“Awali harimu dengan basmalah.” Demikian pesan sederhana yang seringkali kita dengar. Sejak kecil, kita tentu telah diajari oleh orang tua kita untuk selalu mengawali setiap pekerjaan dengan basmalah, seperti sebelum makan, sebelum berangkat sekolah, sebelum naik kendaraan, hingga sebelum tidur. Basmalah ibarat pintu pembuka berkah. Jika setiap pekerjaan dimulai dengan basmalah, niscaya Allah akan membukakan pintu-pintu kemudahan dan keselamatan.
Namun, seiring dengan proses perkembangan jiwa dan bertambahnya pengalaman, nampaknya basmalah tidak lagi populer. Beruntunglah bagi sebagian kita yang akrab dengan lingkungan religius. Basmalah sudah menjadi bagian dari rutinitas. Namun, bagi sebagian kita yang lain yang terjun dalam dinamika dunia sekuler, nampaknya basmalah merupakan benda asing. Logika kita mengatakan, tanpa basmalah pun semua keinginan dapat diwujudkan asalkan ada perencanaan yang matang, pelaksanaan yang prosedural, pengawasan yang ketat hingga evaluasi yang komprehensif. Allah yang termaktub dalam lafal basmalah hanyalah kata klise yang berlaku bagi orang-orang awam yang terbelakang pendidikannya.
Dalam pengalaman keseharian yang lain, kita bisa sukses tanpa memulai dengan basmalah. Misalnya, saat makan, tanpa basmalah, kita pun bisa kenyang. Ketika kita berkendara, tanpa basmalah pun kita bisa selamat sampai tujuan. Tatkala kita mengerjakan tugas-tugas kantor, kita mampu menyelesaikannya dengan hasil sempurna. Apalagi kalau kita melihat bahwa berbagai prestasi telah ditorehkan para pakar sains yang tidak pernah membasahi muka mereka dengan air wudhu. Lalu, apa makna esensi bacaan basmalah? Benarkah pekerjaan tanpa basmalah akan terputus dan gagal?
Pada dasarnya ada alur pikir yang terputus ketika kita mengikuti cara pandang di atas. Benar memang, basmalah bukanlah kata-kata mantra yang diucapkan para penyihir. Basmalah juga bukanlah kalimat yang bisa merubah gunung menjadi emas (kecuali mukjizat). Tetapi, esensi basmalah adalah adanya pengakuan kita kepada kekuatan ghaib Tuhan yang Maha Perkasa. Kalau kita mau jujur, seberapa besar kemampuan manusia mengontrol segala keinginannya? Pernahkah kita teliti berapa banyak orang yang depresi berat gara-gara hanya mengandalkan logika matematika belaka? Di sinilah letak fungsi basmalah yang dapat menjadi perisai seorang mukmin untuk tetap bekerja keras sesuai dengan keahliannya lalu berserah diri atas segala usahanya. Ia akan bersyukur ketika semua usahanya sukses dan akan tabah serta tawakkal tatkala usahanya gagal. Ia selalu memiliki tempat berteduh dan bergantung di saat suka dan duka.
Ada beberapa contoh yang bisa diambil dari perjalanan sejarah untuk menguatkan esensi basmalah. Fir’aun dan Abrahah adalah dua sosok manusia yang ingin mengungguli kekuatan Allah. Fir’aun dengan segala kekuasaan dan keangkuhannya menyatakan diri sebagai tuhan yang dapat menimpakan azab kepada orang yang menentangnya, seperti kisah Masyitah. Perempuan yang biasa membantu merawat anaknya itu harus rela dihukum akibat melafalkan kata basmalah ketika sisirnya terjatuh. Abrahah pada kisah yang lain ingin merobohkan Ka’bah agar pusat ibadah itu pindah ke negerinya. Menurut logika biasa, Fir’aun pastilah berada di atas angin karena tidak ada pesaing yang bisa mengalahkannya. Bahkan saat mengejar Musa dan kawan-kawannya, sebenarnya Fir’aun akan dengan mudah menangkap mereka untuk segera disalib. Tetapi, Allah menunjukkan kemahakuasaan-Nya. Laut merah tiba-tiba terbelah, lalu rombongan Musa lewat dengan selamat, sedangkan Fir’aun dan pasukannya harus rela meregang nyawa di laut itu. Begitu juga Abrahah dan pasukan gajahnya seakan-akan tak ada yang bisa menghalangi keinginannya. Tapi, Allah mengirimkan kawanan burung ababil yang membawa kerikil panas sehingga meluluhlantakkan mereka seperti dedaunan yang dimakan ulat. Inilah sebagian dari tanda-tanda keperkasaan Allah SWT yang ditunjukkan agar manusia tidak tertipu oleh pikiran piciknya.
Dengan memahami kisah di atas, tampak jelas bahwa lafal basmalah merupakan bentuk pertahanan bagi seorang muslim dalam mengarungi samudera kehidupannya. Walau manusia dikarunia kemampuan untuk merencanakan hidupnya, tetapi Allahlah yang berhak menentukan jalannya. Sedetail apapun pikiran manusia untuk mengantisipasi segala kemungkinan, ia tidak akan berani menjamin 100% kebenaran perkiraannya. Dalam dunia ilmiah, hal ini pun diakui sebagai unsur probabilitas, atau faktor X yang umumnya ditulis dengan angka sekitar 1%. Faktor X itu mampu membalikkan 99% keyakinan perhitungan manusia dalam waktu sekejap. Itulah kekuatan Allah yang tak terdeteksi oleh daya nalar manusia.
Akhirnya, membaca basmalah selain bernilai ibadah, juga bermanfaat sebagai penyandaran diri kita kepada zat yang Maha Gagah. Kepada-Nyalah kita bermohon dan kepada-Nyalah kita berharap. Tak ada kekuatan apa pun yang bisa menandingi kebesaran-Nya. Karena Dia memang pemilik segala sesuatu di langit dan di bumi. Dia Maha Satu dan Maha Kekal. Usaha keras yang disertai dengan kepasrahan yang tulus kepada-Nya adalah kombinasi harmonis bagi kesuksesan seseorang, baik untuk keperluan dunianya maupun untuk kepentingan akhiratnya. Semoga kita bisa membiasakan diri dengan membaca basmalah secara tulus di setiap aktifitas serta mampu menghayatinya dengan penuh kesadaran. Wa Allah a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar