaf uang dalam hukum positif di Indonesia telah terakomodasi secara sah dan meyakinkan. Sekarang, tidak ada lagi halangan, baik secara agama maupun secara negara, bagi seseorang untuk melakukan wakaf uang.

3. Potensi Wakaf Uang di Indonesia

Secara konseptual, wakaf uang mempunyai peluang yang unik untuk menciptakan investasi di bidang keagamaan, pendidikan, dan layanan sosial. Tabungan dari masyarakat yang mempunyai penghasilan menengah ke atas dapat dimanfaatkan melalui penukaran dengan Sertifikat Wakaf Tunai (SWT), sedangkan pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan wakaf tunai dapat dibelanjakan untuk berbagai tujuan, di antaranya untuk pemeliharaan dan pengelolaan tanah wakaf. Mustofa Edwin Nasution, sebagaimana dikutip Umrotul Hasanah (2005: 169), memaparkan cara memanfaatkan potensi SWT yang digali di Indonesia, yakni:

a. lingkup sasaran pemberi wakaf uang bisa menjadi sangat luas dibanding wakaf biasa.

b. SWT dapat dibuat berbagai macam pecahan, yang disesuaikan dengan segmen umat Islam yang memungkinkan untuk membangkitkan semangat beramal jariyah, misalnya Rp. 10.000,- dan Rp. 25.000,-

Nasution juga melakukan prediksi pendapatan wakaf uang di Indonesia dengan asumsi kelas menengah umat Islam sebanyak 10 juta orang dengan penghasilan rata-rata dari Rp. 500.000,- hingga Rp. 10.000.000,- perbulan. Prediksi tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel Asumsi Potensi Wakaf Uang

Tingkat Penghasilan/bln

Jumlah Muslim

Tarif Wakaf/bulan

Potensi Wakaf Uang/bulan

Potensi wakaf Uang/tahun

Rp. 500.000

4 juta

Rp. 5.000

Rp. 20 M

Rp. 240 M

Rp. 1-2 juta

3 juta

Rp. 10.000

Rp. 30 M

Rp. 360 M

Rp. 2-5 juta

2 juta

Rp. 50.000

Rp. 100 M

Rp. 1,2 T

Rp. 5-10 juta

1 juta

Rp. 100.000

Rp. 100 M

Rp. 1,2 T

Total

Rp. 3 Triyun

Berdasarkan perhitungan potensi wakaf uang di atas, akan diperoleh pendapatan sekitar Rp. 3 trilyun pertahun.[10] Dana ini jelas dapat mengurangi beban negara yang hingga saat ini masih terbelit hutang (Umrotul Hasanah, 2005: 170). Masyarakat dapat dibantu secara konkret dengan dana hasil pengolahan dana wakaf uang ini untuk kesejahteraan mereka.

4. Manfaat Wakaf Uang untuk Keadilan Sosial

Dalam rangka filantropi keadilan sosial, wakaf untuk kemaslahatan umum perlu dikembangkan. Wakaf untuk kemaslahatan dalam literatur fikih dikenal sebagai wakaf khairi yang memang bertujuan memberikan dampak kemaslahatan bagi publik. Wakaf di Indonesia telah menyentuh kepentingan masyarakat, baik untuk peribadatan maupun untuk kesejahteraan sosial (Mubarok, 2008: 21-23). Wakaf untuk keadilan sosial setidaknya dapat dilihat dari tiga sudut. Pertama, wakaf untuk pemenuhan kebutuhan dasar yang meliputi antara lain makan, tempat tinggal, pendidikan dan kesehatan. Kedua, wakaf untuk mengupayakan peningkatan kesempatan yang setara bagi semua orang, terutama bagi mereka yang kurang beruntung. Ketiga, wakaf untuk perubahan struktural yang mencakup perubahan sistem dan pranata sosial yang kurang memihak kepada masyarakat kurang mampu (Tuti A Najib, 2006: 22).

Adapun khusus wakaf uang, setidaknya terdapat empat manfaat utama dari wakaf tunai dewasa ini dalam mewujudkan masyarakat yang berkeadilan sosial. Pertama, wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas sudah dapat mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah dahulu. Kedua, melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian. Ketiga, dana wakaf uang juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang aliran dananya terkadang kembang-kempis dan menggaji civitas akademika seadanya. Keempat, pada gilirannya umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu bergantung pada anggaran pendidikan dan sosial negara yang sangat terbatas.

Selain di atas, ada tiga filosofi dasar, seperti diungkapkan Antonio (2007: viii), yang harus ditekankan ketika umat Islam akan menerapkan prinsip wakaf uang. Pertama, alokasi wakaf uang harus dilihat dalam bingkai proyek yang terintegrasi, bukan bagian-bagian dari biaya yang terpisah-pisah. Contohnya, anggapan dana wakaf akan habis (musnah) bila dipakai untuk membayar gaji pegawai sementara wakaf harus abadi. Dengan bingkai proyek, sesungguhnya dana wakaf akan dialokasikan untuk program-program pendidikan dan sosial dengan segala macam biaya yang terangkum di dalamnya.

Kedua, asas kesejahteraan nadzir, sudah lazim kita dengar bahwa nadzir seringkali diposisikan kerja asal-asalan dan lillahi ta’ala (dalam pengertian sisa-sisa waktu dan bukan perhatian utama) dan wajib berpuasa. Sebagai akibatnya, sering kali kinerja nadhir asal jadi saja. Sudah saatnya, nadhir menjadi sebuah profesi yang memberikan harapan kepada lulusan terbaik umat dan profesi yang memberikan kesejahteraan, bukan saja di akhirat, namun juga di dunia. Di Turki, sebagai misal, badan pengelola wakaf mendapatkan alokasi 5% dari net income wakaf. Sementara itu, The Centre Waqf Council India mengalokasikan dana sekitar 6% dari net income pengelolaan wakaf untuk kebutuhan operasional.

Ketiga, asas transparansi dan akuntabilitas di mana badan wakaf dan lembaga yang dibantunya harus melaporkan setiap tahun akan proses pengelolaan dana kepada umat dalam bentuk audited financial report termasuk kewajaran dari masing-masing pos biaya.

5. Sertifikat Wakaf Tunai (SWT)

Sertifikat Wakaf Tunai merupakan sebuah inovasi instrumen finansial (financial instrument), keuangan sosial dan perbankan sosial (social finance and voluntary sector banking) yang pertama kali dalam sejarah. Pada umumnya, wakaf selama ini dikenal terkait dengan sumbangan berupa aset tetap (property of permanent) oleh seorang muslim dengan tujuan murni ketaqwaan. Namun belakangan wakaf uang mendapat perhatian serius, karena ternyata juga memiliki akar yang panjang dalam sejarah Islam. Wakaf uang sebagai instrumen keuangan sungguh merupakan suatu produk baru dalam sejarah Perbankan Islam. Pemanfaatan wakaf uang dapat dibedakan menjadi dua, yakni pengadaan barang privat (private good) dan barang social (social good). Karena itu, wakaf uang membuka peluang yang unik bagi penciptaan investasi di bidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan sosial. Tabungan dari warga yang berpenghasilan tinggi dapat dimanfaatkan melalui penukaran Sertifikat Wakaf Tunai (SWT), sedangkan pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan wakaf uang dibelanjakan untuk berbagi tujuan, misalnya untuk pemeliharaan harta wakaf.

Operasionalisasi Sertifikat Wakaf Tunai dapat dijabarkan ke dalam beberapa hal sebagai berikut (Mannan, 2001: 46-47):

1) Wakaf uang harus diterima sebagai sumbangan yang sesuai dengan tuntutan syari’ah. Sedangkan bank yang bertindak sebagai nazir harus mengelola wakaf tersebut atas nama wakif.

2) Wakif memiliki kebebasan memilih, untuk tujuan apa dana hibah yang ia berikan.

3) Wakaf uang dilakukan dengan tanpa batas waktu dan rekeningnya harus terbuka dengan nama yang ditentukan oleh wakif.

4) Wakaf uang selalu menerima pendapatan dengan tingkat (rate) tertinggi yang ditawarkan bank dari waktu ke waktu.

5) Kualitas wakaf tetap utuh dan hanya keuntungannya saja yang dibelanjakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditentukan oleh wakif. Bagian keuntungan yang tidak dibelanjakan akan secara otomatis ditambahkan pada wakaf dan profit yang diperoleh akan bertambah terus.

6) Wakif dapat meminta bank untuk mempergunakan keseluruhan profit untuk tujuan-tujuan yang telah ditentukan.

7) Wakif dapat memberikan wakaf uang untuk sekali saja, atau ia dapat juga menyatakan akan memberikan sejumlah wakaf dengan cara melakukan deposit pertama kalinya sebesar yang ditentukan. Deposit-deposit berikutnya juga dapat dilakukan dengan pecahan masing-masing atau kelipatannya.

8) Wakif juga dapat meminta kepada bank untuk merealisasikan wakaf uang pada jumlah tertentu untuk dipindahkan dari rekening wakif kepada pengelola harta wakaf (nazir)

9) Setiap setoran tunai harus diberikan tanda terima dan setelah jumlah wakaf tersebut mencapai jumlah yang ditentukan, barulah diterbitkan Sertifikasi Wakaf Tunai (SWT).

10) Prinsip dan dasar peraturan syari’ah tentang wakaf uang dapat ditinjau kembali dan dapat berubah.

Kegiatan investasi sosial berupa wakaf tunai ini akan dapat menciptakan landasan bagi terselenggaranya pemupukan modal sosial secara permanen dan dapat dimanfaatkan untuk membantu terlaksananya kredit program yang akan memperkokoh bagi terciptanya landasan moral dan sosial bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat.

Kemudian, seseorang dapat membeli SWT untuk diri sendiri, orang tua, ahli waris, suami/istri, tetangga, saudara kandung, peningkatan standar hidup orang miskin, rahabilitasi orang cacat, peningkatan standar hidup masyarakat yang berdomisili di daerah kumuh, membantu pendidikan anak yatim/piatu, beasiswa, pengembangan pendidikan modern, pengembangan sekolah, madrasah, kursus, akademi dan universitas, mendanai riset, membantu pendidikan keperawatan, riset penyakit tertentu dan membangun pusat riset, mendirikan rumah sakit dan bank darah, membantu program riset, pengembangan, dan pendidikan untuk menghormati jasa para pendahulu, menyelesaikan masalah-masalah sosial non-muslim, membantu proyek-proyek untuk menciptakan lapangan kerja dalam rangka menghapus kemiskinan dan hal-hal lain yang diperbolehkan syariat (Mannan, 2001: 48-49).

Pembelian SWT dapat dilakukan dengan maksud untuk memenuhi target investasi, sedikitnya empat bidang, yaitu:

1) Kemanfaatan bagi Kesejahteraan Pribadi

Semua manusia akan meninggal dunia. Karena itu tidaklah berlebihan kalau kita merenungkan sejenak, bahwa pada saat dilahirkan kita dalam keadaan miskin dan pada saat meninggalkan kita pun akan dalam keadaan miskin. Tidak dapat disangkal lagi bahwa setelah meninggal, semuanya akan berakhir kecuali tiga hal, yaitu: ilmu yang bermanfaat, anak saleh, dan amal jariyah. Wakaf uang termasuk salah amal jariyah yang terus mengalir pahalanya. Wakaf uang sebagai sedekah jariyah memainkan peranan penting bagi seseorang untuk mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat.

2) Kemanfaatan bagi Kesejahteraan Keluarga

SWT menawarkan peluang bagi kita untuk dapat mewujudkan tanggung jawab kepada orang tua, istri, anak-anak, dan anggota keluarga lainnya. SWT dapat juga dibeli untuk menjamin perbaikan kualitas hidup generasi penerus melalui pelaksanaan program pendidikan, pernikahan, dan lain-lain sebab bank akan tetap bertanggung jawab untuk mengelola profit dari Sertifikat Wakaf Tunai itu. Karena dengan cara pengelolaan program seperti itu, maka wakaf uang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan generasi mendatang.

3) Pembangunan Sosial

Sertifikat wakaf uang juga menawarkan peluang yang unik untuk membantu masyarakat. Dengan profit dari wakaf uang, seseorang dapat membantu bantuan yang berharga bagi pendirian ataupun operasionalisasi lembaga-lembaga pendidikan termasuk masjid, madrasah, rumah sakit, sekolah, kursus, akademi, dan universitas. Pembelian sertifikat itu dapat membantu terlaksananya proyek-proyek pendidikan, riset, keagamaan, kesejahteraan sosial, pengobatan dan perawatan kesehatan untuk orang msikin dan untuk penghapusan kemiskinan.

4) Bantuan untuk Kesejahteraan Masyarakat

Dana yang terhimpun dari wakaf uang akan diinvestasikan dan hasilnya dapat memberikan jaminan sosial kepada kelompok miskin dan keamanan bagi kelompok kaya. Akhirnya, wakaf uang akan menjadi wahana bagi terciptanya kepedulian dan kasih sayang antara kelompok kaya dan kelompok miskin sehingga membantu hubungan terciptanya hubungan yang harmonis dan kerjasama yang tidak. Tidak berlebihan kiranya kita mengharapkan bahwa melalui SWT akan memperoleh manfaat yang bayak di bidang ekonomi dan sosial bagi masyarakat secara keseluruhan (Mannan, 2001: 49-52).

6. Pelaksanaan Wakaf Uang di Indonesia: Kasus Tabung Wakaf Indonesia

Dalam rangka pengembangan wakaf secara maksimal, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, diperlukan lembaga profesional pengelola wakaf. Sayangnya, tidak banyak lembaga yang mampu mengemban amanat besar ini. Namun, di tengah kerisauan itu, lahirlah sebuah lembaga nirlaba yang menfokuskan diri di bidang ini, yaitu Tabung Wakaf Indonesia (TWI). Salah satu kelebihan dari Tabung Wakaf Indonesia (TWI) yang layak untuk dijadikan sebagai salah satu percontohan manajemen di bidang wakaf uang. TWI merupakan lembaga wakaf yang didirikan oleh Dompet Dhuafa dan diresmikan pada tanggal 14 Juli 2005. TWI berperan sebagai lembaga yang melakukan sosialisasi, edukasi dan advokasi wakaf kepada masyarakat sekaligus berperan sebagai lembaga penampung dan pengelola harta wakaf (Ain, 2007: 56).

Adapun Visi & Misi TWI adalah menjadi lembaga wakaf berorientasi global yang mampu menjadikan wakaf sebagai salah satu pilar kebangkitan ekonomi umat yang berbasiskan sistem ekonomi berkeadilan (www.tabungwakaf.com). Selain itu, TWI berkeinginan mendorong pertumbuhan ekonomi umat serta optimalisasi peran wakaf dalam sektor sosial dan ekonomi produktif. Hingga akhir tahun 2008, dana yang telah dikumpulkan oleh TWI adalah sebesar Rp. 4.562.229.000 (empat milyar lima ratus enam puluh dua juta dua ratus duapuluh sembilan ribu rupiah).[11] Dana tersebut diperoleh dari masyarakat secara langsung dan disalurkan kepada obyek yang memang sudah disiapkan oleh TWI. Misalnya, seorang ingin membantu pengembangan rumah muallaf, maka dana yang disetor akan segera digunakan untuk peruntukan itu. Laporannya akan dapat dimonitor oleh para donatur melalui majalah TWI yang terbit secara berkala.

TWI menggunakan sistem sertifikasi dalam menghimpun dana wakaf dari masyarakat dengan nominal minimal 1 juta rupiah. TWI mengeluarkan Sertifikat Wakaf Tunai (SWT) sebagai bukti bagi wakif bahwa ia telah berwakaf. Dalam mengelola wakaf, TWI menggunakan pola pengelolaan asset management, yang memperlakukan wakaf sebagai aset yang menghasilkan surplus, sehingga wakaf menjadi ‘sahabat” masyarakat dan mampu menjadi penggerak keadilan sosial (Endang, t.th.: 6).

Beberapa bukti konkret program wakaf uang yang dilakukan TWI antara lain adalah a) Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) untuk kesehatan kaum dhuafa yang berbentuk rumah sakit mini dengan pelayanan 24 jam, b) Sekolah SMART Ekselensia, sekolah menengah yang dirancang secara khusus untuk menampung anak dari kaum dhuafa yang mempunyai potensi dengan sistem penyaringan yang sangat ketat dan dilakukan di seluruh propinsi, c) Wisma Muallaf, sebagai tempat pembinaan para muallaf yang teralienasi dari keluarga mereka. Para muallaf ini dapat mendalami akidah, syari’ah, dan ibadah serta pembekalan kewirausahaan, dan d) Rumah Baca Lingkar Pena, gedung berlantai tiga terletak di sektor 9 Bintaro Rumah Baca merupakan wadah penggemblengan bagi anak dan remaja dalam mengoptimalkan kemampuan menulis, membaca puisi, dan berdongeng (Ain, 2007: 79-81).

Dalam waktu dekat TWI akan membangun Wakaf City (madinah wakaf), yaitu sebuah kawasan terpadu yang memadukan fasilitas pelayanan sosial (social service) dan area bisnis (commercial area) dalam satu kawasan dengan nuansa Islam yang kental. Saat ini baru berdiri baru social service yang telah berjalan berupa lembaga dan laboratorium pendidikan. Model yang digagas oleh TWI ini diharapkan akan mampu menjadi model pengembangan Wakaf City di Indonesia (Endang, t.th.: 19).

Hal yang cukup menarik yang sedang diperjuangkan oleh TWI adalah adanya semangat untuk mensosialisasikan mata uang dinar dan dirham. Dalam berbagai tulisannya, khususnya dalam buku Ilusi Demokrasi, Zaim Saidi (2007:130-135) sebagai direktur TWI menyampaikan bahwa uang kertas yang saat ini populer dipakai dalam berbagai transaksi merupakan bagian dari skenario kapitalisme yang bernuansa riba. Oleh sebab itu, selain menangani wakaf uang, TWI juga melakukan usaha tambahan dengan menjadi salah satu bagian dari Wakala, yakni lembaga yang mencetak dan mendistribusikan dinar dan dirham di Indonesia.

Dari paparan di atas, nampak jelas bahwa terobosan TWI sudah seharusnya mendapat respon positif dari kalangan akademisi sehingga apa yang telah diusahakan TWI dapat dikaji lebih lanjut agar mampu memberikan kontribusi signifikan bagi pengembangan wakaf uang di Indonesia. Dengan begitu, wakaf uang akan menjadi salah satu andalan untuk menyejahterakan umat melalui kekuatannya sendiri.

C. Penutup

Diskursus wakaf uang dalam khazanah fikih tidak terlalu banyak mendapat perhatian dari para ulama’. Namun, ketika wakaf uang berhasil menggerakkan perekonomian masyarakat, terutama setelah keberhasilan A. Mannan di Bangladesh, animo masyarakat Muslim untuk melaksanakan wakaf uang semakin besar. Bahkan, hukum positif beberapa negara, termasuk Indonesia, telah mengakomodasi wakaf uang dalam peraturan perundang-undangannya. Kelahiran Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf merupakan tonggak sejarah pemberlakuan wakaf uang di Indonesia.

Pemahaman masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya memahami konsep wakaf uang dan masih terpaku kepada pemaknaan wakaf tradional yang terbatas pada tanah merupakan tantangan tersendiri pagi penggerak wakaf uang. Namun, melihat maslahat yang terkadung di dalam wakaf uang, lambat laun masyarakat akan tercerahkan untuk mendukung pelaksanaan wakaf uang. Terlebih lagi, mereka akan lebih yakin ketika wakaf uang yang mereka tunaikan dapat dikelola secara profesional, seperti fenomena wakaf uang yang dikelola oleh Tabung Wakaf Indonesia. Wa Allah a’lam.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abubakar, Irfan, dan Bamualim, Chaider S. (ed.), 2006, Filantropi Islam & Keadilan Sosial, Jakarta: CSRC UIN Jakarta.

Ain, Fatimawati, 2007, “Pengelolaan Wakaf di Tabung Wakaf Indonesia Jakarta Selatan,” Skripsi, Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ekonomi Islam.

Ali, Muhammad Daud, 2006, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI-Press.

Antonio, Muhammad Syafii, “Pengelolaan Wakaf Secara Produktif”, dalam Djunaidi dan Thobieb, 2007, Menuju Era Wakaf Produktif, Jakarta: Mumtaz Publishing.

Ad-Dardiri, t.th., al-Syarh} al-Kabi>r, t.tp.: t.p.

Al-Bukha>ri>, Muh}ammad bin Isma>‘i>l, t.th., S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, Kairo: Mauqi‘ Wiza>ra>h al-Auqa>f al-Mis}riyyah.

Djunaidi, Achmad (et.al.) 2007a, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Zakat Departemen Agama RI.

-------, 2007b, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Zakat Departemen Agama RI.

Endang, Noviati, t.th., “Pengalaman Tabung Wakaf Indonesia Dalam Mengelola Wakaf Tunai,” Makalah, Jakarta: Tabung Wakaf Indonesia.

Hafidhuddin, Didin, 2004, dalam Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah, Hukum Wakaf, diterjemahkan oleh Ahrul Sani Fathurrohman (et.al.), Jakarta, IIMaN Press.

Al-Hafsaki, Alauddin Muhammad bin Ali, t.th., al-Dur al-Mukhtar, t.tp.: t.p.

Ibn Hanbal, Ahmad, t.th., Musnad Ahmad, t.tp.: t.p.

Hasanah, Umrotul, 2005, “Cash Waqf dan Kontribusinya dalam Perekonomian Nasional,” El-Qisth, Volume 1, Nomor 2.

Ilchman, Warren F, (et.al.), 2006, Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, Jakarta: CSRC.

Abu Ishaq, Ibrahim bin Ali, t.th., al-Muhadzab, t.tp.: t.p.

Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah, 2004, Hukum Wakaf, diterjemahkan oleh Ahrul Sani Fathurrohman (et.al.), Jakarta, IIMaN Press.

Karim, Muchit A., (et.al.), 2006, Pengelolaan Wakaf dan Pemberdayaan di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan.

Al-Khatib, Muhammad al-Syarbini, t.th., al-Iqna’ fi Hilli Al-Fadz Abi Syuja’, t.tp.: t.p.

Mannan, M.A., 2001, Sertifikat Wakaf Tunai, Sebuah Inovasi Instrumen keuangan Islam, Jakarta: CIBER dan PKTTI-UI.

Manan, Abdul, 2006, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Tinjauan dari Aspek Metodologis, Legalisasi, dan Yurisprudensi, Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Ibnu Majah, Muhammad bin Yazid, t.th., Sunan Ibn Majah, t.tp.: t.p.

Al-Mawardi, t.th., al-Ha>wi> al-Kabi>r, Beirut: Da>r al-Nasyr.

Mubarok, Jaih, 2008, Wakaf Produktif, Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

An-Naisa>buri>, Muslim bin Hajja>j, t.th., S{ah}i>h} Muslim, Kairo: Mauqi‘ Wiza>rah al-Auqaf al-Mis}riyyah.

Najib, Tuti A. dan al-Makasary, Ridwan (ed.), 2006, Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan, Jakarta: CSRC UIN Jakarta.

An-Nawawi, t.th., Raud}ah al-T}a>libi>n wa ‘Umdah al-Mufti>n, t.tp.: t.p.

An-Nawawi, Muhyiddin, t.th., al-Majmu’, t.tp: Mauqi’ Ya’sub.

Ibn Qudamah, Abdurrahman bin Abu Umar, t.th., al-Syarh al-Kabir, t.tp.: t.p.

Saidi, Zaim, 2007, Ilusi Demokrasi, Kritik dan Otokritik Islam Menyongsong kembalinya Tata Kehidupan islam Menurut Amal Madinah, Jakarta: Republika.

-------, t.th., “Kemitraan Investasi Wakaf Produktif,” Makalah, Jakarta: Tabung Wakaf Indonesia.

Al-Siwasi, Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid, t.th., Fath al-Qadir, t.tp.: t.p.

Syaukani, Imam, “Pemberdayaan Pengelolaan Wakaf Rumah Sakit Islam Sunan Kudus Kabupaten Kudus”, dalam Karim, Muchit A., (et.al.), 2006, Pengelolaan Wakaf dan Pemberdayaan di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan.

Tim Penyusun, 2003, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama RI.

Tim PW LTN NU Jawa Timur, 2007, Ahkam Fuqaha’, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004), Surabaya: LTN NU Jawa Timur.

At-Turmuzi>, Muh}ammad bin ‘I, t.th., Sunan at-Turmuzi>, Kairo: Mauqi‘ Wiza>rah al-Auqaf al-Mis}riyyah.

Warson, Ahmad, 1984, al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, t.tp.: t.p.

Az-Zuhayli, Wahbah, 1985, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr.

B. Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 159.

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 105.

C. Majalah

Majalah Modal, No. 19/II Mei 2004




[1] Hadis nomor 9079, Kitab al-Musnad, bab Musnad Abu> Hurairah.

[2] Sementara ini data telah dicoba untuk ditanyakan langsung pada tanggal 31 Maret 2009 ke bagian pemberdayaan wakaf Departemen Agama, namun hingga saat ini belum terdapat data yang akurat karena informasi dari pengelola wakaf di daerah belum semuanya terdeteksi.

[3] Fatwa merupakan salah satu bentuk dari pemharuan hukum Islam, selain penyusunan ensiklopedi fiqih, pembentukan undang-undang, kajian ilmiah dan penelitian, dan putusan pengadilan (Abdul Manan, 2006:185-204)

[4] Hadis dimuat dalam bab al-Waqf al-Dawa>b wa al-Kura>‘ wa al-Furu>d}.

[5] Hadis senada dapat dijumpai dalam Shahih Muslim, hadis nomor 4310, bab Ma> Yulhiqu al-Insa<>n, Juz 5, halaman 73 atau dalam Sunan Abu> Da>wu>d, hadis nomor 2880, bab Ma> Ja>’a fi>, Juz 2, halaman 131.

[6] Shahih al-Bukhari, Hadis Nomor 2532, Bab Syurut} fi> al-Waqf, Juz 9, halaman 263, dalam dijumpai pula di Shahih Muslim, Hadis Nomor 4311, bab al-Waqf, halaman 73, atau Sunan at-Turmudzi, hadis nomor 2878, bab Fi al-Waqf, juz 3, halaman 659.

[7] Hadis dimuat dalam bab al-Waqf al-Dawa>b wa al-Kura>‘ wa al-Furu>d}.

[8] Dimuat dalam Musnad Ahmad, hadis Nomor 3600, bab Musnad Abdulla>h bin Mas‘u>d, Juz 1, halaman 379.

[9] Nahdlatul Ulama sebagai organisasi sosial keagamaan yang memiliki banyak anggota di Indonesia juga pernah membahas wakaf uang dalam salah satu forum bahsul masailnya. Hasil lengkapnya dapat dilihat dalam Tim PW LTN NU Jawa Timur, 2007, Ahkam Fuqaha’, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004), Surabaya: LTN NU Jawa Timur.

[10] Pernyataan Edwin semacam ini juga dimuat dalam majalah Modal No. 19/II Mei 2004, halaman 16-17.

[11] Laporan Keuangan Tahun 2008 yang dikeluarkan oleh TWI diperoleh dari Bagian Penelitian TWI, tanggal 15 Maret 2009. Menurut laporan Fatimawati Ain (2007: 89), dana TWI telah dikucurkan untuk kegiatan produktif lebih dari 80%.

Introduction