Rabu, 10 Juni 2009

ISLAM DAN ZAMAN MODERN MENURUT ENGINEER

(Diterjemahkan dan dianalisa dari artikel RELIGION, PLURALISM AND MODERN SOCIETY)

Masyarakat modern, diakui atau tidak, pada intinya merupakan masyarakat majemuk. Pada sisi lain, agama-agama besar di dunia lebih sering berasal dari masyarakat tunggal (monolitik). Oleh sebab itu, ajaran-ajaran agama tersebut disesuaikan dengan masyarakatnya. Bahkan, jika sebuah agama berasal dari masyarakat yang memiliki lebih dari satu agama dan akhirnya menjadi agama yang dominan dalam masyarakat itu, maka teologinya berkembang seakan-akan sebagai satu-satunya agama yang sah.

Agar dapat memahami agama dalam perpektif yang tepat, seseorang dapat membagi agama ke dalam tiga kategori yang saling berkaitan:

1. Aspek kewahyuan agama yang dimuat dalam kumpulan wahyu-wahyu yang diterima oleh nabi atau pernyataan-pernyataan intuitif dari pendirinya

2. Teologi yang dikembangkan berdasarkan wahyu-wahyu itu, pernyataan-pernyatan nabi, dan lingkungan terkait yang menjadi tempat dilakukannya pengamatan tersebut.

3. Praktik-praktik popular, adat-istiadat, dan tradisi-tradisi di antara para pengikut agama itu.

Jadi, hal yang paling fundamental dari sebuah agama seharusnya adalah aspek kewahyuan yang meletakkan dasar-dasar dan petunjuk-petunjuk bagi para pengikutnya. Namun, seringkali bagian dari agama ini dikesampingkan dan teologi-teologi yang dikembangkan oleh para tokoh teologi keyakinan itu dan tradisi-tradisi serta praktik-praktik popular dapat diterima secara lebih luas. Masalah yang nyata dalam penerimaan kebenaran agama-agama lain adalah bukan karena aspek kewahyuan atau aspek intuisi tetapi karena dua hal yang lain, yakni tradisi teologi dan tradisi popular. Terkadang kebiasaan umum dan tradisi masyarakat nampak lebih akomodatif daripada aspek teologi.

Masalah nyata dalam penerimaan keabsahan agama-agama lain pada pokoknya disebabkan oleh aspek teologi ketimbang unsur kewahyuan. Adapun teologi lebih merupakan ajaran buatan manusia daripada peraturan kehendak Tuhan meskipun hal tersebut berdasarkan wahyu. Walaupun begitu, formulasi teologi utamanya didasarkan kepada pemahaman manusia terhadap teks wahyu dan pemahaman ini dipengaruhi oleh lingkungan sekitar manusia. Jika agama tertentu menjadi agama dominan atau dianut oleh para penguasa, maka teologinya seringkali mencerminkan sikap dominasi kelompok mayoritas tersebut.

Agama Kristen sepanjang menjadi agama yang utamanya dipeluk oleh orang-orang tertindas Palestina, nilai-nilai dominannya sangat berbeda. Kitab Bibel adalah ajaran yang penuh simpati kepada kelompok tertindas, terekploitasi, dan terbuang dari masyarakat. Terdapat banyak penekanan kepada panggilan di atas gunung daripada konversi dan penghinaan kepada non-Kristen. Namun, setelah beberapa abad ketika Kristen dianut oleh para penguasa Romawi, sikap para pemuka agama mengalami perubahan dan menjadi karakter agama dari komunitas penguasa dominan. Sekarang, ada penekanan yang cukup kuat untuk menghina kelompok non-Kristen.

Islam juga memiliki sejarah serupa. Islam pada fase Mekkah lebih manusiawi dan penuh simpati kepada orang-orang tertindas dan tereksploitasi. Pada kenyataannya, Muhammad Thaha dari Sudan menekankan hal ini pada bukunya Second Coming of Islam (kehadiran Islam Kedua). Dia merasa bahwa penekanan seharusnya dilakukan pada praktik periode Mekkah untuk menciptakan Islam modern yang manusiawi dan memihak kepada kelompok teraniaya. Meskipun wahyu al-Quran tetap konsisten dengan ayat-ayat Makkiyah (tidak ada kontradiksi dalam wahyu suci), praktik Islam pada periode Madinah nampak lebih problematis.

Di Madinah, Islam segera menjadi agama mayoritas dan meskipun ia mengakui bahwa agama Kristen dan Yahudi dibawa oleh nabi Allah, Musa dan Isa, Islam bersitegang dengan orang-orang Yahudi yang mulai terusik oleh posisi dominan Islam sehingga orang Yahudi Madinah mulai bekerjasama secara diam-diam dengan kaum kafir Mekkah untuk mengalahkan Islam dan orang Muslim.

Nabi Muhammad SAW, selama beliau hidup, tetap menjadi sosok model bagi pengikutnya dan dia melaksanakan nilai-nilai al-Qur’an seperti adil, kemuliaan manusia, dan kasih sayang. Dia mencoba mengakomodasi orang-orang Yahudi sebaik yang bisa ia lakukan pada lingkungan tersebut dan bahkan melakukan perjanjian dengan mereka dengan memberikan kepada mereka kemerdekaan penuh untuk mengikuti agamanya. Mereka diperlakukan sebagai bagian dari komunitas kota Madinah. Namun konflik kepentingan manusia membawa pertentangan antara mereka dan orang-orang Muslim. Dan bahwa orang-orang Muslim tumbuh menjadi komunitas dominan membuat masalah menjadi semakin runyam.

Pada akhirnya, Islam muncul sebagai agama bagi penguasa yang paling kuat di dunia dan ini menjadi periode klasik Islam. Kebanyakan teologi dan teori serta formulasi hukum muncul selama periode ini. Teologi-teologi ini sungguh-sungguh merefleksikan posisi dominan kaum Muslim sepanjang periode tersebut. Al-Qur’an telah menunjukan penghormatan yang besar kepada seluruh para nabi dan menyebutkan beberapa nama mereka, meskipun tidak semua. Al-Quran juga mewajibkan bagi orang-orang Muslim untuk menunjukkan penghormatan sederajat kepada seluruh para nabi ini dan mereka yang tidak melakukan penghormatan tersebut dicap sebagai orang-orang kafir yang sebenarnya.

Tapi, orang-orang Muslim dan Yahudi pada satu sisi dan orang-orang Muslim dan Kristen pada sisi yang lain pernah terlibat dalam konflik yang serius. Perang Salib, meskipun secara jelas merupakan perang agama, namun sesungguhnya merupakan perang perebutan kekuasaan antara dua komunitas dominan tersebut. Kedua kelompok itu ingin menguasai ruang politik sebanyak mungkin dan berjuang untuk memperluas wilayah pengaruh mereka. Hal menarik untuk dicatat bahwa pada periode Medinah, terdapat pertentangan antara orang-orang Muslim dan Yahudi dan terdapat hubungan baik antara orang-orang Muslim dan Kristen. Namun kemudian pertentangan berkembang menjadi antara orang-orang Kristen dan Muslim.

Alasannya jelas. Di Madinah tidak ada orang-orang Kristen dan orang-orang Yahudi menikmati posisi dominan sebelum kehadiran Islam. Akan tetapi, posisi kaum Yahudi ini terancam setelah umat Islam menguasai ruang sosial dan politik dan orang-orang Yahudi merasa terpinggirkan. Jadi, konflik berkembang antara mereka dan ini menyebabkan sejumlah pertempuran berdarah.

Bagaimanapun, ketika Islam menyebar hingga ke wilayah-wilayah yang berada di bawah naungan kekuasaan bangsa Romawi, Islam berseteru dengan umat Kristen dan konflik ini terus berlanjut seiring Islam menyebar di Eropa dimana agama Kristen merupakan agama dominan. Konflik ini mengambil bentuk perang teologi, seperti tercermin dalam teologi Muslim dan Kristen pada periode tersebut. Dan sejak tiadanya kekuasaan Yahudi di manapun pada waktu itu, tidak ada sejarah lebih lanjut tentang konflik antara kedua komunitas tersebut sampai munculnya negara Israel pada tahun 1948.

Jadi, ini akan terlihat bahwa tidak ada konflik agama yang sesungguhnya antara dua agama ini. Tapi, jika seseorang meneliti pernyataan-pernyataan resmi para pemuka agama pada rentang waktu itu, maka ia akan menemukan konflik serius dan bahkan penghinaan satu sama lain. Ini sesungguhnya bukan konflik agama-agama dan pertanyaan tentang keselamatan spiritual, namun konflik dominasi politik dan ruang sosial budaya.

Di India juga pada kenyataannya tidak ada konflik antara Islam dan Hindu dalam tataran agama dan spiritual. Para pemuka agama Islam yang menjadi bagian dari kemapanan kekuasaan pemerintah Muslim cenderung mengadopsi sikap pelecehan terhadap agama Hindu. Penghinaan mereka tidak didasarkan kepada studi secara teliti terhadap kitab-kitab suci Hindu tetapi kepada praktik-praktik umumnya. Juga, para tokoh agama itu yang mencoba untuk mendekatkan diri kepada penguasa atau kemapanan kekuasaan pemerintah, cenderung ingin menunjukkan derajat permusuhan yang lebih besar terhadap agama komunitas lawan dan sikap mereka juga mencerminkan arogansi para tokoh agama dari pemerintah yang berkuasa.

D. KESIMPULAN

Teks di atas yang ditulis Ali Asghar Engineer, pemikir Islam dari India, membicarakan tentang hubungan antara agama, pluralitas, dan masyarakat modern. Pada bagian awal dari artikel ini, Engineer menekankan bahwa agama pada umumnya lahir pada masyarakat yang sederhana dan homogen. Ketika berhadapan dengan situasi sekarang, khususnya masyarakat modern yang cenderung heterogen, sebuah agama akan berhadapan dengan agama lain yang sama-sama mengklaim sebagai agama yang sah. Di sinilah letak permasalahan mendasar yang harus dipecahkan oleh masyarakat modern.

Pada dasarnya, perseteruan antar agama sudah ada sejak terjadinya persinggungan agama dengan kepentingan kelompok. Misalnya ketika Kristen dianut oleh para penguasan Romawi, agama ini kemudian melakukan penindasan dengan mengatasnamakan agama. Begitu pula saat Islam meluas ke daerah Eropa yang mayoritas Kristen, persinggungan antara kedua agama tersebut semakin kentara dan berujung pada perang Salib.

Akankah hal ini terus terjadi pada masyarakat modern yang multi agama? Bisa jadi, apalagi masyarakat modern mengembangkan persenjataan yang destruktif dan mematikan. Akan tetapi, Engineer pada bagian akhir tulisannya (tidak termasuk bagian yang diterjemahkan) menawarkan solusi yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat plural. Di antaranya adalah perlunya ditanamkan sikap toleransi dan penghormatan kepada sesama. Ia juga mengharapkan adanya sikap seimbang dan setara dalam menyikapi kebenaran semua agama. Dengan meningkatnya pemahaman antar sesama manusia dengan melakukan dialog diharapkan akan terbangun masyarakat modern yang menempatkan perdamaian sebagai prioritas utama. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction