Saat ini banyak orang memimpikan dirinya sebagai pemimpin. Dengan menjadi pemimpin, mereka merasa akan tergolong dalam kelompok orang-orang terhormat. Semua orang akan tunduk patuh terhadap perintahnya. Dimana pun dan kapan pun, mereka akan dipuji dan dipuja. Sepertinya, dengan menjadi pemimpin, seseorang akan memperoleh garansi kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan, khususnya bidang politik dan ekonomi.
Namun, belum disadari bahwa pemimpin harus mampu menguasai banyak ketrampilan yang tidak hanya diperoleh dari bangku perkuliahan, namun ada yang harus dipetik dari ‘fakultas’ kehidupan. Seseorang yang mampu mengolah informasi dari lingkungannya secara baik akan mudah beradaptasi dan lihai dalam mengambil langkah strategis untuk kemaslahatan publik. Namun, memang diakui untuk menjadi peka dan jeli dalam melihat dan menganalisa pelajaran sepanjang hidup tidaklah mudah. Hanya segelitir orang saja yang mampu melakukan hal itu.
Sebuah contoh dapat disebutkan di sini. Salah satu tokoh penting nasional yang kini sering menjadi buah bibir adalah rektor UIN Malang. Penampilannya sederhana, tutur katanya lemah lembut, gaya bahasanya sopan, airmukanya menyejukkan, murah senyum, dan penuh wibawa. Entah dari mana memulainya untuk mendeskripsikan keunggulan beliau, namun yang jelas setiap orang yang melihatnya akan terpana oleh retorika pidatonya yang berbobot. Hampir setiap kesempatan di podium, ada saja ungkapan baru yang disampaikannya. Hingga, seluruh civitas akademika UIN Malang tak jemu-jemu mendengar ulasannya, apalagi orang luar yang belum mengenalnya.
UIN Malang ketika ia mulai dipercaya sebagai orang nomor satu, jumlah dosennya hanya 43 orang. Selang enam bulan kemudian, rekan kerja yang almarhum sebanyak 7 orang. Praktis, putaran roda perguruan tinggi relatif lamban. Namun, dengan terobosan dan semangat juang yang gigih—yang kemudian ingin ia wariskan kepada kami—kini UIN Malang yang sudah diresmikan oleh presiden dengan nama Maulana Malik Ibrahim pada Januari lalu, memiliki dosen tak kurang dari 300 orang. Dibanding gaungnya yang sudah melangit, jumlah tersebut memang belum seberapa. Namun dengan pasukan sebesar itu, UIN Malang masih tetap berhasil membuai para pengunjungnya sehingga tak sedikit tamu-tamunya berdecak kagum. Mengapa UIN Malang begitu melambung?
Prestasi ini tidak lepas dari peran sang rektor yang lihai dalam melakukan manajemen UIN. Ia antara lain menerapkan konsep manajemen situasional, yakni suatu gaya kepemimpinan yang tidak kaku dan menyesuaikan dengan kondisi dan situasi para kolega dan bawahannya. Sebagai contoh, suatu saat rektor begitu ketat melarang dosen untuk kuliah di luar Jawa Timur, namun kini beberapa dosen diperkenankan mengambil sekolah lanjut di luar Jawa Timur. Suatu saat rektor sangat keras terhadap salah satu dosen, tapi suatu waktu begitu lembut dan bersahabat kepadanya. Semua itu dilakukan dengan pertimbangan yang matang demi kemaslahatan UIN dan kemakmuran bersama.
Sikap teladan tak sedikit ia tunjukkan kepada insan akademik UIN. Hal yang paling konkret adalah sikap kedermawan. Setiap bulan, rektor menyisihkan sebagian gajinya sebesar 20% untuk kepentingan sosial. Beberapa tahun terakhir, dana tersebut langsung disalurkan kepada lembaga filantropi di bawah naungan kampus. Belum lagi, ia memiliki pesantren mahasiswa yang tidak memungut biaya kepada para santrinya. Di kampung, ia memiliki masjid yang digunakan untuk masyarakat sekitar dan setiap malam Jumat ia mengadakan jamuan bagi para jamaah tahlil masjid itu. Pendek kata, untuk soal keteladanan ia tidak sungkan apalagi segan menunjukkan kepada para dosen dan karyawan bahwa memimpin kampus perlu semangat yang gigih dan ketedanan yang nyata. Pada suatu kesepatan ia berucap bahwa ia rela tidak mendapat pahala karena bersedekah di hadapan umum dan disampaikan berulang kali kepada khalayak ramai, asalkan kemudian banyak orang yang mencontoh perbuatan baik itu. Dengan begitu, pahala akan diperoleh dari perbuatan baik orang-orang yang mendengarkan ceritanya itu.
Hal lain yang patut dicontoh dari pemimpin yang satu ini adalah salat berjamaah. Setiap ia berada di kampus, saat adzan tiba, ia berangkat ke masjid dengan jalan kaki. Ia selalu duduk di barisan depan sambil menunggu waktu iqamat. Sikap rajin ini masih belum ada yang menandingi, para dekan sekalipun. Jadi, ia memang tidak bosan-bosannya memberi teladan bahwa shalat jamaah adalah salah satu kunci kesuksesan dalam membangun kebersamaan di antara anggota masyarakat kampus.
Alhasil, pola kepemimpinan yang sesuai dengan karakter dan budaya lokal dengan polesan nilai-nilai Islam akan melahirkan suatu institusi yang kokoh dan berwibawa. Pemimpin yang baik bukan hanya memikirkan diri sendiri, namun lebih kepada mengabdikan segenap jiwa raganya untuk kebesaran institusi dan kemakmuran bersama. Dengan begitu, keberhasilan demi keberhasilan akan mudah diraih sehingga selalu menebarkan keharuman dalam kenangan ibu pertiwi. Wa Allah a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar