“Aku adalah orang terkaya, aku adalah raja paling berkuasa, aku adalah Tuhan…ya aku layak menjadi Tuhan, ha..ha..ha.. Sembahlah aku, niscaya kau selamat!!! Demikian kiranya ilustrasi singkat kesombongan Fir’aun tatkala berseru kepada segenap rakyatnya. Ia merasa sebagai manusia sempurna, mengungguli seluruh makhluk di jagad raya. Ia bahkan mengaku layak untuk disembah dan siap memberikan pahala keselamatan kepada penyembahnya serta mengancam akan menimpakan siksaan bagi penentangnya. Rasa angkuh ini ternyata bisa menjangkiti hampir setiap manusia, termasuk kita. Hal ini telah ditegaskan dalam al-Qur’an, surat al-Syams: 8 yang menerangkan bahwa Allah telah memberikan dua potensi kepada diri setiap jiwa manusia, yakni baik dan buruk. Perangai buruk berarti melestarikan potensi negatif dalam diri manusia sementara perilaku baik berarti menghidupkan potensi positif yang diberikan Allah tersebut. Oleh sebab itu, watak semacam Fir’aun tidaklah aneh terjadi.
Masalahnya, bisakah kita terus-menerus mengatakan bahwa kita selalu unggul ketimbang orang lain? Sepertinya, tidak ada lagi makhluk yang lebih baik dan cerdas ketimbang kita. Jika pikiran ini dipelihara, bukannya kepuasan hidup yang kita dapat, tetapi sebaliknya, kekecewaan mendalamlah yang akan kita peroleh. Mari kita renungi beberapa fase hidup kita yang menggambarkan betapa lemahnya kita dan betapa kita bergantung kepada orang lain. Sejak dari awal penciptaannya, kita sangat tergantung kepada makhluk lain. Kita lahir di muka bumi ini dengan perantara ayah dan ibu kita. Lalu kita tumbuh bergaul dengan sesama hingga dewasa yang selalu membutuhkan energi yang disuplai oleh tumbuhan dan hewan. Akhirnya, saat waktu telah berakhir, kita pun meninggal dan harus meminta bantuan orang lain untuk menguburkan jasad kita. Saat dalam tanah, untuk mengembalikan ke bentuk awal kita, kita memerlukan bantuan binatang tanah untuk memprosesnya.
Dengan memperhatikan beberapa fase tersebut, pertanyaannya kemudian, apa yang dapat kita banggakan pada diri kita yang sangat lemah ini? Tentu saja, jika kita masih sehat kesadarannya, kita hanya bisa menunduk dan kalau perlu menangisi kebodohan kita. Ternyata tak ada yang patut disombongkan. Tak ada yang benar-benar milik kita. Subhanallah, pesona hidup ini telah membutakan kita.
Kemudian, hal yang yang patut kita sadari selanjutnya, kepada siapa kita bergantung? Ketika kita masih ada kawan, kita tentu akan meminta pertolongannya. Tetapi, seberapa banyak seorang kawan dapat menemani dan mememenuhi seluruh permintaan kita? Apalagi ketika kita susah, tak banyak orang yang sudi duduk berdampingan dengan kita walau hanya untuk sekedar mendengar keluh-kesah kita. Penyandaran yang terbaik adalah hanya kepada sang pencipta, Allah SWT. Hidup ini akan tenang, jiwa ini akan tentram jika kita sadar bahwa Allah-lah pemilik segala. Dari-Nya semua berasal dan kepada-Nya semua akan kembali.
Mari kita bandingkan dua keadaan ketika kita menghadapi sebuah masalah. Tentu saja kita harus mencari solusi. Tetapi, bagaimana caranya? Umumnya orang akan menyampaikan keluhannya kepada kawan atau keluarganya. Hanya saja, betapa banyak kekecewaan yang sering timbul dari hubungan ini. Kalau semua bergantung kepada kawan dan keluarga, siap-siaplah kecewa. Alih-alih memberi bantuan, justru cibiranlah yang kita terima. Belum lagi, efek samping dari keluhan kita yang telah diungkapkan, ini akan jadi momok buat kita di masa mendatang karena kita akan dicap sebagai orang yang sangat rapuh dan tidak mandiri. Jadi, belum tentu dapat bantuan, tetapi sudah pasti aib kita sudah terpampang. Beda halnya kalau kita mengadu kepada Allah, seperti yang dilakukan Nabi Ishak ketika Yusuf hilang dan Benyamin dipenjara. Ia berkata, “Aku adukan kesedihanku kepada Allah. Hanya Dialah yang Maha Tahu mengapa ini semua terjadi. Dia Maha Penyayang kepada makhluk-Nya yang beriman.” Ya, bersandar kepada Allah menjadi amunisi paling produktif untuk meredakan kekesalan dan kekecewaan dalam hidup kita. Memang, kita boleh berbagi cerita dengan sesama, tetapi itu bukan yang paling utama. Yang jelas, ketika kita dekat hubungannya dengan Allah, Allah akan membukakan pintu penyelesaian terbaik buat kita. Tentu bukan Allah akan datang sekonyong-konyong kepada kita, tetapi Allah akan mengutus seorang makhluk, entah kawan atau handai tolan untuk memberikan solusi kepada kita. Misalnya, ketika kita kehabisan uang, tiba-tiba datang seorang tamu yang memberikan sejumlah uang tanpa kita minta. Itulah skenario Allah bagi hamba-Nya yang bertakwa. Dengan kepasrahan yang tinggi kepada Allah disertai usaha maksimal, semoga kita dapat menghadapi aneka warna hidup ini dengan senyuman yang ikhlas dan hati yang luas. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar