Jujur mungkin bukan barang baru dalam kosakata kita sehari-hari. Dari kecil, kita dididik untuk menjadi orang yang jujur. Berkata jujur, bersikap jujur, dan bertindak jujur. Permasalahannya kemudian, ketika kita menginjak dewasa dan banyak problem hidup yang kita alami, kita kemudian seringkali berpaling dari kejujuran. Bahkan, dalam beberapa kasus, kejujuran kita justru membawa malapetaka. Kita dimusuhi karena berkata jujur, kita diteror sebab bertindak jujur. Kejujuran menjadi barang asing dan nampaknya harus dienyahkan dari agenda hidup kita. Sayang sekali, pendidikan jujur yang telah lama kita kenyam harus merelakan diri untuk masuk peti es.
Mengapa kita tidak lagi senang dengan kejujuran? Mudah ditebak, bisanya kita ingin selamat. Tapi benarkah kejujuran selalu identik dengan musibah yang kita alami? Nampaknya tidak selalu demikian, bahkan ada kenyataan lain bahwa justru kejujuran itulah yang membawa seseorang menjadi mulia. Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang jujur. Ia sejak muda sudah diberi gelar “al-amin” yang artinya orang yang dapat dipercaya. Daya tarik Muhammad adalah pesona akhlaknya yang sunguh mulia. Salah satunya adalah kebiasaan beliau bersikap jujur.
Catatan dari kisah di atas adalah setujunya para pemimpin kabilah atas sebuh keputusan bahwa Muhammadlah orang yang berhak meletakkan hajar aswad. Padahal, jika dilihat dari usia, jelas Muhammad adalah seorang pemuda yang umumnya tidak mendapat tempat terhormat di masyarakatnya karena adanya penghargaan yang berlebih terhadap orang yang lebih tua. Namun, karena Muhammad adalah bukan sembarang pemuda, artinya ia adalah al-amin yang dihormati, maka ia pun berhak mendapatkan kesempatan istimewa itu.
Kejujuran yang telah melekat pada diri Nabi SAW adalah sebuah cermin bagi kita, para pengikutnya, untuk terus-menerus memperjuangkan tegaknya kejujuran di lingkungan kita. Memang, tidak dipungkiri bahwa jujur selalu memiliki resiko. Namun, kita harus yakin, bahwa resiko ketidakjujuran akan lebih besar daripada kejujuran. Dengan demikian, kita perlu melatih untuk tetap teguh berkata dan bersikap jujur walau tantangan menghadang, apalagi di bulan Ramadhan yang penuh barakah ini. Bukankah kita telah berlatih jujur dengan tidak makan atau minum padahal tidak ada seorang pun berada di sekitar kita? Mengapa kita tidak meneguk segalas air di kamar yang sepi dan tertutup? Mengapa kita tidak makan sepiring sembari mencicipi masakan kita? Di sini, kita sadar bahwa Allah SWT ada di sekitar kita, sehingga kita harus jujur tidak melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa walau kesempatan begitu terbentang lapang. Di hati kita telah terpatri bahwa Allah SWT maha melihat apa saja yang kita perbuat. Ini adalah sebuah pembelajaran yang berharga tentang arti kejujuran yang kemudian dapat kita terapkan pada bulan-bulan selanjutnya. Akhirnya, kita pasrahkan diri kepada Allah SWT semoga kejujuran kita akan membuahkan hasil yang dapat kita petik manfaatnya suatu saat kelak. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar