Sabtu, 25 April 2009

TIDAK SEMUDAH KATA MAAF

Kata maaf termasuk perbendaharaan bahasa yang paling sering diucapkan orang ketika membuat kesalahan. Bentuknya simpel dan tidak repot. Dengan kata ini, pembuat kesalahan berharap dirinya mendapat semacam ampunan dari korbannya agar semua dosanya bisa terhapus. Memang, pada prinsipnya tidak ada orang yang seratus persen sempurna. Ada kalanya kita membuat kesalahan, baik disengaja maupun tidak. Tradisi meminta maaf akan meneguhkan kembali tali silaturrahmi dan diharapkan mendekatkan kembali hubungan yang sempat berjarak.

Permasalahannya kemudian, apakah kesalahan itu benar-benar terhapus dari benak korban? Apakah ingatan korban dapat menghilangkan seluruh kegetiran dan kepahitan yang pernah dialami dengan hanya menerima permintaan maaf dari pelaku? Nampaknya tidak sesederhana ini. Sebagai ilustrasi, mari kita cermati tingkah seorang anak yang menancapkan berbagai jenis paku pada sebuah batang pohon. Pada mulanya, ia menancapkan paku-paku itu, satu demi satu. Paku telah menghunjam jauh ke dalam kulit pohon dengan kedalaman yang bervariasi. Lalu, anak tersebut mencabut paku-paku itu satu demi satu. Karena ukuran dan jenis paku yang berbeda-beda ditambah lagi kedalamannya yang tidak seragam, anak tersebut memperoleh pengalaman yang berbeda saat mencabut antara satu paku dengan yang lain. Sebagian paku mudah ditarik dan sebagian lagi cukup sulit sehingga membutuhkan tenaga ekstra dan bekas luka yang lebih lebar. Akhirnya anak itu dapat mengambil paku-paku itu dan mengumpulkannya di dalam sebuah mangkok dengan bentuk paku yang sudah berbeda dengan bentuk awalnya. Luka-luka pada kulit pohon juga nampak berbeda kedalaman dan lebarnya.

Ilustrasi di atas dapat dijelaskan bahwa paku ibarat setiap kesalahan dan lubang adalah efek kesalahan. Berbagai paku yang menghunjam pada kulit pohon sama dengan kadar pengaruh kesalahan pada diri korban. Ada beberapa kesalahan yang dapat ditolelir seperti luka kulit pohon yang dangkal yang akan tertutup secara perlahan oleh sistem jaringan kulit pohon, tapi ada pula kesalahan yang tidak dapat ditolelir meskipun si pelaku sudah meminta maaf hingga ratusan kali. Mungkin ia secara lisan bisa memaafkan, namun luka hati yang menganga tidak bisa dihapus hanya dengan kata maaf. Perlu rehabilitasi yang cukup lama untuk menyamarkan rasa sakit itu sebagaimana kulit pohon yang terus menerus melakukan perbaikan hingga bekas tusukan paku kian menghilang. Namun, satu hal yang dapat dipastikan bahwa kulit pohon tidak dapat kembali mulus seperti sediakala. Goresan bekas sayatan akan tetap terkenang abadi sepanjang hidup pohon itu.

Dari analogi kepada pengalaman pohon, nampaknya kesalahan mungkin bisa terhapus, tapi bekas luka akibat kesalahan itu akan terpatri kuat di dalam ingatan korban. Itulah kemudian mengapa Islam menganjurkan selalu berbuat kebaikan kepada orang lain, sehingga setidaknya ketika ada kesalahan, jumlahnya dapat diminimalisasi. Islam juga mengajarkan untuk menjaga lidah agar tidak dengan mudah menyebar fitnah dan cacian kepada orang lain, seperti ungkapan “Keselamatan seseorang tergantung seberapa mampu ia menjaga lidahnya”. Saling menghormati dan saling mengasihi akan menumbuhkan cinta kasih antara sesama sehingga dapat menghindarkan pertengkaran yang seharusnya tidak perlu terjadi. Semoga kita dapat memelihara diri dari berbuat kesalahan. Kalaulah kemudian harus minta maaf, kita harus menyadari bahwa luka hati yang telah kita goreskan tidak akan mudah ia lupakan hingga akhir hayatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction