Sore itu, ketika aku sampai di kantor Islamic Relief (IR), beberapa orang menyambutku. Tetapi, karena aku masih dianggap asing, mereka sepertinya tidak terlalu peduli. Setelah sejumlah karyawan tahu kalau aku adalah peneliti Indonesia yang sedang belajar, mereka satu-persatu mulai menyapaku dengan akrab. Hari itu ada rapat penting di kantor tersebut sehingga aku tak banyak bisa bertemu dengan kawan-kawan yang biasa kukontak, Nazia dan Basma.
Daripada bengong duduk sendiri di ruang tamu, aku pindah tempat di sebelah meja receptionis. Dia adalah Kevin, seorang profesional yang bersedia mengabdikan diri di lembaga non-profit itu. Darinya aku tahu tentang situasi terbaru IR. Tetapi, seperti adatnya bekerja di Amerika, aku tak boleh banyak bicara saat melakukan aktifitas. Akhirnya, aku buka laptop kecilku dan menyibukkan diri menulis laporan observasi awal.
Sekitar pukul 6, kantor mulai sepi. Semua karyawan meninggalkan tempat untuk kembali ke kediaman masing-masing. Tinggallah aku seorang diri menunggu Basma selesai menunaikan tugas. Perempuan bercadar itu kebetulan berperan sebagai customer service officer yang berada di ruang telepon. Ia baru bisa pulang sekitar pukul 9 malam.
Aku yang kelelahan tak dapat menahan kantuk. Mataku yang sudah 5 watt terkadang terpejam beberapa detik. Agak perih rasanya. Tapi, aku harus tetap menunggu hingga pukul 9. Basma berjanji akan mengantarkanku menemui Ibrahim, kawannya yang siap menampungku. Pukul 9 tepat, aku diantar ke sebuah swalayan mebel yang sangat ramai. Di sana, aku dipertemukan dengan Ibrahim, seorang karyawan toko tersebut. Wajah Ibrahim mengantarkan sinyal kurang bersahabat. Aku tidak tahu kesepakatan yang telah dibuat Basma dengan Ibrahim. Yang jelas, Basma tadi pagi memberitahukan kepadaku bahwa aku harus menyediakan beberapa ratus dolar untuk menyewa tempat tinggal selama di Alexandria. Ibrahim memintaku untuk menunjukan paspor dan ijin masuk Amerika. Aku merasa agak aneh melihat gelagatnya. Memangnya wajahku seperti teroris atau imigran gelap? Lelaki itu berbincang lama dengan Basma dengan bahasa Iraq yang tak aku paham. Intinya, aku akan dibawa ke rumahnya dan akan dititipkan ke temannya yang entah di mana.
Perasaanku mulai tidak enak. Ibrahim yang dari awal sudah tidak begitu berminat membantuku pasti akan melemparkanku ke orang lain yang bersedia memberiku tempat bermalam. Aku ibarat seorang tahanan yang siap dibawa kemana saja oleh polisi. Aku diajak masuk mobilnya dan melaju menembus pekatnya kota. Pertama-tama aku diajak ke rumahnya. Di sana ada dua lelaki paruh baya yang juga tak kalah dinginnya melihatku. Aku pasrah kepada jatah Tuhan malam itu. Aku berusaha rileks meskipun jantungku berdegup kencang. Malam yang kian larut dan kondisi yang kurang fit membuatku kian lemah. Tapi aku berusaha tetap tegar.
Ibrahim menelepon kawannya. Beberapa saat kemudian, ia lalu mengajakku menemui kawannya itu di sebuah rumah makan Arab. Di sana aku dititipkan ke lelaki yang sama sekali tak aku kenal. Ibrahim dengan enaknya meninggalkanku seperti barang titipan.
Lelaki itu bertubuh besar dan bermata tajam. Pria yang akhirnya aku kenal bernama Kasim itu duduk bersama perempuan muda dan anak balita. Aku kira mereka adalah satu keluarga. Ternyata aku salah. Mereka hanyalah berteman tapi mesra.
Lama aku menunggu mereka makan. Tak sekalipun mereka peduli kalau aku juga lapar. Tak ada seulas senyum pun yang ia berikan padaku. Aku hanya diam di pojok warung itu sambil menahan kantuk. Setelah mereka menuntaskan makan, mereka mengajakku masuk mobilnya. Aku pun dibawa ke sebuah rumah di komplek apartemen di pinggir kota.
Saat masuk rumah itu, Kasim menyilakanku duduk di sebuah kursi panjang yang lusuh. Ia pun kemudian mengatakan bahwa tempat tidurku adalah kursi itu. Sambil agak terperangah, aku tetap tersenyum. Dalam hatiku, aku bukannya tidak mau tidur di kursi seperti pengalamanku di Malang saat tidur di kantor, tetapi kondisi rumah itu benar-benar membuatku shock. Aku bukannya sok bersih, tetapi rumah itu bak penampungan gelandangan yang tidak punya tempat tinggal. Di rumah sempit itu, ada beberapa orang yang tidur di ruang tamu. Mereka punya kasur kecil sendiri-sendiri, sedangkan aku yang kedinginan tidak punya bantal dan selimut. Aku ibarat masuk sarang penyamun dan berkawan dengan para penjahat. Sangat menakutkan.
Rumah itu begitu kumuh. Baju dan jaket bergantungan di mana-mana. Gelas, puntung rokok, dan kertas berserakan. Kamar mandi sangat kotor dan dapur pun begitu rupa. Peralatan yang sudah banyak yang rusak dibiarkan begitu saja. Lantai yang tak pernah di sapu menambah pemandangan kumuh kian lengkap. Aku tak pernah membayangkan kalau aku akan terdampar di tempat seperti ini di Amerika. Aku sepertinya tak akan kerasan, tapi aku tak punya pilihan. Aku berusaha menghibur diri bahwa tempat ini tentu lebih baik daripada tenda penampungan bencana alam. Di sini aku masih bisa meluruskan kaki di kursi dengan sempurna. Aku masih bersyukur bahwa aku tidak akan lama tinggal di tempat itu.
Malam kian larut dan aku tak bisa tidur. Sesekali aku menggigil karena udara dingin cukup menyengat di musim gugur ini. Aku hanya bisa berlindung pada jaket satu-satunya yang kubawa. Pikiranku menerawang ke mana-mana. Pintu rumah yang tidak bisa ditutup membuat aku agak khawatir akan keselamatan jiwaku. Besok pagi aku juga harus ke kantor padahal aku tidak tahu bagaimana caranya. Pilihanku hanya naik taksi. Aku tak mungkin meminta petunjuk pemilik rumah itu karena ia sepertinya akan bersenang-senang dengan teman kencannya malam itu. Hemmm…benar-benar menantang bukan?
kalau ini benar-benar menantang tadz,itung-itung belajar di dunia preman,pasrahkan semua pd Allah yang maha kuasa,jangan takut Tadz,semuanya atas kehendak Allah.Semoga Allah melindungi dan memudahkan kita.amiiin
BalasHapusYa, Mas. Hidup di perantauan bersama preman memang menantang sekaligus mengerikan. Semoga saya selamat ya...Makasih
BalasHapus