Selasa, 18 Mei 2010
ARTI KEHADIRAN BUAH HATI
Gus Muh merebahkan badannya yang lelah di atas dipan lusuh di serambi rumah. Sejak pagi tadi ia sudah mondar-mandir mengantar bahan bangunan Bos Jono ke luar kota. Kini di sela waktu luangnya menjelang ashar, ia ingin meluruskan punggungnya yang baru sembuh dari terkilir, biar tidak kumat lagi.
Bertumpu bantal kecil, matanya menerawang langit-langit rumahnya yang mulai keropos. Maklum, rumahnya sudah berumur dua puluh lima tahun, setua usia perkawinannya dengan Yuk Ning. Ia ingat betul betapa susahnya membuat rumah. Untuk beli tanah saja ia harus pinjam sana-sini. Lalu saat membangun pondasinya, ia harus merelakan motor tuanya dijual. Padahal motor itu merupakan kenangan terindah saat ia masih bujang.
Satu persatu gambar memori tampil memenuhi pikiran Gus Muh. Ia kadang tersenyum mengingat lakon hidupnya yang bergelombang: kadang pasang, kadang surut. Episode mengejar cinta Yuk Ning pun tak ketinggalan, wuuuiihh penuh perjuangan berliku. Ia harus bersaing meraih simpati gadis pujaannya itu dengan para jejaka kampung yang mengandalkan kekayaan orang tuanya. Untungnya, Yuk Ning tetap setia memilih dirinya yang dianggap lebih dewasa dan mapan. Andaisaja Yuk Ning tahu kalau dirinya kelak tenggelam dalam judi dan mabok, mungkin putri sesepuh masyarakat itu tentu tidak sudi menerima lamarannya. Untungnya, kini ia sudah tobat dan mulai menjalani lembaran baru, sehingga Yuk Ning tidak ngenes lagi dengan pilihan hatinya.
Dukungan istrinya itu benar-benar tulus. Masa susah itu hampir usai. Ia begitu bahagia atas kesetiaan istrinya. Bahkan ia dapat menemukan arti cinta yang sesungguhnya dari istrinya itu.
"Kok ngelamun wae, tho Kang?" suara Yuk Ning membuyarkan pikirannya.
"E...e.., nggak, aku cuma pingin istirahat aja di sini, sambil ditemani angin semilir.." jawab Gus Muh menutupi kekagetannya.
"Kang, ngomong-ngomong, aku kadang ngiri sama tetangga yang mau mantu. Itu lho, Kang Karyo, anak perempuannya dilamar tentara. Andaisaja anak kita, Sarah, masih hidup, tentu kita juga akan mantu ya, Kang!"
Gus Muh kian terhenyak. Tak biasa-biasanya istrinya mengungkit masa lalu. Masa pahit itu pernah mencabik-cabik jiwanya. Pikiran Gus Muh kian kacau. Ia tidak bisa berkata sepatah kata pun. Matanya berkaca-kaca.
Sambil tersenyum ia menghibur istrinya. "Sudahlah, Dik. Yang lalu biarlah berlalu. Anak kita memang ditakdirkan berusia pendek. Ia kembali ke pangkuan gusti Allah yang menciptakannya. Kita hanya dititipi, jadi kalau diambil sama yang punya, kita harus ikhlas..."
"Sebenarnya aku sudah melupakannya kok Kang. Cuma kadang-kadang aku tidak tahan menyaksikan orang-orang begitu gembira ngunduh mantu, lalu punya cucu, lha kita..."
"Dik, gusti Allah itu paling tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya. Mungkin Dia akan memberikan kebahagiaan kepada kita dengan cara lain."
Sarah, anak sematang wayangnya meninggal di usia dua tahun. Batita yang lagi lucu-lucunya itu harus kehilangan nyawanya karena kehabisan cairan akibat diare berkepanjangan. saat itu, dikiranya cuma diare biasa sehingga cukup diberi oralit dan ramuan tradisional. Sewaktu akan dilarikan ke rumah sakit, anak kecil itu sudah tak tertolong. Kepergiannya benar-benar membuat shock Gus Muh dan Yuk Ning. Nyesel banget. Tapi apalah artinya penyesalan, nasi sudah basi.
Bertahun-tahun kemudian Gus Muh merindukan kehadiran anak lagi. Tapi rupanya, sang Maha Kuasa belum berkenan menitipkan keturunan padanya. Oleh sebab itulah, dulu Gus Muh sering menghabiskan waktunya di luar rumah bersama kawan-kawannya sesama sopir untuk menghibur hatinya. Ada marah, ada kesal, ada dendam, tapi itu semua ternyata tidak menyelesaikan masalahnya. Ia tetap tidak melahirkan keturunan.
Itulah sebabnya, tak jarang Gus Muh geram kepada para orang tua yang tega membunuh anaknya. Ada pula yang membuang anaknya di pasar atau bahkan di saluran got. Padahal, zaman bukan lagi masa Fir'aun atau Musa. Coba mereka mengerti arti penting seorang anak, tentu mereka tidak akan sampai hati menyia-nyiakan titipan-Nya. Seperti dirinya, betapa rindu kalbunya akan kehadiran buah hati. Ia pasti akan memperjuangkan kesejahteraannya sampai titik darah penghabisan. Tapi sayang, ia harus rela mengubur mimpi itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar