Manusia mana yang tak pernah kecewa? Jawabnya pasti hampir semua pernah merasakan pahitnya kecewa. Munculnya rasa tidak puas itu karena ada kesenjangan (gap) antara harapan dan kenyataan. Kekecewaan yang sangat mendalam dapat memicu rasa putus asa, rendah diri, dan bisa berakibat fatal. Bagi mereka yang tak biasa hidup tertekan, pilihan-pilihan "nekad" bisa jadi alternatif menyengsarakan. Tetapi, bagi sebagian orang yang paham arti hidup, pakem hidup, dan dinamika kehidupan, ia tak akan menyerah dengan lunglai. Justru sebaliknya, tantangan yang menyakitkan hati akan dihadapi dengan senyuman dan pikiran dingin. Toh, ada Tuhan yang paling kuasa mengatur kehidupannya. Itulah enaknya kalau kita yakin bahwa Allah SWT sebagai Tuhan seru sekalian alam.
Tapi, apakah semudah itu menerapkan teori di atas? Kalau tingkat kecewanya sederhana, barangkali mudah saja bagi kita untuk segera melupakannya. Namun, bila kekecewaan itu sangat berat atau bahkan terlampau berat, apakah dengan pasrah saja sudah cukup? Banyak bukti menunjukkan bahwa aneka hiburan untuk meredam rasa kecewa itu tidak serta-merta menurunkan derajat kecewa. Banyak kasus kekecewaan atas kekalahan atau hancurnya harapan berakibat pada sakit badan hingga sakit jiwa. Ambil contoh, salah satu calon lurah jatuh pingsan ketika diumumkan bahwa dirinya kalah dalam pemilihan kepala desa. Padahal, di atas kertas, dirinya dengan mudah akan menang. Berjuta-juta dana yang sumbernya dari pinjaman telah dihamburkan demi kemenangannya. Kini, saat dirinya jatuh tersungkur penuh rasa malu dan takut, ia kehilangan kesadaran. Orang-orang di sekilingnya hanya memandangnya iba tanpa bisa membantu. Jika sang calon yang gagal ini tidak kuat pertahanan iman dan mentalnya, ia bisa menembak kepalanya atau jadi hilang ingatan. Dari kisah ini, kita dapat mengambil sebuah pelajaran bahwa bercita-cita tinggi hingga menembus ujung langit hendaknya dibarengi dengan ikhtiyar batin yang kokoh serta perhitungan yang masak sehingga ketika harapan yang demikian melambung itu tak tercapai dapat diatasi dengan landai tanpa depresi yang berlebihan.
Lalu bagaimana langkah nyata untuk menangkal stress berat akibat kecewa? Ada beberapa tips yang bisa kita aplikasikan dalam hidup kita.
1. Pasang target yang realistik. Kalimat ini sering kita dengar tapi dalam kenyataannya, tingkat realistik itu sulit untuk diukur. Bagi seseorang, target realistik adalah ketika dirinya menjadi gubernur. Tapi bagi sebagian yang lain terget realistik adalah cukup menjadi modin. Di sini perlu kearifan pribadi setelah mendengar beberapa saran dari orang yang kenal dekat dengan kepribadian kita. Dari target ini, juga harus diimbangi dengan beberapa langkah strategis jika target itu meleset. Ini merupakan bagian dari langkah "planning" dalam istilah manajemen. Tahap-tahap antisipasi sangat bermanfaat ketika harapan itu ternyata hanya isapan jempol belaka.
2. Pilih konsultan terpercaya. Konsultan di sini tidak mesti bergelar sarjana atau punya ijin praktik. Dalam sekala kecil, pasangan hidup (istri/suami) bisa menjadi konsultan yang baik. Anggota keluarga yang senior juga bisa menjadi tempat mengadu di saat dirundung masalah. Pendek kata, konsultan adalah orang yang selalu memberikan dukungan moral untuk keberhasilan kita. Ketika nanti langkah kita tidak mulus, ia akan datang dengan segala nasehat yang menyejukkan sehingga kita dapat terhindar dari tindakan di luar kontrol akal sehat.
3. Memasang niat yang benar. Ini sebenarnya bisa jadi langkah pertama. Tetapi, kadang niat itu baru diketahui ketika masalah sedang menghadang. Bagi orang yang salah niat, misalnya hanya ingin berkuasa, ingin dipuji, atau bahkan ingin mengeruk keuntungan, tatkala ia dirundung masalah, ia akan mudah kecewa dan down. Mimpi-mimpinya untuk dielu-elukan kini hancur karena malah dapat cercaan. Di sinilah pentingnya niat. Tujuannya untuk studi tinggi, sebagai misal, adalah untuk mencerahkan pikiran diri, keluarga, dan masyarakat sekitarnya. Tatkala ternyata ia tidak dapat pekerjaan yang layak lalu orang mencibirnya gara-gara telah menguras harta kekayaan orang tuanya, sepatutnya kita tidak langsung drop dan meratapi nasib yang kurang beruntung. Kita memang bukan pencipta nasib dan bahkan kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok. Oleh sebab itu, niat studi yang benar akan memudahkan kita menenangkan diri di saat kenyataan tidak seperti yang kita bayangkan. Menuntut ilmu adalah ibadah dan bila ternyata tidak berefek pada penghasilan dan status sosial, setidaknya kita masih dapat menjadikan ilmu sebagai pelita bagi diri sendiri dan keluarga. Ilmu tidak akan pernah sia-sia bila kita mau menjaganya.
4. Terakhir, mohon ampunan dan mendekatkan diri pada Tuhan. Tuhan ibarat pohon besar nan rindang, gunung kokoh yang menjulang, atau rumah nyaman yang penuh damai. Kepada-Nya kita mengadu, mengeluh, berteduh, memohon, dan menyandarkan diri. Apa gunanya kita bercongkak ria bila akhirnya berujung pada duka nestapa. Apalah artinya harta kekayaan melimpah, jabatan tinggi, popularitas tak tertandingi, bila terrnyata kemudian batin kita perih dan merintih. Hati nurani tak pernah bisa dibohongi oleh siapapun termasuk si empunya hati. Oleh karena itu, kita harus berani membuka diri, melepas topeng tebal kita untuk benar-benar merendahkan hati di hadapan sang pencipta. Dari-Nyalah ketenangan hidup dan dari-Nya pula jawaban segala pesoalan yang menghimpit kita. Sudah banyak kisah teladan yang mengukuhkan bahwa obat jiwa yang paling manjur adalah ketika kita merasa dekat dengan sang Pencipta.
Semoga tips ini bermanfaat dan menyehatkan, baik bagi penulisnya yang juga sering gundah maupun bagi penikmat uraian singkat ini di bagian bumi manapun keberadaannya. Amin.
Selamat atas pindahnya alamat di www.sudirmanhasan.co.cc. Sembodo
BalasHapusTerima kasih, Pak Sembodo. Nah, kini giliran antum dan kawan-kawan Elok untuk mencobannya...Ok....salam hormat untuk semuanya...
BalasHapus