Saat ini saya sedang berada di Malang. Sambil bekerja seperti biasanya di kantor Pusat Kajian Zakat dan Wakaf UIN, saya menyempatkan diri menyambangi rumah yang sudah lama saya tinggalkan semenjak pindah ke Semarang di akhir tahun 2008. Tempat tinggal sederhana saya sementara waktu dihuni oleh kolega dari UIN yang baru menikah dua tahun lalu. Namun, saat ini rumah saya sudah dikosongkan. Sang kawan telah menempati rumah barunya di kawasan Dau, sekitar Universitas Muhammadiyah Malang.
Pada waktu sore ketika saya bertandang ke rumah saya yang berlokasi di Gasek, Karang Besuki, saya langsung menyalakan lampu lalu menghidupkan air. Semua lampu menyala dengan normal kecuali satu lampu yang berada di ruang tengah. Namun, saya agak kecewa ketika pompa air tidak hidup. Saya coba menyalakan lagi dan memancing dengan seember air tetapi hasilnya tetap nol besar. Saya agak bingung karena tanpa air berarti saya harus balik ke kampus. Maksudnya, saya harus menginap lagi di kantor untuk yang kesekian kali. Kawan-kawan saya sering meledek kalau saya ini benar-benar seorang ‘doktor’, suka mondok di kantor…(he he he…).
Sambil menyapu lantai yang agak kotor, saya berpikir keras untuk mencari bantuan tetangga. Lalu saya ingat kalau ada seorang ahli pompa air di ujung kampung sana. Namanya pak Slamet. Dia adalah orang yang dulu sering saya mintai tolong untuk membenahi pompa air saat saya berstatus ‘kontraktor’ (suka kontrak) di rumah pak Agung. Lalu saya bergegas ke rumahnya dengan berjalan kaki. Maklum, motor saya sudah lama bermukim di Semarang.
Sesampai di rumah pak Slamet, saya beruntung bisa langsung bertemu dia. Biasanya pak Slamet masih di sawah atau di lapangan untuk mencari rumput. Kemudian, saya utarakan masalah pompa saya yang sepertinya sudah rindu untuk bertemu ‘dokter’nya. Dia tertawa dan menyatakan siap meluncur ke rumah saya sehabis bersih-bersih badan. Saya merasa senang karena pompa saya akan segera dibenahi sehingga saya tidak terancam balik mondok di kantor (walah-walah…).
Tak lama kemudian, pak Slamet datang dengan membawa peralatan lengkap. Pompa saya yang terletak di dalam sumur dengan kedalaman 20 meter diangkat olehnya. Lalu dengan sigap ia meneliti bagian-bagiannya kalau-kalau ada yang rusak. Sejurus kemudian, dia mengeluarkan obeng kecil. Dibukanya beberapa skrup untuk melihat bagian dalam pompa. Tak lebih dari 15 menit, pak Slamet telah menyelesaikan tugas. Mesin dihidupkan dan air pun mengalir. Alhamdulillah! Lega hati saya. Dia bilang kalau mesin pompa masih dalam kondisi baik. Ia menduga barangkali karena sudah lama tidak dinyalakan, kipas pompa agak seret untuk berputar. Masya Allah, begitu mudahnya ia mencari penyebab macetnya mesin air itu. hal ini tentu tak lepas dari pengalamannya yang sudah bertahun-tahun menangani masalah air, dari mulai pembuatan sumur hingga pemasangan saluran air.
Saya tidak banyak memberikan penghargaan untuk pak Slamet. Karena saya tidak punya air untuk dimasak, saya tidak bisa menyuguhkan minuman. Namun, tanpa saya minta, Mbak Mis, tetangga depan rumah yang sejak tadi memperhatikan kami, masuk ke rumah saya sambil membawa dua gelas teh manis yang kemudian diletakkan di meja. Wah, kebetulan ini, saya sedang kehausan karena sejak tadi belum meneguk air dan sekalian bisa menjamu pak Slamet yang telah menolong saya. Setelah minum, pak Slamet pun pamit. Lalu saya memberi ‘salam tempel’ kepada pak Slamet. Jumlahnya tidak banyak, hanya Rp. 15.000,- seperti tarif pada umumnya. Tapi apa reaksi pak Slamet? Sungguh di luar dugaan, dia menolak uang itu. Bukan karena jumlahnya kurang, tetapi ia memang tidak berkenan menerima uang. “Lho kenapa, Pak?” tanya saya keheranan. “Bukannya Bapak sudah menolong saya, jauh-jauh datang kesini meluangkan waktu?” Dia menjawab, “Saya hanya ingin membantu Mas. Saya sudah lama tidak bertemu Mas, jadi saya anggap saya sedang berkunjung ke rumah Mas.” Ya Allah, saya jadi kagum sama pak Slamet. Di saat ia berjuang mempertahankan hidup yang serba terbatas, ia tidak mau menerima upah dari jerih payahnya bekerja membenahi pompa. Ada apa ini?
Saya pikir ada satu pelajaran berharga dari pengalaman saya kemarin bersama pak Slamet. Tidak semua orang yang kurang mampu secara ekonomi selalu menuntut penghargaan material atas setiap usahanya. Mungkin, di dalam hatinya yang paling dalam, terbersit sebuah keinginan tulus untuk berbagi dengan sesamanya. Karena ia tidak mampu memberi uang, ia pun mengulurkan tenaga atau jasa. Ia nampak begitu puas ketika ia dapat meringankan masalah orang lain. Terlihat senyumnya yang ikhlas menandakan suasana hati yang semringah. Saya sempat terharu, kok masih ada orang seperti pak Slamet yang hidupnya pas-pasan, tetapi masih berkenan membantu saya secara gratis. Hal ini tentu menjadi contoh teladan bagi saya yang sudah terbiasa dengan pola hidup transaksi jasa. Tak ada yang gratis di dunia ini, begitu celetuk sejumlah orang yang harus membayar saat menggunakan toilet umum. Tetapi, ternyata masih ada di sana, orang-orang yang dengan tulus tanpa pamrih membantu manusia lain. Nampaknya, dia ingin pula berpartisipasi menjadi anggota kelompok orang yang bermanfaat bagi sesamanya. Semoga kita bisa meneladani sikap dermawan seorang tukang pompa yang bersahaja ini. Amin.
Syukurlah masih ada sosok individu seperti Pak Slamet itu.
BalasHapusBagaimana keadaan di Malang sekarang ?
Masih dinginkah udara dan khususnya air nya ?