Kita tentu tidak ingin kejadian bunuh diri menimpa anak kita, apalagi ketika usianya masih hijau ranau. Tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa peristiwa bunuh diri sering terjadi pada anak-anak usia sekolah dasar. Di Amerika, CNN beberapa hari terakhir ini menayangkan kematian siswa SD usia 11 tahun karena ia kerap kali diolok-olok kawannya. Ty Smalley, nama anak itu, merasa bahwa hidupnya tidak diperlukan lagi. Ia tak tahan menjadi bahan tertawaan kawan-kawannya setiap hari.
Orang tua Ty sebenarnya sudah sering mengadu kepada gurunya namun komplain itu tidak berhasil meredam tindakan negatif yang dilayangkan kepada Ty. Ty sering dijuluki sebagai setan, bodoh, gay, hingga abnormal. Padahal, dalam foto yang diperlihatkan di layar kaca menunjukkan bahwa Ty adalah anak laki-laki cakap dan periang. Namun, hatinya tidak seindah senyumnya. Ia melepas nyawanya dengan menembak kepalanya sendiri.
Sebegitu parahkan ‘bullying‘ di sekolah? Sepanjang pengalaman saya, ada saja satu atau dua anak yang selalu menjadi sasaran tembak olok-olok itu. Ini tidak berlaku hanya untuk satu sekolahan, seringkali korban bullying ada di setiap kelas. Tindakan itu biasanya terkait dengan beberapa faktor pencetus.
Pertama adalah tampilan tubuh yang kecil. Anak yang berbadan mungil atau lebih kecil dari rata-rata cenderung menjadi bulan-bulanan kawannya. Ini bisa terjadi karena orang tua memaksakan anaknya masuk sekolah padahal dari segi usia dan tinggi badan belum mencukupi. Egoisme orang tua agar disebut sebagai orang tua berhasil ketika anaknya sudah pandai membaca, menulis, dan berhitung pada usia dini lebih dominan. Padahal, hal ini bisa menjadi faktor penyebab terjadinya kekerasan di sekolah untuk anaknya.
Faktor kedua adalah kebiasaan anak yang berbeda dari yang lain. Anak SD sebenarnya masih belum tahu kecederungan hatinya kelak di saat dewasa. Ada sebagian anak yang suka bermain dengan kawan sesama jenisnya. Ada pula anak yang begitu nyaman ketika belajar bersama kawan lain jenis. Kecenderungan ini ternyata bisa menjadi potensi masalah, misalnya anak yang suka dengan kawan satu jenis dijuluki sebagai pasangan gay atau lesbian. Begitu pula ketika sang anak dekat dengan lawan jenis disebut sebagai pacaran. Padahal, di usia yang masih belum baligh itu (usia 6-10) mereka belum memiliki orientasi seksual yang sempurna. Mereka masih dalam masa pencarian dan mengutamakan kenyamanan hati saat bergaul. Oleh sebab itu, bila ada seorang anak laki-laki yang begitu dekat dengan teman lelakinya atau anak perempuan yang suka bermain dengan kawan satu jenisnya harusnya tidak menjadi masalah. Pemandangan ini tidak bisa menjadi legitimasi gay atau lesbinya seseorang. Bisa jadi ini hanya karena kebetulan belaka. Ada pula anak SD yang begitu malunya ketika dianggap sebagai pasangan kekasih padahal untuk hal itu mungkin belum waktunya (kecuali kalau mengalami pubertas dini). Dari sini, orang tua dan tenaga pendidik harus bahu-membahu mengatasi beban psikologi anak agar kejadian bunuh diri tidak terulang kembali. Betapa sedihnya orang tua ketika mendapati buah hatinya meninggal di usia yang masih sangat muda, bukan karena penyakit fisik tetapi karena penyakit mental.
Ketiga, penyebab lain yang membuat seorang anak menerima perlakuan tidak adil dari kawannya adalah karena motif balas dendam. Anak bodoh sering kali tidak naik kelas. Oleh sebab itu, ia akan menjadi anak paling besar badannya di kelas. Ia begitu benci dengan anak-anak rajin yang tak jarang berbadan kecil. Si bodoh itu agar mendapat pengakuan kawannya tidak segan-segan menyudutkan si pintar hingga menganiaya secara fisik. Bagi si bodoh, si pintar telah sering membuatnya malu di depan guru karena ia tidak bisa menjawab pertanyaan di kelas. Sebagai balasannya, si bodoh memimpin ‘gerobolan’ anak-anak pemalas untuk menumpahkan rasa malunya dengan menganiaya si pintar. Kenyataan semacam ini dapat berakibat pada perasaan putus asa si anak cerdas. Anak ini akan patah semangat dan tega mengakhiri hidupnya jika tidak segera mendapat pertolongan. Sekali lagi, ketika seorang anak yang baru pulang dari sekolah dalam kondisi murung perlu didekati oleh orang tuanya sehingga sang anak tidak berlarut-larut dalam masalahnya. Orang tua pun harus bisa merasakan dan menyelami dunia sang anak sebelum terlambat sehingga sang anak pun merasa mendapat dukungan moral dari orang tuanya.
Akhirnya, orang tua tidak semestinya memaksakan keinginannya untuk memasukkan putra-putrinya pada usia yang belum cukup. Orang tua harus selalu memantau perkembangan fisik dan mental anaknya agar terlepas dari bullying. Kerjasama yang baik antara orang tua, guru, dan lingkungan akan dapat menjauhkan kejadian buruk yang akan menimpa sang buah hati.
Thank you for visiting my blog...
BalasHapus