Minggu, 14 Juni 2009

ETIKA DAN TINGKAT KECERDASAN

Ketika banyak orang berkumpul dalam satu ruangan, misalnya kelompok profesor, golongan guru, dan sekumpulan murid, serta sejumlah badui, atau orang yang tidak pernah belajar alias bukan orang sekolahan, hampir sulit dibedakan masing-masing kelompok itu. Apalagi, jika mereka menggunakan pakaian yang setidaknya sama kualitasnya. Cara makan mereka di meja makan saat prasmanan, juga tidak terlalu kelihatan perbedaannya.
Mungkin, jika diperhatikan lebih dalam, maka hal yang nampak berjenjang adalah soal etika bersantap. Sang profesor dengan elegan mengambil makanan sesuai dengan porsinya. Ia tidak akan menunjukkan bahwa ia suka semua makanan, cukup sepantasnya. Sang guru mungkin melakukan hal yang sama dengan profesor, ia menikmati beberapa hidangan meski tidak seluruhnya, takut dibilang rakus. Nah, saat kita lihat sang murid, ia sebenarnya malu, tapi apa boleh buat, kesempatan makan bebas tidak terlalu sering baginya. Ia memanfaatkan kesempatan untuk makan sepuasnya meskipun ia mencoba untuk membuat trik sehingga tidak nampak kalau ia menginginan semuanya. Ia mengambil setiap masakan secara merata meskipun dalam porsi sedikit. Untuk kelompok orang terakhir, mereka berfikir mirip dengan murid, tapi mereka tak memiliki pertimbangan yang cukup bagaimana mensiati keinginan mereka untuk dapat menikmati hidangan lezat. Tak pelak, mereka mengambil makanan dalam jumlah yang banyak dari semua jenis, sehingga piring mereka penuh dan alhasil mereka tidak dapat menghabiskan. Di sini, tingkat ilmu sudah dapat membedakan seseorang dalam hal makan.
Dalam hal lain, empat kelompok tersebut akan lebih nampak, yakni ketika mereka menghadapi masalah. Misalnya, ketika isteri mereka ngambek. (Ilustrasi tidak bermaksud menggeneralisasi bahwa kelompok profesor pasti bisa mengatasi masalah, hanya paling tidak, mereka memiliki seribu jurus untuk mengatasi masalah. Namun, kadang mereka juga perlu bantuan orang lain. Terbukti tidak sedikit professor yang kemudian mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.) Profesor tidak akan melakukan pukulan keras sebagaimana halnya tindakan yang sangat mungkin dilakukan oleh orang badui. Ia akan melakukan banyak hal agar istrinya dapat tersenyum kembali. Ia telah hafal karakter istrinya dan akan membuat ramuan aksi dengan mudah sehingga mampu memberikan reaksi yang dapat mencairkan suasana.
Kecerdasan integensi sang profesor memang dapat menjadi penerang jalan hidupnya, namun satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan adalah perlunya kecerdasan tersebut dirangkai dengan kecerdasan emosional dan spiritual. Alangkah indahnya jika seorang profesor memiliki ketiganya. Tentu kehidupan di dunia ini akan terselenggara dengan baik.
Untuk mencapai kecerdasan emosional dan spiritual, seseorang memang tidak perlu belajar secara khusus, sebagaimana mereka mengembangkan aspek intelegensinya. Kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang mengendalikan segala keinginannya. Sedangkan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan sesorang dalam mengolah kebutuhan batinnya dengan bersandar kepada Allah swt.
Seorang sufi, tentu ia telah mampu mengolah spiritualnya sehingga emosinya juga terkendali. Hanya masalah intelegensi belum tentu memuaskan. Seorang psikolog mungkin ia tahu metode pengendalian emosinya. Ia akan berusaha menerapkan konsepnya secara mendalam seiring dengan kemampuannya secara intelektual. Namun, masalah spiritual mungkin tidak selalu beriringan. Ia bisa saja atheis karena mengandalkan kemampuan nalar belaka.
Kalau dilihat secara seimbang, tiga kecerdasan ini berurutan dari yang paling penting ke yang paling kurang penting. Emosional, intelektual dan spiritual. Hal ini menjadi pertimbangan meskipun seorang ibu tidak pernah mengenyam bangku sekolah, tapi karena belajar dari alam, ia akan memiliki kecerdasan emosional. Ia tidak akan memperlakukan anaknya secara semena-mena meskipun ia sering menjadi lelah dan suntuk dengan perilaku mereka. Ia tidak akan membuang atau bahkan membunuh anaknya karena ia bosan mengasuh. Nah, kemampuan ini akan lebih maksimal bila digabungkan dengan pengetahuan yang luas tentang metode pangasuhan anak. Ia dapat belajar dari buku-buku atau mendengarkan ceramah orang yang ahli di bidang tumbuh kembang anak. Hal ini akan mengasah kecerdasan intelektualnya Selanjutnya, kemampuan ini akan lebih sempurna bila diimbangi dengan kemampuan menjalin hubungan dengan zat yang maha pencipta. Ia akan selalu tenang dalam menghadapi segala masalah hidup karena ia adalah bagian dari skenario tuhan yang maha besar. Ini disebut dengan kecerdasan spiritual.
Dengan demikian, menjadi kewajiban kita untuk menjadi pelajar sejati dari fakultas kehidupan yang nyata, demi teraihnya posisi tinggi di dua dunia. Semangat terus-menerus untuk mendalami ilmu pengetahuan dan keimanan akan memudahkan kita mencapai impian itu. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction