Rabu, 06 Oktober 2010
FATWA PUJANGGA ANDREA HIRATA
“Kita ini mau kemana, Dirman?” Tanya Andrea Hirata bersemangat. “Kita ini ketinggalan jauh…kapan kita bisa mengejar mereka?” Kalimat-kalimat bernada berontak ini dilontarkan Andrea saat saya duduk di sebelahnya sambil menunggu dimulainya acara peluncuran buku Laskar Pelangi edisi bahasa Inggris “the Rainbow Troops” di toko buku Prairie Lights, sekitar kawasan bisnis Iowa. Semenjak menghadiri sekolah sastra di University of Iowa yang diikuti oleh para penulis papan atas dunia, Andrea bak terlahir kembali. Ia kadang kelihatan bangga namun sering pula gelisah tatkala membandingkan dirinya dengan kawan-kawannya. “Teman-teman saya di sini hebat-hebat…beberapa hari lalu ada yang dinobatkan oleh New York Times sebagai salah satu 20 penulis terbaik dunia…” paparnya. “Saya pingin kamu juga bisa seperti mereka, rajin menulis dan menang…,” pintanya. “Ah, bercanda nih, mas Andrea” gumam saya dalam hati. Mana mungkin saya bisa seperti mereka, menulis saja masih belepotan, kok mau jadi juara, mimpi kali. Tapi kalau untuk Andrea, tentu ia punya kans besar untuk itu.
“Kawan-kawan saya itu, kalau diskusi…gila…! Mereka bukannya ingin pamer pengetahuan agar dihargai, namun benar-benar tulus berbagi dengan teman bicaranya. Saya ini tidak ada apa-apanya,” kata Andrea merendah. Di sini, Andrea kian terpancing untuk segera membuat gebrakan besar sekembalinya ke Indonesia bulan depan. Ia ingin membuktikan bahwa orang Indonesia berhak dan bisa tampil memukau di mata dunia.
Untuk menorehkan tinta emas dalam sejarah, ada beberapa hal yang harus diperbaiki pada sistem birokrasi dan juga diri kita. Berikut ini beberapa fatwa dari pujangga Andrea Hirata.
1.Kita harus menyemaikan semangat berkarya, khususnya dalam hal menulis, agar buah pena kita dapat dikenali oleh banyak orang. Dengan menulis, berarti kita telah mengabadikan pikiran dan perasaan kita sehingga gaung gagasan kita dapat didengar oleh masyarakat yang lebih luas dari zaman ke zaman.
2.Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional hendaknya memberikan dukungan penuh berupa fasilitas bagi para penulis untuk ikut serta dalam upgrading pengetahuan tulis-menulis hingga tingkat internasional. Sebagai catatan, Andrea ke Iowa ini berkat dukungan Pemerintah Amerika, bukan Indonesia. Setelah itu, para penulis tersebut diberikan ruang untuk mengadakan pelatihan-pelatihan demi meningkatnya mutu karya tulis anak negeri.
3.Hendaknya kita memahami budaya bangsa secara komprehensif sebelum menulis. Sebagai contoh, Andrea melakukan riset selama 4 tahun sebelum menuangkan pikirannya dalam novel “Padang Bulan”. Dalam novel itu, ia punya misi untuk meluruskan stereotipe negatif yang berkembang selama ini bahwa masyarakat asli Melayu dicap sebagai pemalas. Berdasarkan pengamatannya yang mendalam terhadap orang Melayu di Belitong, mereka yang biasa ke warung kopi dua hingga tiga kali sehari sama sekali bukanlah untuk sekedar bersantai-santai, namun justru menggali informasi tentang sumber kehidupan mereka, yakni tambang timah. Dengan mengunjungi warung kopi, seseorang akan mendapat berita tentang lokasi baru timah yang bisa mereka tambang. Dari warung kopi pula, mereka membentuk tim kerja yang akan bersama-sama menggali sumber timah itu. Berjam-jam hingga berhari-hari mereka tanpa lelah mendulang timah sambil bermandikan lumpur. Itulah bukti semangat kerja yang tinggi, bukan malah sebaliknya. Gaya hidup semacam ini jelas tidak bisa dirubah dengan mudah, misalnya dengan bercocok tanam. Masyarakat Belitong tidak punya jiwa bertani karena alamnya tidak mendukung untuk itu. Setiap tumbuhan yang ditanam di Belitong dapat dipastikan akan gagal panen karena kondisi tanah tidak sesuai dengan harapan. Untuk itu, karakter masyarakat Belitong tidak bisa dibandingkan dengan masyarakat Jawa yang lihai di bidang pertanian.
4.Fatwa terakhir adalah tentang mimpi-mimpinya. Setelah menjadi penulis milyader, Andrea berpikir “What next?” Ia bukanlah orang yang hanyut dalam popularitas sehingga jatuh dalam kehidupan glamor. Andrea justru merencanakan untuk membuat program pelatihan menulis bagi para narapidana yang hidupnya terbelenggu di rumah tahanan. Ia berpikir bahwa mereka yang tersisih ini sebenarnya punya kekuatan yang bisa mereka ekspresikan dalam bentuk tulisan. Mungkin ia terinspirasi oleh banyaknya tokoh populer yang berhasil melahirkan karya besar ketika berada di penjara, seperti HAMKA. Di sinilah perlunya uluran tangan para penulis ternama untuk ambil bagian dalam pemberdayaan orang-orang terpinggir. Namun ia memberi catatan, “Acaranya jangan seperti jumpa fans ya! Saya benar-benar ingin berbagi, bukan untuk dipuji.”
Demikian sekelumit bincang-bincang dengan sang Pujangga kebanggaan kita. Semoga pesan-pesan ini merasuk dalam jiwa kita, para penulis masa depan. Amin
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
pikiran yang cemerlang yang belum pernah terpikirkan sebelumnya...good job untuk bang andrea...
BalasHapusSetuju...thanks and bravo buat bang Andrea...
BalasHapus