Kamis, 04 Juni 2009

MANOHARA: KISAH SEDIH YANG TEREKSPLOITASI


Sejak hari Minggu (31/5/09), media massa Indonesia ramai memberitakan bebasnya Manohara Adelia Pinot dari genggaman Tengku Fakhri, putra Kerajaan Kelantan saat ia berada di Singapura. Peristiwa itu sekaligus menjadi babak baru bagi Mano untuk menghirup udara segar setelah kurang lebih tiga bulan dalam penderitaan lahir dan batin. Banyak orang ikut hanyut dalam penuturan haru Mano yang cukup dramatis. Peristiwa demi peristiwa disampaikan mano dari satu stasiun TV ke stasiun yang lain. Kini Mano yang sebenarnya masih menahan luka harus berhadapan dengan pers Indonesia yang memaksanya menjadi seorang selebriti baru.

Di tengah senyumnya yang memikat, saat diwawancarai oleh pemandu acara di sebuah stasiun TV, tetesan air mata Mano kadang tak terbendung. Ia seakan masih sulit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bertubi-tubi di balik hatinya yang rapuh. Memang bagus, para pemirsa akan mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya tentang Mano dan kehidupan pribadinya dari sumber pertama. Akan tetapi, ada satu hal yang nampaknya hilang dari pertimbangan pers, yakni kesempatan Mano untuk menenangkan diri. Kisah sedihnya ibarat kacang goreng hangat yang dapat dinikmati oleh siapa saja. Tawaran main film dengan latar belakang kisahnya pun santer terdengar. Tapi, untungnya, Mano masih sehat. Ia tidak serta merta euforia dengan ketenarannya saat ini. Ia mungkin sadar, bahwa kesengsaraan yang dialaminya sedang dieksploitasi media.

Perbedaan antara ekspose dengan eksploitasi adalah ada tidaknya kegembiraan atau keikhlasan saat harus menyampaikan pikirannya di hadapan publik. Banyak kalangan menilai bahwa Manohara akan meraup keuntungan besar setelah penuturannya diekspose di berbagai media. Kisah wanita Indonesia (AS?) yang terjajah hak-haknya di negeri orang akan menaikkan tingkat tawarnya di dunia entertainment. Hanya, satu hal yang luput dari pikiran kita, Mano adalah korban yang harus dilindungi, bukan dieksploitasi. Ia berhak untuk menutup rapat-rapat kisahnya tanpa harus ada orang lain yang tahu. Ia perlu membuka lembaran baru hidupnya dengan tidak dihantui oleh gelapnya masa lalu.

Eksploitasi yang menamakan kebebasan pers demi lakunya berita memang tidak hanya terjadi pada Mano. Banyak orang yang sebenarnya harus dihindarkan dari media tapi malah harus dipamerkan ke publik. Lihat saja Lisa (operasi wajah) dan Sumarsih (hukum mati). Mereka harus berhadapan dengan lampu sorot padahal mereka sedang dalam masa-masa kritis. Seharusnya, media massa tidak memaksakan kehendak untuk meraih popularitas dengan menjadikan orang tertindas sebagai obyeknya. Semoga saja Mano dapat menjalani masa depannya lebih ceria. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction