Manusia diakui kemanusiaannya jika ia mampu menggunakan akal pikirannya (hayawan nathiq) . Ayat-ayat Tuhan tak sedikit menganjurkan pemakaian anugerah-Nya yang termahal ini. Otak manusia memang luar biasa, tapi justru karena luar biasanya itu manusia sering mengabaikan tatanan dan norma yang ada. Jika demikian kedudukannya tak lebih mulia dari kaum kerbau yang paling dungu sekalipun. Sebenarnya makin cerdas manusia, makin pandai pula ia menemukan kebenaran. Makin benar manusia, maka makin baik pula perbuatannya. Namun dalam realita tak jarang ditemukan kasus sebaliknya, makin cerdas manusia makin pandai pula ia berdusta. Orang pandai agama justru paling getol melakukan pelanggaran agamanya. Ironis sekali!
Ilmu dan teknologi memang diakui mampu meningkatkan kualitas peradaban. Kebutuhan manusia semakin mudah dipenuhi dengan lebih baik dan sempurna. Masalah kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi sudah bukan lagi soal. Artinya tingkat kesulitan yang dihadapi paling tidak lebih rendah ketimbang tanpa adanya Iptek. Namun ketentraman kita sedikit terusik jika kita mengingat bahwa Iptek tidak 100% bebas dari ekses negatifnya.
Perang adalah sebuah fakta yang menujukkan bahwa ilmu tidak murni untuk kebaikan manusia, tapi justru bisa menghancurkan sesama manusia dan alam semesta. Senjata pembunuh, teknik penyiksaan modern pun berkembang. Inilah sisi buruknya kalau manusia harus mengikuti perkembangan teknologi, bukannya teknologi yang mengikuti manusia. Kemanusiaan manusia makin menipis dan menghabis digerogoti oleh kebiadaban teknologi yang berusaha untuk “mempernyatakan” eksistensinya. Sungguh, suatu pembayaran yang sangat mahal!
Hampir dapat dipastikan saat ini sudah tiada lagi bagian hidup manusia yang tak tersentuh oleh ilmu dan teknologi. Perkembangan Iptek sudah begitu “menggila” hingga seakan ingin menandingi kekuasaan Tuhan atau setidaknya ingin mengotak-atik “hukum-hukum permanen” Tuhan, semisal reproduksi dan penciptaan manusia. Beberapa tahun lalu dunia digegerkan oleh teknologi Clonning yang mengkhawatirkan para agamawan dan moralis.
Ujung semua itu adalah penghambaan manusia di hadapan “rejim” teknologi, bukan sebaliknya, padahal keadaan itu sangat bertentangan dengan tujuan pertama dipelajarinya Iptek yang menginginkan kemaslahatan umat manusia.
Pertanyaan kemudian barangkali berkaitan dengan aksiologi ilmu. Untuk apa sebenarnya ilmu dipergunakan? Di mana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan ilmu diarahkan? Rangkaian pertanyaan itu tentunya sangat aktual dipersoalkan di akhir abad ke-20 menjelang ke-21 yang telah mengalami dan merasakan betapa dasyatnya perang dunia I dan II sembari dibayangi moncong perang dunia III. Jawabannya terpulang kepada moralitas manusia.
Pada dasarnya pertumbuhan ilmu sejak awal sudah dikontrol oleh moral walaupun kenyataannya moral yang diwakili oleh agama dan para pendeta cenderung mematikan ilmu. Inkuisisi Galilio tahun 1633 oleh pengadilan gereja adalah bukti “keperkasaan” moral melawan ilmu.
Kesalahan fatal yang menyudutkan kontrol moral atas perkembangan ilmu itu menyebabkan ilmu ingin lepas semerdeka-merdekanya dari kontrol moral. Inilah kemudian yang menyebabkan ilmu ingin terbebas dari segala nilai. Ilmu ingin memperoleh otonomi tersendiri tanpa adanya campur tangan dari moral (agama). Dikotomi Das Sollen atas Das Sein merupakan salah satu bukti kesuksesan ilmu meloloskan diri dari cengkeraman moral.
Dengan posisinya yang otonom, maka ilmu semakin leluasa mengembangkan diri tanpa dibayang-bayangi oleh pelbagai inkusisi mengerikan. Ilmu kemudian mengkonkretkan diri sebagai teknologi. Teknologi berarti penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah praktis baik yang berupa perangkat keras maupun lunak. Tujuannya adalah menjelaskan gejala-gejala alam untuk pemahaman dan pengertian, atau memanipulasi faktor-faktor yang terkait dengan gejala-gejala alam untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Contoh gampangnya, ilmu mengembangkan sebuah teknologi untuk mencegah banjir, tanah longsor, dan gempa bumi. Tahapan ini disebut peralihan ilmu dari “kontemplasi” ke “manipulasi”.
Dalam tahap manipulasi, masalah moral mencuat kembali, namun dalam kaitan dengan faktor lain. Bila dalam tahap kontemplasi, moral berkaitan dengan metafisika keilmuan (ditinjau dari ontologi ilmu), adapun dalam tahap manipulasi ini moral berkaitan dengan cara penggunaan ilmu (aksiologi ilmu).
Masalah teknologi yang mengakibatkan proses penghancur manusia dan kemanusiaan (dehumanisation) lebih merupakan masalah kebudayaan daripada masalah moral. Bukan berarti moral tidak berperan, akan tetapi masyarakat harus menentukan teknologi mana saja yang akan dipergunakan. Jadi masyarakat mesti menentukan strategi pengembangan teknologi agar selaras dengan nilai-nilai budaya yang berlaku. Dengan perkataan lain, manusia harus membuat penerapan teknologi yang lebih manusiawi.
Netralitas Ilmu
Para ilmuwan terbagi menjadi dua golongan dalam menanggapi ekses negatif ilmu dan teknologi, yaitu,
1. Paham Netralitas Murni, golongan ini berpendapat ilmu harus netral terhadap segala nilai, baik secara ontologis maupun aksiologis. Ilmuwan hanya bertugas menemukan pengetahuan, tentang penggunaannya ia tidak bertanggung jawab. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total.
2. Paham Netralitas Terbatas, golongan ini menyatakan bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada ontologi ilmu (metafisika keilmuan) sedang dalam penerapan (secara aksiologis) bahkan pemilihan obyek penelitian, kegiatan keilmuan harus berdasarkan asas-asas moral. Golongan ini mencoba menyesuaikan kenetralan ilmu secara pragmatis berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat. Alasan yang mereka ajukan adalah :
a. Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif pada perang dunia I dan II.
b. Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum keilmuan lebih mengetahui ekses-ekses negatif yang ditimbulkannya.
c. Perkembangan ilmu itu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki, seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial (social engineering). Jadi ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau masalah hakekat kemanusiaan.
Ilmu dan moral bagaimanapun juga merupakan dua sisi mata uang yang harus diimplementasikan secara bersamaan. Ilmu tanpa moral (agama) adalah buta sedang moral (agama) tanpa ilmu adalah pincang, demikian mutiara kata Albert Einstein yang patut kita renungkan sepanjang waktu. Sekian tulisan ini dan semoga bermanfaat. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar