Senin, 07 September 2009

BELAJAR DARI SEMANGAT BISNIS KAUM SUFI

Kalau kita mendengar kata sufi, pikiran kita umumnya tertuju kepada sekumpulan orang yang mengabdikan dirinya untuk Allah dengan rela hidup sederhana dan terpencil dari keramaian. Mereka menjadikan hidup ini hanya untuk beribadah mendekatkan diri kepada Allah dengan menjauhi hiruk pikuk dunia yang menyilaukan. Bagi mereka, dunia ini ibarat ular berbisa yang dapat membahayakan perjalanan panjangnya menuju akhirat. Oleh sebab itu, kehidupan mereka dalam pandangan awam adalah kehidupan yang serba kekurangan dan penuh dengan kemiskinan.

Namun, pikiran semacam itu segera akan berubah 180 derajat saat melihat sebuah kenyataan yang dapat dijumpai di sebuah perkumpulan sufi di bagian utara kota Jombang. Kelompok sufi itu menamakan dirinya sebagai tarekat Shiddiqiyyah. Sekilas kita tidak akan mengenal bahwa mereka adalah penganut sufi atau tarekat. Bangunan rumah yang megah, gedung-gedung yang indah, ornamen seni pahat yang menawan, serta banyak lagi kelebihan duniawi yang dimiliki oleh tarekat ini. Mereka tidak hanya berzikir dan berdoa sebagaimana umumnya kaum sufi, namun mereka juga aktif dalam menjalankan roda bisnis yang terdiri dari beberapa unit usaha. Sebut saja perusahaan air minum, perusahaan rokok dan perusahaan kerajinan tangan. Dari usaha bisnis ini, mereka mendapat laba yang cukup besar sehingga mereka dapat mendirikan bangunan yang mereka inginkan dan bahkan mereka tak segan-segan menggelontorkan bantuan kepada masyarakat yang ditimpa musibah. Saat Aceh mengalami Tsunami, tarekat ini mengirim bantuan berupa pembangunan 100 rumah untuk para pengungsi. Mereka juga memiliki program bendah rumah ala tarekat dengan membangunkan rumah-rumah penduduk yang kurang layak huni. Bantuan ini 100 gratis dan tanpa pamrih.

Ketika ditanya alasan mereka terlibat dalam kegiatan sosial ekonomi yang kental ini, mereka menjawab bahwa mereka berusaha menjalankan ajaran agama sebagaimana yang diajarkan oleh pemimpin tarekat yang disebut Mursyid. Salah satu ajarannya adalah memahami seluruh gerakan dan bacaan shalat yang mengamalkannya dalam kehidupan. Sebagai contoh, di akhir shalat, setiap muslim akan mengakhiri shalatnya dengan mengucap salam sambil menengok ke kanan dan kiri. Kalimat salam bukan hanya dianggap sebagai penutup shalat, akan tetapi mengandung makna yang lebih mendalam, yakni menyebar keselamatan dan kebahagiaan kepada orang-orang yang berada di kanan dan kirinya. Dengan demikian, seorang sufi harus bekerja keras dan menceburkan diri dalam kegiatan ekonomi sehingga mereka dapat memiliki kelebihan harta untuk berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Jika tidak, status kesufiannya masih diragukan. Untuk itu, beberapa pemikiran ekonomis yang dicetuskan oleh mursyid dengan sigap mereka sambut dan laksanakan karena nasehat itu ibarat perintah dari Allah yang pasti akan dijamin berhasil.

Alasan filosofis-sufistik lainnya tentang keterlibatan mereka di dunia ekonomi adalah semboyan Santri yang mereka pegangi. Santri merupakan kependekan dari insan yang memiliki tri kewajiban, yakni kewajiban untuk menjalin hubungan baik dengan Allah, kewajiban untuk menjalin hubungan baik dengan sesama manusia, dan kewajiban untuk menjalin hubungan baik dengan alam sekitar. Seorang sufi, menurut mereka, tidak hanya mementingkan hubungan baik dengan Allah, karena mereka hidup bersama orang-orang lain di sekitarnya. Agar bermanfaat, mereka harus mampu memberikan yang terbaik untuk mereka, salah satunya adalah bantuan ekonomi. Dengan begitu, roda ekonomi harus berputar kencang sehingga mereka dapat menafkahi diri sendiri dan masyarakat di lingkungannya. Jadi, sebagai santri, seorang sufi harus kaya dan bermanfaat untuk orang lain tanpa menjadi beban keluarga atau lingkungannya.

Menyimak alasan-alasan di atas, nampaknya kita patut mencontoh semangat mereka untuk memberikan kontribusi terbaik untuk kehidupan dunia ini. Menjadi sufi ternyata tidak menghalangi mereka untuk terjun di dunia bisnis. Mereka masih tetap dekat dengan Allah sambil memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat. Dengan demikian, pandangan sementara kalangan yang menyatakan bahwa ajaran sufi akan menjadikan seseorang jauh dari kehidupan dunia secara nyata dapat ditolak dengan kenyataan yang ditunjukkan oleh tarekat Shiddiqiyyah ini. Semoga kita dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat secara bersama-sama secara seimbang dan berkelanjutan seperti semangat kaum tarekat ini meskipun tidak harus terlebih dahulu menjadi seorang sufi. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction