Ramadhan telah pergi. Umat Islam pun merayakan hari kemenangannya di hari raya Idul Fitri. Agenda silaturrahim menjadi kewajiban integral di bulan Syawal ini. Kegembiraan di mana-mana. Baju bagus dan aneka hidangan khas lebaran menjadi menu utama. Ya, sebuah pesta kecil atas usaha berat menahan nafsu sebulan penuh memang patut dihargai, namun juga perlu dihayati.
Ramadhan adalah bulan latihan. Berbagai macam ujian harus dihadapi demi meraih takwa sejati. Tidak diperkenankannya makan dan minum serta hal-hal lain yang membatalkan puasa merupakan tantangan tersendiri bagi setiap muslim. Di malam hari, ritual shalat tarawih menjadi bagian unik dari kemegahan Ramadhan. Di akhir bulan menjelang Syawal, umat Islam yang memenuhi syarat diwajibkan meningkatkan ibadah sosialnya dengan membayar zakat. Dengan demikian, pendidikan lahir dan batin selama Ramadhan diharapkan akan menjadi bekal bagi umat Islam untuk menjadi orang-orang yang bertakwa pada 11 bulan berikutnya. Permasalahannya, adakah indikator keberhasilan seseorang setelah menempuh ujian selama bulan Ramadhan?
Secara khusus memang tidak ada formula khusus untuk mengukur tingkat ketaqwaan seseorang, apalagi dikaitkan dengan sukses tidaknya ibadah di bulan Ramadhan. Hanya saja, ada kaidah umum yang dapat digunakan untuk mengetahui keberhasilan seseorang seusai beribadah, yakni munculnya sikap positif yang lebih banyak, baik menyangkut ibadah ritualnya yang kian intensif atau ibadah sosialnya yang makin mempesona. Kebiasaan shalat sunnah dan membaca al-qur’an selama Ramadhan telah mengajarkan kepada umat Islam untuk senantiasa dekat dengan sang pencipta. Rasa ini akan lebih bermakna jika tetap dipelihara sepanjang tahun seusai lebaran. Sebagai contoh, shalat tarawih yang umumnya dilakukan sehabis Isya dapat digantikan dengan shalat malam sebelum subuh atau shalat dhuha sebelum berangkat kerja. Jika masih terasa berat, setidaknya, shalat sunnah yang ditambahkan menjadi kebiasaan adalah shalat rawatib yang mengiringi shalat wajib. Selain itu, kebiasaan merenungi kandungan al-Quran dapat dilakukan dengan melibatkan diri dalam berbagai majelis taklim, baik di masjid, mushala, atau organisasi sosial. Pesawat HP atau laptop bisa juga menjadi salah satu sarana untuk mendengarkan ayat-ayat suci al-qur’an agar selalu merasa dekat dengan Allah. Kesemuanya itu akan menjadikan nilai taqwa yang sudah tertanam di bulan Ramadhan dapat dijaga kelestariannya.
Ibadah sosial yang juga penting untuk dilanjutkan pasca Ramadhan adalah kebiasaan bersedekah dan empati terhadap penderitaan orang lain. Pahala sedekah di bulan Ramadhan yang berlipat ganda tidaklah perlu menyurutkan semangat untuk tetap bersedekah sepanjang tahun. Bagaimanapun, sebagai makhluk sosial yang telah terlatih untuk merasakan betapa berat menanggung rasa lapar dan haus setiap hari, kepedulian kepada sesama khususnya kepada mereka yang nasibnya kurang beruntung akan memenuhi rongga dadanya sehingga mudah empati saat melihat penderitaan orang lain. Mereka seakan-akan merasakan sendiri penderitaan itu sehingga segera mengulurkan bantuan kepada penerima musibah. Dengan begitu, rajutan kasih sayang sesama munusia yang dilandasi iman kepada Allah akan menjadikan hidup di dunia ini semakin indah. Akhirnya, sudahkah indakator itu melekat dalam keseharian kita? Semoga…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar