Sejak meninggalkan tanah air, aku merasa betapa sulitnya shalat tepat waktu. Apalagi negara tujuanku bukan negara berpenduduk mayoritas muslim. Shalat seringkali menjadi nomor tak terhingga dalam hidupku. Sedih nian dalam hati tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.
Dalam perjalanan menuju Amerika, aku sulit mendeteksi waktu, apakah sudah masuk shalat tertentu atau belum. Jendela pesawat ditutup rapat agar para penumpang dapat istirahat. Ijtihadku mengatakan bahwa aku shalat sesuai dengan keyakinanku. Bila kuanggap sudah masuk shalat, aku langsung shalat dengan tayammum sebisanya.
Saat mendarat di San Fransisco, aku coba mencari worship room atau meditation room. Sayangnya, aku tak dapat menemukan tempat itu. Meskipun aku sudah bertanya beberapa kali, aku malahan diarahkan ke berbagai tempat yang sempat membuatku tersesat. Sekali lagi, aku sangat memaklumi situasiku sebagai musafir.
Akhirnya aku pun sampai di bandara tujuan, Buffalo New York. Aku langsung ambil taksi menuju penginapan. Di sini aku begitu lega. Aku bisa melakukan shalat tepat pada waktunya sesuai dengan jadwal waktu setempat. Namun, ada satu kendala bagiku, di musim panas lalu, waktu subuh begitu pagi, pukul 5 matahari sudah begitu cerahnya. Tatkala sore, matahari baru tenggelam pukul 9 malam. Ini berarti shalat subuh dan isya menjadi tantangan tersendiri. Aku kadang tidur terlalu cepat atau bangun kesiangan karena kelelahan. Karena waktu shalat Isya’ baru masuk pukul 11, aku sering tidak kebagian sebab sudah terlelap. Begitu pula shalat subuh, saat aku bangun matahari sudah lebih dulu menyapa. Terus gimana dong? Masak harus shalat di luar waktu (qadha) melulu?
Situasi ini belum lagi diperparah dengan kegiatan kerja yang tidak bersahabat. Waktunya bisa panjang dan berubah-ubah. Tempat shalat dipastikan tidak ada di tempat kerja apalagi tempat wudhu. Kalau mau wudhu, aku harus menaikkan kaki ke wastafel menunggu restroom sepi, biar tidak malu atau ditangkap satpam. Susah banget rasanya.
Setelah beberapa hari, aku bertemu kawan Indonesia yang muslim. Kutanya cara menyiasati shalat yang waktunya begitu ekstrim. Dia menjawab bahwa caranya gampang. Kumpulkan saja shalat menjadi tiga waktu, persis seorang musafir. Dhuhur dan ashar dijamak begitu pula maghrib dan isya. Soal shalat subuh yang terus kesiangan harus diqadha’. Awalnya aku masih idealis. Aku masih berusaha menjalankan 5 kali sehari. Tapi, karena situasi yang seringkali tak bersahabat, aku pun menuruti saran itu. Misalnya, ketika aku dan kawan-kawan mengunjungi suatu tempat umum, dari siang hingga malam, maka sebelum berangkat aku sudah lakukan shalat dhuhur dan ashar. Nanti ketika pulang larut malam, aku tinggal menjama’ maghrib dan isya’. Rasanya sudah tidak ada alternatif lagi yang lebih baik karena aku tidak mungkin melakukan shalat di tengah kerumunan orang yang sama sekali tidak membutuhkan ibadah.
Saat ini musim gugur telah datang. Waktu shalat lumayan terkendali, seperti di Indonesia. Tapi, tak lama lagi akan tiba musim dingin. Tantangannya berbeda namun solusinya hampir sama dengan musim panas. Subuh baru muncul pukul 7 pagi. Lalu magrib sudah masuk pukul 5 sore. Akibatnya, waktu shalat begitu pendek antara dhuhur-ashar dan maghrib-isya. Kalau nanti aku sedang mengikuti kegiatan yang dimulai dari siang hingga malam, aku akan lakukan jurus jitu yang sudah kurancang seperti musim panas. Permasalahannya adalah ketika acaranya dimulai pukul 1, sebelum dhuhur dan berakhir setelah pukul 5, sudah maghrib, itu artinya dhuhur-ashar sudah lewat karena sudah masuk magrib. Kalau seperti ini, pilihannya hanya satu, mengqadha’ shalat dhuhur dan ashar di waktu maghrib. Ya..nasiblah…ini malah jadi dua waktu…Bagaimana hukumnya? Aku hanya pasrah kepada Tuhan Yang Maha Penyayang…semoga ijtihadku ini dapat dimaklumi dan diampuni….amin…
Kesimpulannya, memang lebih enak tinggal di Indonesia. Mau shalat kapan saja dan di mana saja selalu tersedia. Masjid dan mushalla bertebaran di setiap sudut wilayah, bahkan di tempat hiburan dan belanja sekalipun. Tinggal kitanya saja mau shalat atau tidak. Di Amerika, mau jadi muslim yang baik saja susah, belum lagi tantangan berupa gempuran budaya yang berbeda jauh dengan Indonesia. Semoga saja aku bisa lulus dalam ujian ini…amin…(dengan suara lirih…)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar