Kamis, 30 April 2009

P U L A N G

(Cerpen ini telah dimuat dalam Majalah Pembangunan Agama Jawa Timur)


Gelap malam berangsur memekat. Sinar rembulan tersengal-sengal di peraduan. Rupanya ia letih menjelajahi kaki langit yang menyembunyikan batas, seperti aku yang tertatih mencari perlindungan di segenap kolongnya. Angin sibuk membenahi selendang yang tersangkut di reranting pohon. Ditarik-tariknya selendang itu dengan segenap tenaga untuk melepaskan diri dari cabikan duri-duri hutan. Jeritan yang menyayat membuat malam semakin senyap.

Tapi aku tidak takut! Tetap saja kuteruskan langkahku tanpa henti. Kubiarkan saja suasana sekelilingku menatap dengan seribu rasa. Karena aku sudah tak punya peduli pada indraku. Wewangian kuburan tak membuatku merinding. Biasa-biasa saja. Persetan dengan dedemit yang mulai menjalankan operasinya. Masa bodoh dengan binatang malam yang siap menerkam. Aku terus bergerak maju. Kelamnya malam sekelam hatiku yang rapuh.

Aku begitu tegap dalam menyibaknya. Berlalu menumpas serpihan ranting berduri. Aku harus kebal. Tekadku sudah bulat untuk melepaskan diri dari keramaian hidup yang telah menggusarkan bahkan cenderung mematikan jiwaku. Untung saja aku tidak gila dibuatnya. (Untuk ini, terkadang aku kurang percaya atas kewarasanku).

Sambil setengah berlari, kutelusuri jalan setapak yang membelah dua kampung itu sunyi dan dingin. Binatang mungil yang beradu suara malam ini terkesiap oleh langkahku yang serupa petugas ronda memburu maling. Seketika mereka seperti terserang penyakit tenggorokan yang ganas. Binatang-binatang buas yang merajai hutan rupanya pun terbuai oleh alunan musikal dedaunan. “ Aman!” Pikirku.

Beberapa kali kusempatkan mengusap peluh yang menghujan di segenap pori. Tak kuhiraukan sabitan onak beracun mencabik sekujur tubuh. Sayang tak ada waktu untuk merasakan apalagi merawatnya. Kuterjang kebisuan dengan keperkasaan. Apapun yang akan menimpaku setelah keputusan akhirku, akan kuhadapi dengan penuh tanggung jawab, seperti pesan guruku di bangku SD bahwa hidup harus diselimuti oleh rasa tanggung jawab. Walau aku tak tamat sekolah itu masih juga tersisa keterangan guruku yang paling tak kusuka karena terlalu kaku seperti tiang listrik yang tak peduli terpaan angin—begitulah olokan konyolku padanya. Tapi barangkali karena kebencian itu membuat beliau terbayang saat genting seperti ini. Barangkali ini yang banyak disebut kiyai kampungku sebagai ilmu yang bermanfaat. Tapi bagaimana mungkin manfaat, lha wong aku anak super bengal begini...! Ah, aku susah memahaminya dan barangkali dunia memang sering terbolak-balik.

Kelelahan yang cukup panjang kelihatannya menderu-deru mematahkan langkahku untuk sekedar rebahan di atas rerumputan basah sambil merenungi peristiwa hidup yang baru saja terjadi. Sungguh begitu rumit. Aku benci pada diriku yang susah diatur, keluargaku yang sok kuasa, para tetangga, sahabat-sahabat yang belakangan ini tak segan-segan mengusik ketenanganku, tapi aku tak dapat membenci Tuhan.

“Tuhan, aku terima apa yang Kau putuskan, barangkali ini salahku, tapi mungkin yang terbaik bagiku, karena aku tak tahu apa yang Kau maksudkan dengan menciptaku sebagai salah satu pelaku dunia ini.”

Alangkah senangnya bila aku dapat mengikuti jejak Tarsan, yang telah menyatu dengan alam tanpa harus pusing memikirkan pemenuhan kebutuhan hidup yang menyesakkan, semuanya telah tersedia di sini, di hutan yang ramah.

Keteganganku menapaki kesendirian mulai beringsut. Gelap telah mengajariku arti keteguhan. Malam tak pernah dengan gegabah meloncati siang ‘tuk sekedar unjuk kekuasaan merayu alam tersungkur di ujung kakinya. Malam bagai gumpalan-gumpalan kerinduan yang tersimpan dalam hati seorang perjaka. Manusia muda yang terpikat akan keelokan cahaya rembulan di ketiak awan. Dingin bawaan cukup ampuh menenggelamkan imajinasi setiap ciptaan akan kelembutan yang tulus tanpa pamrih.

Sepoi-sepoi yang menepis kelopak mata memaksaku tepekur dalam keterasingan—sebuah penggalan fragmen kebisuan yang menggoda. Tiba-tiba, ada keanehan yang membuatku sedikit merinding. Kurasakan tubuhku begitu ringan menari-nari di antara potongan ranting yang terhempas badai baru-baru ini. Seribu mata pepohonan menonton aksiku tanpa berkedip. Aku semakin tak dapat menahan diri. Kulambungkan jasadku menyusuri batang-batang kekar dengan kerimbunan daun mengembang.

“Ah, masihkah aku hidup...?!!” Kucoba mencubitkan jemariku ke sekujur tubuh. “Aduh, aku belum mati, tapi mengapa keadaanku jadi ringan begini...?!!”

Terbayang asyiknya kawanan burung menghinggapi dahan dan ranting, bercengkrama penuh keakraban, dan aku kini juga bisa. Bahkan aku tanpa perlu lagi mengepakkan tanganku untuk meliuk-liuk di antara pagar alam yang menjulang.

Kulayangkan pandanganku kepada ratusan bahkan ribuan penduduk hutan yang terlelap dalam impian. Aku masih menikmati raut wajah rembulan yang seakan bertanya tamu asing yang belum pernah dilihatnya. Lewat sorot cahayanya yang hinggap di dedauan, kudapat pesan agar aku mendongakkan mukaku dan menyampaikan gundah gulana yang barangkali ia mempunyai resep mujarab untuk menolongku. Aku—karena rasa egoisku—menolak tawaran yang merendahkan derajat lelakiku. Aku tak mau menjalin hubungan dengan apapun di dunia ini yang telah begitu nyata memporakporandaku kecuali kalau ia mau bertekuk lutut di hadapanku sehingga aku bebas memainkannya.

Tak kusangka rembulan begitu murung atas keputusan kasarku. Ia tak mau lagi memperlihatkan keelokan yang beberapa saat telah memikat perhatianku. Pelan pelan semburat awan gelap menutupi pesonanya bagai seorang gadis manis yang malu-malu menghampari kerlingan matanya dengan lembaran kerudung.

Tapi aku tak ambil peduli dengan kelentikan yang menebar bius. Aku tetap setegar pohon jati yang kukuh menembus langit hingga tetes darah penghabisan. Aku tak gampang terayu oleh tipuan-tipuan murahan yang dilancarkan siapapun. Hemm!!

Bersamaan dengan itu terdengar derap angin ribut mencari mangsa. Keheningan hutan mulai terkoyak dengan deritannya yang menggelegar. Kilatan cahaya putih memotong dedaunan. Letusan alam mengguncang. Tapi aku tetap bertahan di lengan pohon.

Rembulan mulai tak mampu mengusai perasaannya. Barangkali ia tahu apa yang akan terjadi padaku. Ditumpahkannya aliran air mata bersama hujan yang panas. Seluruh penduduk hutan terperanjat dari tidurnya dan bertanya-tanya apa yang telah terjadi, Akankah kiamat semakin dekat? Terbayang kematian masal yang merenggut kenikmatan. Bayi-bayi yang di peluk ibunya. Bunga-bunga yang bermekaran. Semua pasrah bila berhadapan dengan putusan alam. Aku memahami kegelisahan di segenap penjuru.

“Hai penduduk hutan, jangan risau, perubahan ini hanya tipuan belaka. Tetaplah dalam rumah-rumah kalian. Badai buatan ini akan segera berlalu.”

Angin memperburuk perangainya. Ditumbangkannya pepohonan untuk menunjukkan bahwa ia begitu kuasa. Ditebasnya daun-daun dan ranting, lalu dihamburkannya sehingga menutupi sorot pandangku.

“Sialan, Jangan kau sok kuasa di hutan ini, heh, lawan aku kalau kau memang benar-benar jantan, jangan kau rusak mereka yang tak bersalah, tunjukkan wujudmu dan mari kita beradu..!!!”

Angin tersinggung, kali ini ia menghentikan sabetannya, mulai ia mereda. Bersamaan dengan itu muncullah wajah hitam legam dengan mata merah padam dalam ukuran yang sangat menyeramkan. Kali ini ia berkata,

“ Hai, Ton, kenapa kau masih juga mengikuti nafsu gilamu, mengapa kau begitu bodoh mengasingkan diri di tempat ini sedang mereka yang kau tinggalkan telah babak belur mencarimu…?”

“ Peduli apa kau dengan mereka..! Itu bukan urusanmu…Enyah kau dari hadapanku…!” Bentakku tak kalah sengitnya.

“ Rupanya kau belum puas setelah membunuh ayahmu, membunuh saudara-saudaramu, dan sekarang yang tinggal hanya ibumu, itu pun kalau ia ada di sana saat itu, ia pun akan kau habisi juga.”

Aku terkejut. Aku telah lupa semua yang kulakukan. Aku lupa. Telmi-ku mulai merajuk. Apa benar kata angin, jangan-jangan ia membual merayuku agar aku kembali pulang.

“ Hai angin jahannam, jangan sekali-kali kau menipuku, katakan pada mereka aku di sini baik-baik saja dan katakan pula aku tak ingin kembali. Biarkan aku menyatu dengan kedamaian yang ditebar penghuni hutan.”

“Tidak bisa, kau harus mempertanggungjawabkan ulahmu, ingat ibumu telah renta, kini ia terbaring lemas dan menyebut-nyebut namamu, tidakkah kau ingin mencium tangannya sekedar meminta kerelaannya sebelum kau dipancung ...?”

Dipancung? Bergetar seluruh sel-selku. Terbayang pisau bermata dua yang diayunkan algojo saat eksekusi maling kelas kakap atau perampok berdarah dingin, tapi aku bukan maling aku bukan perampok.

“Tapi kau pembunuh...! Itu lebih kejam dari maling atau perampok...!!!” Suara angin memecahkan otak udangku. Ia seakan tahu yang sedang berkecamuk di hatiku.

“ Hai angin, aku masih tak percaya atas semua celotehmu, mari kita buktikan siapa yang benar di antara kita. Ayo bertanding menguji keperkasaan...!”

Rupanya angin sudah dapat menebak keras kepalaku. Tanpa banyak bicara sebelum aku betul-betul siap, disambarnya aku yang kini telah benar-benar ringan dan diterbangkan melewati pekatnya malam dan sunyinya hutan.

“Kau curang, kau curang.” Kucoba melepaskan diri dari dekapannya seperti mayat meronta-ronta dari pelukan malaikat maut. Tapi aku terlalu lemah. Tulang-tulangku yang sejak tadi gemeretak kini kian tak berdaya.

***

Aku dilepas angin tepat di atas halaman rumahku, gubuk tempat pertama kali kuenyam keteduhan, dan kini telah sirna. “Tunjukkan kepada mereka bahwa kau benar-benar jantan...!!” Pesan terakhir angin mengejek sambil melemparkanku dengan kasar.

Bruuuuk......!!!.....Aaaaaah.......” Semua mata mencari arah suara. Ditemukannya aku dalam keadaan memar berlumuran darah laiknya orang kalah perang. Tapi aku tetap berusaha berdiri dan...lari.

“Hah....Tono pulang.....Tangkap dia...!” Suara gaduh mulai mengisi keheningan para tetangga yang sejak kemarin menunggu ibuku yang tak sadar. Aku tak bisa berkutik. Aku menyerah pasrah. Sambil digandeng beberapa orang, akhirnya aku bersimpuh di hadapan ibu dan mencoba menciumi tangannya.

“ Ibuuu.....!!!” Rupanya ibu mendengar suaraku lamat-lamat. Ia mengedip-ngedipkan matanya mencariku. Diangkat tangan itu gemetar, perlahan... untuk mengusap rambutku yang koyak.

“To.....To.....no... a..nak.....ku.! suara itu terputus-putus dan.....takkan kudengar lagi untuk selamanya. Rupanya masa kritis ibu hanya menunggu kedatanganku.

Ibuuuuuuuuuu.....!!! Aku tak dapat menahan rasa sedihku, sedih yang sesungguhnya. Berbeda dengan pembacokan yang kulakukan kepada ayah dan saudara-saudaraku. Semua berjalan justru sangat menyenangkan. Barangkali aku kesal dan kalap saat itu. Dan aku benar-benar lupa.

Air mataku kering kerontang, seperti keringnya darahku yang sedari tadi mengucur deras. Semua telah terlambat. Dan mungkin aku telah puas. Menyandang berbagai predikat “istimewa” yang digelarkan para tetangga. Aku rela diciduk dan segera menerima hukuman pancung sebagai penebus dosa setimpal bagi seorang pendurhaka, dan itu akan mempercepatku segera menyusul ibu. Astaghfirullahal Adzim...!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction