Materi zakat yang harus dizakatkan dapat dikatakan telah meluas. Banyak metode yang digunakan orang untuk menggali kekayaan, bahkan manusiapun kini menjadi komoditas ekspor seperti yang terjadi di Indonesia yang dengan besar-besaran mengirimkan tenaga kerjanya ke luar negeri demi meraup devisa. Dengan kemajuan teknologi, kini masyarakat mengenal budidaya tanaman organik dan hidroponik, ikan hias, burung langka hingga perdagangan saham di pasar modal. Usaha semacam ini akan memberikan hasil berlipat ganda. Tentu model usaha tersebut sulit ditemukan di zaman saat rasulullah hidup.
Lebih mudahnya, mari kita bandingkan materi zakat antara kita klasik yang diwakili oleh Fath al-Qarib yang ditulis oleh Muhammad bin Qasim al-Ghazzi al-Syafi’i dengan kitab Fiqh al-Zakat karya Yusuf Qardhawi. Dalam kitab Fath al-Qarib, Muhammad Qasim membagi jenis zakat kepada lima kelompok: zakat mawasyi (binatang ternak), atsman (emas dan perak), zuru’ (tanaman), tsimar (buah-buahan), dan tijarah (perdagangan).[1] Hampir tidak ada celah bagai harta-harta yang lain untuk diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya. Begitu pula kalau kita cermati kitab fikih klasik lainnya, semisal al-Fiqh 'Ala al-Mazahib al-Arba'ah buah karya Abdu ar-Rahman al-Jaziri. Kitab yang membahas hukum fiqh dari empat mazhab fiqh itu menyebutkan materi hukum zakat hanya terdiri atas lima kategori utama yaitu binatang ternak, emas dan perak, barang barang perdagangan, barang tambang, dan rikaz, dan yang terakhir adalah buah-buahan atau hasil pertanian.[2] Yang masuk kelompok binatang ternak antara lain unta, lembu dan kambing dan tentu saja yang sejenis. Kategori emas dan perak menurut Safwan Idris[3] dapat mencakup barang logam berharga seperti uang yang merupakan alat simpan dan alat tukar kekayaan manusia. Konsep memasukkan uang dalam kategori emas dan perak nampaknya tidak terlepas dari kenyataan sejarah bahwa sejak zaman dahulu emas merupakan alat tukar yang berfungsi sebagai uang. Dalam kategori barang-barang perdagangan termasuk banyak sekali barang dan ada di antara mujtahid yang memasukkan emas dan perak yang diperdagangkan sebagai perhiasan sebagai barang barang yang dikenakan zakat perdagangan. Barang tambang dan rikaz antara lain diberi definisi sebagai kekayaan yang disimpan di dalam bumi baik yang dijadikan oleh Allah sebagai bahagian alam atau yang ditanam oleh manusia. Tentang barang tambang dan rikaz ini pendapat para ulama terlalu berbeda-beda tetapi pada umumnya mereka mengkaitkannya dengan emas dan perak juga, mungkin disebabkan konsep barang tambang pada waktu itu belum begitu berkembang seperti sekarang. Dan yang termasuk dalam kategori hasil pertanian adalah makanan pokok dan buah-buahan seperti kurma dan anggur.
Kemudian, bila kita menelaah kitab Fiqh al-Zakat buah pena Yusuf Qardawi kitab yang ditulis pada abad ke dua puluh nampak ada perbedaan yang signifikan tentang kalsifikasi harta yang wajib dizakati. Buku ini menampilkan bentuk ijtihad kontemporer yang memang Qardhawi sendiri sebagai penggagasnya.[4] dalam era modern ini nampaknya telah menampilkan ijtihad zaman modern sehingga terdapat perubahan atau pergeseran pergeseran dalam hukum zakat baik dalam bidang materi zakat maupun dalam orang yang harus mengeluarkan dan yang harus disantuni dengan zakat ini. Qardawi mengatakan bahwa dalam memaknai ajaran Islam, khususnya zakat dibutuhkan peneliti-peneliti baru yang mampu menampilkan zakat dalam bentuk dan cara yang sesuai dengan kemajuan zaman. Selanjutnya beliau juga mengatakan bahwa banyak persoalan yang timbul pada masa kita sekarang ini namun belum dikenal oleh para ahli fiqh pada masa lalu. Oleh sebab itu beliau menekankan pentingnya ijtihad modern termasuk di dalamnya terkait dengan materi zakat.
Tentang materi zakat, kiranya menarik bila kita menyimak ungkapan tegas al-Jaziri bahwa tidak ada zakat pada barang-barang selain ke lima kategori yang telah dijelaskan sebelumnya.[5] Beliau mengatakan tidak wajib zakat pada tempat tinggal, pada pakaian di badan, pada binatang yang dikendarai, pada binatang yang dilepas digunung, pada barang-barang perhiasan seperti permata dan yaqut, pada alat-alat pertukangan dan perhiasan dari emas dan perak itu sendiri. Nampaknya, konsep zakat yang sudah begitu berkembang pada waktu itu masih terbatas pada zakat pertanian dan peternakan, zakat perdagangan, dan zakat emas dan perak.
Bila kita menilik kitab Fiqh al-Zakat karya Qardawi, kategori barang-barang yang harus dizakatkan menjadi begitu banyak dan kompleks seiring dengan kompleksnya dengan sistem perekonomian dan kemampuan manusia menguasai kekayaan alam. Qardawi membagi materi atau barang yang wajib dizakatkan ke dalam sembilan kategori yaitu
- zakat binatang ternak,
- zakat emas dan perak yang juga meliputi uang,
- zakat kekayaan dagang,
- zakat hasil-hasil pertanian yang meliputi tanah pertanian,
- zakat madu dan produksi hewani,
- zakat barang tambang dan hasil laut,
- zakat investasi pabrik, gedung dan lain-lain,
- zakat pencarian, jasa dan profesi dan
- zakat saham dan obligasi.
Dan segi jumlah kategori yang dibuat oleh Qardawi, dapat diketahui bahwa kategori barang-barang yang harus dizakatkan bertambah hampir dua kali lipat, dari
Alasan Qardawi mengembangkan konsep harta yang wajib dizakati adalah merujuk kepada konsep zakat dalam pengertian dasar seperti pengertian tumbuh, berkembang. Syarat "berkembang" merupakan syarat utama dalam pengembangan konsep materi Zakat. Dan dalam zaman modern ini yang ditumbuhkan dan dikembangkan untuk memperoleh hasil yang memiliki nilai ekonomis yang banyak sekali.
Di era globalisasi ini, manusia telah berhasil mengembangkan segala potensinya, baik eksternal maupun internal dirinya. Yang termasuk kelompok eksternal adalah manusia mampu mengeksploitasi antara lain laut, tanah, gedung, surat-surat berharga, dan kendaraan-kendaraan, sedangkan yang tergolong potensi dalam dirinya adalah kemampuan manusia mengembangkan keahlian untuk mendapat keuntungan yang besar, misalnya profesi dosen, dokter, dan advokat. Oleh sebab itu, Qardhawi membuat sebuah kategori yang disebut dengan zakat profesi. Keberanian Qardhawi membuat kategori tak lepas dari perkembangan zaman yang memang membutuhkan ijtihad dalam rangka menegakkan keadilan bagi semua. Bayangkan, mereka yang hanya mendapatkan hasil pertanian sebanyak lima wasaq (sekitar 653 kg atau Rp. 3.265.000,- dengan asumsi @ Rp 5.000,-) harus mengeluarkan zakat sedangkan seorang dokter dalam sehari saja dapat mengumpulkan uang sebesar itu, kemudian mereka tidak dikenai zakat, ini merupakan logika yang sulit diterima akal sehat.
Konsep pertumbuhan dan perkembangan kekayaan manusia. dapat juga dicermati dalam berbagai kegiatan budidaya hewan dan tumbuhan. Berbagai macam kekayaan alam yang ada dapat dikembangkan melalui proses budidaya yang merupakan suatu proses penerapan sains khususnya bio-teknologi. Dengan pengetahuan biologi dan genetika, manusia dapat menghasilkan padi dan jagung yang lebih pendek umurnya tetapi lebih banyak hasilnya atau dapat menyilangkan berbagai jenis makhluk hidup untuk menghasilkan kekayaan yang luar biasa. Manusia sekarang dapat beternak bukan hanya sapi dan unta, tetapi dapat beternak ikan Lou Han dan udang Windu, beternak lebah madu, atau budidaya bunga angrek dan tanaman bonsai yang menghasilkan kekayaan yang berlimpah sehingga merubah konsep orang kaya. Peternakan dan pertanian saat ini tidak selalu identik dengan kebun-kebun yang luas, namun bisa jadi dalam gedung-gedung atau rumah kaca dengan kondisi yang telah disesuaikan dengan alam aslinya. Di sinilah peranan sains dan teknologi merubah konsep pertumbuhan dan pertambahan kekayaan manusia di era globalisasi.
Dengan proses pertumbuhan dan pertambahan yang berdasarkan pengertian ash konsep zakat inilah kita melihat kenapa ada kategori zakat baru dalam zaman modern dewasa ini seperti yang dibuat oleh Qardawi tersebut di atas. Pengertian awal konsep zakat adalah bertumbuh dan berkembang. Sains modern yang muncul saat ini telah memungkinkan pengembangan berbagai macam barang sehingga sangat meningkatkan harganya dan membuat orang-orang yang memiliki barang-barang itu masuk dalam kategori orang kaya. Oleh karena pertumbuhan dan pertambahan ini pula maka kekayaan itu perlu disucikan dari kotoran-kotoran dalam bentuk zakat kategori baru yang merukapan hasil ijtihad kontemporer.
[1] Muhammad bin Qasim al-Ghazzi al-Syafi’i, Fath al-Qarib al-Mujib, (Malang: Al-Midad, 2005), h. 91.
[2] Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 2004), jilid I, h. 506.
[3] Safwan Idris, op.cit., h. 153.
[4] Pemikiran Qardhawi tentang Ijitihad dapat ditelaah dalam bukunya Ijtihad Kontemporer, alih bahasa: Abu Barzani, yang diterbitkan Risalah Gusti, Surabaya, 1995.
[5] Al-Jaziri, loc.cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar