Rabu, 03 Juni 2009

ETIKA BERKOMUNIKASI TERBUKA


Suatu hari, dalam sebuah diskusi hangat di sebuah komunitas ilmiah, Si Badu tiba-tiba tersinggung oleh pernyataan kawannya yang mengatakan, “Tulisan Saudara tidak ada isinya sama sekali.” Di lain waktu, kawannya yang lain berujar, “Saya sangat kecewa dengan Anda karena menulis hal-hal yang tidak seharusnya ditulis. Tidak ada ada yang istimewa dalam presentasi Anda, semuanya hanya biasa-biasa saja.” Dalam hati si Badu, dua kawannya tersebut telah menyayat hatinya karena tidak ada penghargaan sedikit pun atas jerih payahnya menyusun sebuah karya ilmiah berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu. Ia sedih karena dalam pikirannya, kawan-kawannya akan memuji atau setidaknya akan memberikan satu apresiasi yang layak sebagaimana ia biasa alami dalam kemunitas yang ia geluti sebelumnya. Apa yang salah dalam kelompok barunya ini? Adakah satu kebiasaan ‘aneh’ yang memang harus ia jalani?

Memang, lain ladang lain belalang, atau lain lubuk lain ikannya. Dalam proses berkomunikasi dengan manusia yang memiliki kompleksitas latarbelakang, kita tak jarang dihadapkan pada pola hubungan yang timpang. Ada kalanya mereka sesuai dengan kebiasaan kita, namun kadang pula kita harus berani menahan perasaan atas ucapan mereka yang memanaskan telinga. Hanya saja, dalam dunia akademis, seakan ada sebuah konsensus bahwa setiap akademisi harus menjunjung tinggi apa yang biasa disebut dengan ‘etika berkomunikasi terbuka.’ Maksudnya, dalam berbicara dengan orang lain, seseorang baik sebagai narasumber atau peserta, harus memperhatikan tatakrama berbicara dalam forum yang melibatkan banyak orang. Kebiasaan buruk untuk mencela atau meremehkan orang lain merupakan tindakan yang amoral.

Islam sebenarnya sudah mengingatkan kita untuk saling menghormati dan mengasihi. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa tidaklah menjadi bagian dari umatku mereka yang tidak menghormati orang-orang yang lebih tua dan tidak mengasihi orang-orang yang lebih muda. Lebih lanjut, dalam al-Qur’an, Allah SWT telah berfirman bahwa kita dilarang untuk menghina orang lain, karena bisa jadi orang yang kita hina ternyata lebih baik dari kita. Jadi, kalau kita dianggap memiliki kemampuan agama yang cukup dan tingkat akademik yang memadai, sudah selayaknyalah kita menggunakan etika yang luhur, bukannya menghiasi diri kita dengan kebiasaan memandang rendah orang lain, apalagi diucapkan dalam forum yang menjunjung tinggi makna etika. Dengan demikian, akhlak mulia yang merupakan tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad SAW dapat terwujud di muka bumi dengan dukungan sempurna dari diri kita sebagai pribadi dan komunitas muslim secara keseluruhan. Wa Allah A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction