Pagi itu Gus Muh terlihat pasrah. Matanya kadang berkaca-kaca. Guratan di wajah menunjukkan usianya kian senja. Suaranya masih parau akibat batuknya yang belum kunjung sembuh. sehabis shalat subuh, ia duduk termangu di kursi kayu di teras depan sambil menikmati segelas air putih hangat. Ya, hanya air putih karena ia tidak boleh meneguk seduhan kopi atau teh. Dokter menyarankannya untuk menghindari makanan dan minuman manis jika ingin hidup lebih lama. Sementara itu, yuk Ning menyapu lantai sambil menggerutu. Sejak Gus Muh sakit-sakitan, ia tidak lagi mendapat nafkah cukup untuk mengepulkan dapurnya. Tabungannya pun ludes. Hari itu, beras tinggal dua cangkir, tidak cukup untuk makan satu hari. Pilihannya mungkin akan membuat bubur saja. Sebelum pergi bekerja sebagai tukang cuci, yu Ning harus membereskan rumah dan membuat sarapan untuk suaminya.
“Gus, udah bangun? Pagi-pagi kok ngelamun?” Tegur Kang Karyo saat melintas. Gus Muh hanya tersenyum. Ia membenahi letak sarung yang dikalungkan di leher. “Gus, udah mendingan?” “Ya, lumayan,” jawabnya singkat. “Kapan bisa kerja lagi? Bos Jono butuh sopir lho, Gus Muh bisa kuantar ke sana jika mau.” Kalimat Kang Karyo mampu menghentakkan Gus Mus yang sedari tadi termenung. Sambil berdiri mendekati kang Karyo, Gus Mus berujar, “Bener tho, Kang? Aku memang lagi mikirin nyari kerja. Kapan Kang Karyo bisa nganter aku ke bos Jono? Aku wis lumayan sehat, Kang. Nyopir maneh Insya Allah wis kuat.” Gus Mus begitu bersemangat. Ia berharap yuk Ning tidak lagi cemberut. Tumbuh harapan semoga ada sumber rezeki baru. Setidaknya, ada beras yang dapat dimasak. Sudah bosan ia mendengar keluhan istrinya. Kadang ia ingin mati saja. Ia putus asa, di saat usianya yang tak lagi muda, ia belum juga mampu membuat istrinya itu bahagia.
Harta yang tak banyak ia kumpulkan telah habis untuk makan dan berobat. Dulu saat masih muda, ia terkenal boros. Sebagian besar gajinya ludes untuk berfoya-foya. Hobi berjudi tak dapat ditahannya. Kawan-kawan kerjanya sesama sopir truk telah mempengaruhinya untuk main kartu di saat senggang. Awalnya hanya iseng, tapi ketika ia sering kalah, ia terpaksa harus bermain lebih rajin untuk mendapatkan kembali uangnya. Sayang sekali, bukannya menang, tapi justru ia makin kalah. Itulah sebabnya, saat ia terserang penyakit paru dan diabetes setahun tahun terakhir, tubuhnya lunglai dan nampak lebih tua dari umurnya. Penyesalan tinggal penyesalan.
Sejak bertemu ustad Usman, ia bertekad memperbaiki jalan hidupnya. Yang lalu biarlah berlalu. Ia ingin menjadikan sisa hidupnya di jalan kebaikan. Ia rela dibenci istri karena ia sadar bahwa dahulu ia menelantarkannya. Ia ingin bekerja lagi. Ia ingin menata hidupnya kembali. “Tak ada kata terlambat. Selama masih ada asa, selama itu pula taubat seorang hamba akan diterima,” begitu nasehat Ustad Usman yang menyentuh kalbunya.
“Gus Muh memang masih mau kerja…,” kata Bos Jono, “kalau mau kerja di sini ada syaratnya.” Gus Mus agak khawatir kalau-kalau ia tidak diterima. “Nyuwun sewu, apa syaratnya, Bos?” “Nggak berat, sampeyan bisa kerja di sini asal…asal…,” “asal apa, Bos?” “asal sampeyan nggak judi lagi. Kasihan keluarga, hasil jadi sopir tidak seberapa, nanti kalau habis untuk judi, mubazir!” Tukas Bos Jono. “Nggih, Bos. Saya sudah tobat. Mudah-mudahan saya bisa bekerja lebih baik.” “alhamdulillah…”
Senyum sumringah menghiasi wajah gus Muh. Hari ini ia akan berkerja lagi. Ia bersumpah akan memberikan pengabdian terbaik. Ia sangat mencintai istrinya. Wanita yang telah mengisi hari-harinya itu tentu akan gembira jika ia meninggalkan kebiasaan lamanya: jarang shalat, tidak pernah puasa, dan suka maksiat. Ternyata, Allah masih sayang kepadanya. “Wahai Tuhanku, aku kembali kepadamu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar