Sebenarnya, saya dikirim Fulbright ke Iowa dengan tujuan penelitian. Tetapi, saya merasa, bila saya hanya habiskan waktu di kantor atau di perpustakaan, rasanya saya akan bosen dan malah tidak bisa menghasilkan sesuatu yang menggembirakan. Hal ini tentu karena saya sudah terbiasa mengerjakan banyak hal dalam satu waktu. Itung-itung rileks sambil mengerjakan hal yang baru. Kebiasaan itu terbawa hingga ke Iowa. Dua minggu berturut-turut saya hanya terfokus kepada penyesuaian diri dan penelitian. Di saat saya sudah jenuh membongkar-bongkar database perpustakaan di internet, saya tidak punya pilihan kegiatan kecuali termenung di kantor. Apalagi, suasana kerja di Amerika jelas beda dengan suasana kerja di Indonesia. Setelah masuk ruang masing-masing, setiap orang langsung menghadap ke layar monitor dan bekerja tanpa kata. Saya tentu saja dianggap tidak sopan jika kemudian datang menyapa lalu mengobrol kesana kemari. Saya pun harus duduk manis sambil mengerjakan tugas pribadi tanpa percakapan dan tanpa teman. Itulah sebabnya, saya kemudian meminta ijin ke beberapa profesor agar saya diijinkan untuk menjadi mahasiswa pendengar (sit-in student) di kelasnya.
Keinginan itu akhirnya terwujud. Rabu ini ada dua profesor yang memberi kesempatan kepada saya untuk mengikuti perkuliahan mereka. Pertama adalah Prof. Holstein. Ia adalah pakar di bidang Agama Yahudi. Matakuliah yang diampu adalah Bibel Yahudi dan Holocaust. Sebelumnya saya dibantu oleh pihak administrasi untuk meminta ijin kepadanya. Selasa sore kemarin, saya mendapat balasan bahwa saya bisa masuk ke kelasnya. Pukul 10.30 tadi, saya mulai mengikuti perkuliahan Prof. Holstein. Inilah kuliah pertama yang nyata saya alami sebagai international student. Jumlah mahasiswa yang terdaftar lumayan besar, sekitar 80 orang. Tetapi, uniknya, hanya saya sajalah orang Asia sehingga sang profesor mudah mengenali saya. Saat masuk ruangan, saya agak kaget dengan model mahasiswa Iowa. Banyak dari mereka yang hanya memakai kaos oblong dan sandal japit. Mereka belajar di kelas ibarat pergi ke pasar atau jalan-jalan. Saya pun memaklumi situasi tersebut. Namun, hal yang membuat saya semakin penasaran adalah ketika prof Holstein datang dengan celana pendek dan kaos oblong tanpa kerah. Wow, sebegitu bebaskah pengajar di sini saat mentransfer ilmunya di kelas? Tapi inilah Amerika.
Penampilan Prof Holstein yang santai ternyata tidak membuat suasana kelas menjadi layu. Gaya pengajarannya yang tegas dengan suara lantang justru membuat perkuliahan itu menjadi hidup dan semarak. Tanya jawab yang spontan menjadi salah satu cara sang guru besar ini menarik minat mahasiswa. Saya bahkan mendengar bahwa Prof Holstein adalah salah satu dosen favorit yang digemari mahasiswa. Oleh karenanya tidak heran jika kemudian volume kelas selalu membengkak.
Mata kuliah kedua yang saya ikuti adalah Hukum Islam dan Pemerintahan yang diasuh oleh Prof Souaiaia. Ia adalah pembimbing penelitian saya di Iowa. Orangnya masih muda, rapi, dan energik. Kelasnya tidak sebesar Prof Holstein dengan jumlah sekitar 15 orang. Saya bahkan diberi kesempatan untuk memperkenalkan diri di depan kelas.
Prof Souaiaia adalah satu-satunya guru besar di bidang Hukum Islam di Iowa. Ia lahir di keluarga Muslim keturunan Tunisia. Bahasa Arabnya fasih dan tentunya bahasa Inggrisnya luar biasa. Salah satu hal yang membuat saya kagum adalah caranya menjelaskan istilah-istilah hukum Islam dengan bahasa Inggris yang mudah dimengerti. Saya jadi lebih gampang paham dan tahu padanan kata sejumlah istilah baku Hukum Islam ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Ini jelas merupakan pengalaman baru yang sangat berharga buat saya. Saya jadi bisa meniru atau terinspirasi gaya pengajaran barat untuk diterapkan di UIN Malang kelak(tentunya hal-hal yang positif, bukannya kemudian membolehkan mahasiswa pakai celana pendek atau sandal japit di kelas, hehe).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar