“Pendapat Anda sungguh salah besar, itu tidak ilmiah, seharusnya Anda lebih berhati-hati dalam membuat pernyataan,” demikian komentar seorang profesor. Kolega profesor itu langsung ‘shock’ mendengar kritik tajam tersebut. Dalam hatinya, ia merasa bahwa apa yang ia sampaikan telah sesuai dengan prosedur ilmiah dan tentunya layak dipublikasikan. Namun, profesor yang sedang di depannya seakan tidak memberi kesempatan baginya untuk berargumentasi. Pikirannya buyar dan kreatifitasnya hancur. Ia bahkan sempat putus asa setelah melihat sikap seorang pakar yang pernah ia kagumi itu.
Fenomena di atas ternyata jamak kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, dalam dunia akademik sekalipun. Seorang tokoh besar atau pakar kenamaan dengan entengnya menyudutkan lawan bicaranya dengan logat bahasa yang tidak mengindikasikan keluasan ilmu dan kedalaman pengetahuannya. Etika berkomunikasi atau tatakrama berbicara seringkali diabaikan. Salah satu hal yang ‘diperjuangkan’ adalah bahwa pendapatnya sendirilah yang benar atau bahkan paling benar. Adapun pikiran-pikiran yang berseliweran di sekitarnya dianggap omong kosong dan harus dienyahkan.
Padahal, kalau kita mau menelaah etika para ulama salaf, sebut saja Imam Syafi’i, ketika pendapat beliau berbeda dengan para ulama sebelumnya seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, beliau tidak lantas menyatakan bahwa pendapatnya paling benar dan pendapat pendahulunya salah yang harus dibumihanguskan. Beliau dengan santun mengatakan bahwa “pendapat kami adalah benar namun berpotensi mengandung kesalahan, sedangkan pendapat selain kami adalah salah namun berpotensi mengandung kebenaran.” Kalimat tersebut terasa memiliki keagungan akhlak seorang ilmuwan. Ia tidak serta merta menutup kesempatan orang lain untuk berpendapat. Kalaulah pendapat orang lain dianggap salah, namun pendapat itu suatu ketika bisa jadi dinilai benar oleh sebuah kalangan. Begitu pula pendapat kita yang saat ini kita yakini kebenarannya, suatu ketika dengan perubahan waktu dan tempat, pendapat tersebut dapat divonis salah.
Ada satu cara yang patut kita renungkan saat akan melakukan kritik terhadap orang lain, yaitu pengakuan akan kemungkinan kebenaran pendapat tersebut, lalu diikuti dengan pemaparan pendapat kita. Misalnya, “pendapat Anda bisa dianggap benar jika….., namun ada baiknya jika pendapat tersebut dilengkapi atau diubah sehingga menjadi…..” Kalimat tersebut menunjukkan bahwa kita bisa menerima pendapat kawan bicara kita pada tataran tertentu, lalu kita menyampaikan pendapat kita sendiri yang merupakan hasil modifikasi atau perbaikan dari pendapatnya. Dengan demikian, kelonggaran hati dan etika komunikasi seorang ilmuwan seharusnya ditanamkan sejak awal ketika orang tersebut mendalami ilmunya.
Guru atau dosen semestinya memberikan teladan kepada murid atau mahasiswanya bahwa berbeda pendapat dalam forum ilmiah adalah hal yang biasa. Setiap orang berhak berpegang teguh pada pendapatnya namun sangat tidak etis jika mengolok-olok atau menghina orang lain yang berseberangan dengannya. Indahnya taman bunga bukan karena warnanya yang seragam, namun justru disebabkan oleh aneka ragam warna yang ada di taman itu. Semua keindahan yang dimiliki setiap kelopak bunga memberikan satu kontribusi estetis yang tidak dimiliki kelopak bunga yang lain. “Biarkanlah masing-masing bunga memancarkan aura pesonanya, jangan kau matikan setangkai bunga hanya karena keindahannya berbeda dengan bunga lainnya.” Wa Allah a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar