Jumat, 27 Agustus 2010
ADA ATHEISME DI AMERIKA
Siang ini saya sempat jalan-jalan ke perpustakaan umum kota. Letaknya tidak jauh dari kampus, cukup dengan jalan kaki sekitar 10 menit. Saya sempat duduk-duduk di taman kota dekat perpustakaan sambil menyaksikan orang lalu lalang di jalan. Udara sejuk di Iowa mengingatkan saya akan kota Malang tempat saya biasa bekerja. Maklum, musim panas hampir lewat dan akan segera datang musim gugur. Udara saat ini sepoi-sepoi basah sehingga ke luar ruangan di siang hari pun terasa sejuk. Setelah cukup nyaman duduk di bawah pohon rindang, saya melangkahkan kaki menuju perpustakaan.
Di perpustakaan umum, saya berkeliling melihat koleksi buku terbaru. Tapi nampaknya tidak ada yang sesuai dengan minat saya. Lalu, saya terus berjalan menuju rak majalah. Saya cukup terkesima dengan sampul majalah "the Nation" yang memunculkan wajah Obama yang sedang bingung. Salah satu artikel utama dalam majalah itu adalah seputar pro-kontra pembangunan masjid di Ground Zero, New York. Setelah cukup membaca artikel utama, saya pindah ke rak lain. Nah, di sini saya temukan satu majalah terbitan kelompok Atheis. Pandangan saya langsung tertuju pada lembaran-lembaran majalah yang mengusung paham tanpa tuhan itu.
Di bagian editorial, ada satu tulisan panjang tentang perdebatan sang atheis dengan seorang kristen via email. Tanya jawab yang diiringi penjabaran dalil cukup seru. Sang atheis, David, berpandangan bahwa hidup ini tidak perlu tuhan. Tidak perlu ada pertanyaan tentang siapa sang pencipta alam. Alam datang begini adanya dan kita menikmatinya. Sang kristen, Jordan, begitu antusiasnya memaparkan pandangannya bahwa tidak mungkin ada alam kecuali ada penciptanya. Ia mengutip beberapa ayat bibel yang menunjukkan bahwa tuhan telah menciptakan ini semua.
Perdebatan berlanjut dengan topik moral. Bagi sang kristen, agamalah yang memberikan arahan mana yang baik dan mana yang buruk. Tanpa agama, orang akan berlaku suka-suka, seperti melakukan pembunuhan. Sang atheis menjawab bahwa moralitas itu diperoleh dari pengalaman manusia dari zaman ke zaman. Misalnya, mereka tidak membunuh bukan karena ada ajaran tuhan yang melarang pembunuhan, melainkan adanya rasa dalam dirinya jika ia membunuh, hal itu akan menyakiti orang lain, sama halnya ia tidak ingin memukul karena ia tidak suka dipukul. Itu adalah nilai yang sudah dimiliki manusia sejak lahir. Kata sejak lahir kemudian menjadi senjata bagi si kristen untuk mendebat. Ia berbalik menyerang dengan mengatakan bagaimana mungkin nilai kebaikan itu dimiliki seorang anak yang baru lahir sementara orang tua begitu getolnya mengajari anaknya untuk berbuat ini dan melarang berbuat itu? Bagi si kristen, itu semua pasti bersumber dari agama yang diajarkan Tuhan.
Peseteruan itu kian memanas, ketika bereka berdebat tentang asal usul manusia. Sang kristen tidak setuju dengan teori evolusi darwin karena Tuhan telah sebegitu canggih membuat manusia seperti sekarang ini, bukan dari kera. Sementara itu, sang atheis menjelaskan bahwa manusia dan kera merupakan satu rumpun makhluk yang memiliki nenek moyang yang berdekatan. Ini merupakan fakta sejarah yang ditemukan oleh para saintis, bukan dari agama. Ia bahkan memberikan informasi alamat website yang harus dikunjungi untuk mendapat data yang akurat tentang hal tersebut.
Pada akhirnya, keduanya saling serang dan kemudian berhenti karena kelelahan. Mereka berkesimpulan bahwa diskusi itu tidak menghasilkan apa-apa. Mereka tetap berpegang teguh dengan keyakinan masing-masing: bagi sang atheis tuhan tidak perlu ada dan bagi sang kristen tuhan pasti ada.
Saya cukup tergelitik dengan diskusi mereka. Satu sisi, sang atheis begitu yakin bahwa hidup ini tidak perlu agama. Tuhan dianggap tidak ada atau telah mati. Manusia terbentuk oleh alam yang telah berevolusi sekian milyar tahun. Mereka tidak perlu berpikir tentang kehidupan akhirat karena dunia adalah dunia. Sementara sisi lain, sang kristen begitu mantapnya berpandangan bahwa Tuhan adalah suatu kepastian. Tuhanlah, termasuk Jesus, yang mengatur semua ini.
Perbicangan tentang ketiadaan tuhan merupakan hal yang baru bagi saya. Selama ini, kita hampir sepakat tuhan itu ada dan melalui agamalah kita bisa mengenal tuhan. Sebutan tuhan yang beragam membuat agama jadi berbeda satu sama lain. Kemudian, munculnya paham tanpa agama menjadi bahasan unik karena pasti akan bertolakbelakang dengan masyoritas manusia, dimana pun mereka berada dan apapun agamanya. Sang atheis rupanya lupa bahwa dalam diri manusia ada satu ruang yang menginginkan adanya pengakuan kekuatan supra natural. Itulah yang kemudian pada zaman purba dikenal istilah animisme dan dinamisme. Mereka membutuhkan pelindung agar hidup mereka nyaman dan sejahtera.
Di zaman yang serba canggih ini, bisa saja manusia kemudian mengandalkan akal pikirannya dengan tidak mengikuti paham animisme dan dinamisme sehingga memilih menjadi atheisme. Mereka bahwa menyebut agama hanya candu, semacam opium yang memberikan dampak ketenangan sesaat. Bolehlah mereka berpendapat semacam itu dan Allah SWT pun sudah merekam semangat tanpa tuhan, misalnya dalam surat al-Kafirun. Di sana dijelaskan bahwa ada dan mungkin akan selalu ada orang yang tidak mengakui adanya tuhan. Mereka memberhalakan dunia atau bahkan dirinya sendiri. Betapa banyak contoh manusia yang kemudian memcoba memposisikan dirinya sebagai tuhan, seperti Firaun dan Namrud. Tapi, zat yang benar-benar Tuhan tentu tidak akan tinggal diam. Azab akan berdatangan ketika mereka benar-benar sudah melampaui batas. Mungkin kelak, ketika Tuhan menunjukkan jati diri-Nya, manusia-manusia atheis itu pasti akan mengakui betapa lengahnya mereka akan adanya kekuatan zat yang Maha Segala seperti pengakuan Firaun saat ia dalam kondisi sekarat. Ia mengakui Tuhannya Musa dan Harun. Semoga kita tetap menjadi muslim yang kian beriman dan bersyukur betapa kita telah mendapat rahmat sebagai manusia yang menyerahkan diri kepada sang Pencipta, Allah SWT. Wa Allah a'lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar