Menjadi manusia yang bermanfaat ternyata bukan perkara gampang. Banyak ketrampilan yang harus dikuasai agar misi yang diemban meraih sukses gemilang. Salah satu skill itu adalah kemampuan beradaptasi. Ketrampilan menyesuaikan diri ini memegang peran signifikan bahkan bisa mengungguli kebutuhan akan ilmu pengetahuan. Artinya, pengetahuan sederhana yang dimiliki seseorang namun telah dipoles sedemikian rupa sehingga bisa diterima masyarakat akan lebih baik ketimbang kemampuan intelektual tinggi tapi tidak disesuaikan dengan obyek masyarakat yang dituju. Seperti kata pepatah, “masuk kandang harimau mengaum, masuk kandang kambing mengembek.” Peribahasa ini bukannya diartikan sebagai tipe manusia bunglon yang plin-plan, namun dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk menempatkan diri secara proporsional.
Salah satu contoh mudah penyesuaian diri yang berhasil adalah apa yang dilakukan oleh Walisongo. Para pemuka agama yang dikenang sebagai penyebar Islam di pulau Jawa ini terbukti sukses mengemban misinya karena mereka dapat berbaur dengan masyarakat Jawa yang kental dengan nuansa Hindu-Budhanya. Mereka tidak serta membumihanguskan tradisi yang sudah turun-temurun, seperti pementasan wayang, gamelan, atau bahkan model upacara perkawinan dan upacara pemakaman. Mereka justru memodifikasi kebiasaan masyarakat asli tersebut dengan unsur-unsur ruh Islam.
Satu hal yang ingin saya sampaikan di sini adalah tradisi tahlilan. Suatu waktu, seorang kawan saya bertanya, bolehkah kita tahlilan? Pertanyaan ini kalau disikapi secara ekstrim, apalagi menggunakan semangat primordialisme golongan, tentu jawabannya akan subyektif dan emosional, antara halal dan haram. Namun, saya mencoba menjelaskan masalah ini dengan menggunakan perspektif sosiologis. Dengan kacamata ini, perilaku masyarakat dapat dianalisis melalui pendekatan psikologi sosial. Lebih mudahnya, seseorang yang bergaul dalam masyarakat majemuk akan mudah diterima jika ia dapat menghargai tradisi yang berkembang di masyarakat tersebut. Kondisi kejiwaan masyarakat perlu diselami agar tidak menimbulkan kegoncangan sosial yang dasyat. Berkaitan dengan hal ini, Walisongo sedikit demi sedikit telah memasukkan substansi Islam sehingga mampu dikenali dan diterima oleh logika berpikir mereka. “Bicaralah kepada masyarakat sesuai dengan kemampuan akalnya”, demikian sebuah nasehat Arab yang mengingatkan agar para dai menyampaikan dakwahnya sesuai dengan kapasitas intelektual masyarakat. Oleh sebab itu, Walisongo mencoba menerapkan metode “mengambil bungkusnya dan mengganti isinya.”
Kembali kepada tradisi tahlilan, kegiatan ini dapat dikatakan sebagai modifikasi yang dilakukan para wali untuk menggantikan acara “melek’an” (begadang) yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa selama tujuh hari dalam rangka menghibur keluarga yang ditimpa musibah kematian. Mereka biasanya menggunakan kesempatan malam-malam itu untuk ngerumpi, main judi, dan menenggak minuman keras. Kebiasaan buruk ini kemudian dikemas oleh para wali Allah dengan nuansa agamis, yakni mereka diajak untuk membaca tahlil selama tujuh hari berturut-turut. Kegiatan ini tentu lebih mudah diterima karena kebiasaan mereka begadang masih bisa dilakukan namun bukan untuk maksiat melainkan untuk ibadah. Tradisi tahlilan akhirnya menjadi kultur baru yang bernilai positif dan layak dilestarikan hingga saat ini.
Akhirnya, menjadi manusia adaptif jelaslah diperlukan di saat masyarakat ini semakin heterogen. Memaksakan suatu pendapat dan keyakinan kepada orang lain hanya akan menyebabkan iritasi yang merugikan jika tidak dikomunikasikan secara hati-hati, bertahap, dan berwawasan sosiologis. Oleh karenanya, ketrampilan membaca situasi psikologis sebuah komunitas nampaknya menjadi satu keharusan bagi seseorang yang bercita-cita ingin menjadi insan yang berguna bagi masyarakat luas. Wa Allah a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar