Rabu, 20 Mei 2009

KONSEP DASAR DAN SEJARAH POLIGINI

A. Definisi Poligini

Kebanyakan orang akan sedikit mengerutkan dahi ketika mendengar istilah poligini. Kata yang populer berkembang di masyarakat adalah poligami. Padahal kedua istilah tersebut memiliki implikasi makna yang berbeda. Dalam Kamus Bahasa Besar Indonesia, poligami adalah memiliki pasangan hidup lebih dari satu. Poligami yang dilakukan oleh laki-laki disebut poligini, sedangkan poligami yang dilakukan oleh perempuan dinamakan poliandri.

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, Polus; dan gamos. Polus berarti banyak sedangkan gamos bermakna perkawinan. Dengan demikian poligami adalah sistem perkawinan yang menempatkan seorang laki-laki atau perempuan yang memiliki pasangan lebih dari satu orang dalam satu waktu.[1] Para ahli membedakan poligami ke dalam dua peristilahan, poligini dan poliandri. Poligini (polus-gune) merupakan kondisi seorang laki-laki yang memiliki isteri lebih dari seorang, sedangkan poliandri (polus-andros) merupakan situasi seorang perempuan memiliki lebih dari satu suami. Merujuk definisi istilah tersebut, tulisan ini akan menggunakan istilah spesifik, poligini dengan maksud memberikan titik tekan yang khusus kepada model perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan lebih dari seorang isteri dalam satu waktu.

B. Sejarah Poligini

Dalam literatur Yahudi, dikisahkan bahwa isteri pertama Adam bukan Hawa, melainkan Lillith. Lillith diciptakan dari tanah bersama-sama Adam. Lillith tidak mau menjadi pelayan maka ia meninggalkan Adam. Jadilah Adam (Hebrew: dari akar kata alef {sendirian} dan dom {sunyi, diam, bisu}), artinya makhluk yang merasa sendirian dan kesepian di surga tanpa pasangan. Tuhan lalu menciptakan pasangan baru Adam yaitu Hawa dari tulang rusuk Adam sebagai isteri baru. Sebagai isteri pertama, meskipun sudah berpisah tetap saja Lillith menaruh rasa cemburu. Ia tidak rela mantan suaminya bahagia bersama perempuan lain. Akhirnya ia bekerjasama dengan iblis yang juga tidak senang dengan kehadiran Adam. Bagi Iblis, Adam telah menjadikannya makhluk terkutuk karena menolak sujud kepadanya. Rekayasa kedua makhluk ini berhasil menipu Adam dan Hawa untuk makan buah terlarang yang menyebabkan keduanya jatuh ke bumi penderitaan. Cerita ini juga disinggung dalam buku-buku tafsir Perjanjian Lama, Issaiah (34:14).[2]

Poligini telah lama dikenal sebelum Islam datang, tak terkecuali masyarakat terbelakang dan penyembah batu dan berhala. Seorang laki-laki diizinkan untuk memiliki isteri lebih dari satu orang telah diakui di masyarakat Cina, India, Mesir, Arab Persia, Yahudi, Sisilia, Rusia, Inggris, Jerman, dan negara Eropa lainnya.

Dalam agama Hindu, poligini dilakukan pada zaman bahari dengan tidak mengenal batasan tertentu mengenai jumlah perempuan yang boleh dinikahi. Bahkan, bagi mereka yang berasal dari kelas brahmana, mereka boleh menikahi siapa saja yang mereka sukai. Begitu pula di masyarakat Athena Yunani. Seorang wanita dianggap seperti hewan yang dapat diperjualbelikan bahkan dapat diwariskan. Laki-laki dapat mengawini berapa pun jumlah wanita. Sebaliknya, untuk masyarakat Sparta, justru perempuan yang diizinkan untuk menikah dengan banyak laki-laki (poliandri). Adapun dalam agama Yahudi, poligini diperbolehkan tanpa batas.

Pusat-pusat peradaban dunia di masa silam seperti Babilonia, Syiria, dan Mesir juga telah lama mengenal poligini. Para raja mereka tidak asing lagi dengan poligini, bahkan di Cina, banyak laki-laki mempunyai isteri sejumlah 3000 orang. Demikian pula agama besar sebelum Islam seperti Hindu, Budha, Yahudi dan Nasrani telah memberikan pengakuan terhadap eksistensi poligini. Banyaknya isteri pada masa-masa klasik tersebut menjadi indikator dalam penentuan status sosial.

Dalam Bibel tidak ditemukan ayat yang tegas menolak poligini. Dalam Bibel malah diceritakan King Salamon (Sulaiman) mempunyai isteri 700 orang. Larangan poligini dalam agama Kristen muncul kemudian setelah renaisans, ketika hukum-hukum gereja banyak menyerap hukum-hukum Romawi, sementara hukum Romawi banyak dipengaruhi oleh para pemikir humanis, terutama setelah Kaisar Yustianus menetapkan "Corpus Luris Civils" --biasa disebut Corpus Luris Yustianus-- yang berisi hukum-hukum kekeluargaan.

Dari Romawi hukum-hukum tersebut menyebar ke berbagai pelosok dunia dan dikembangkan imperialisme Barat, seperti Napoleon yang terkenal dengan "code civil", yang menganut azas monogami. Napoleon Bonaparte yang menjadi simbol kekuatan Perancis menerapkan "code civil" ke berbagai negara jajahannya, termasuk Belanda yang kemudian menjajah Indonesia dan menerapkan Buegerlijk Watbook (BW), yang juga menganut monogami.[3]

C. Sebab-sebab Poligini

Pemicu poligini dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa faktor:[4]

1. Faktor geografis

Faktor ini disinyalisasi sebagai penyebab terjadinya poligini dilihat dari lokasi. Misalnya, masyarakat Timur sangat memungkinkan poligini. Hal ini disebabkan oleh kondisi perempuan yang lebih cepat dewasa dan tua. Untuk itu, laki-laki membutuhkan perempuan lebih dari satu. Kondisi ini diperkuat oleh kenyataan bahwa laki-laki Timur memiliki libido seksualitas yang cukup tinggi sehingga tidak cukup hanya satu perempuan. Walaupun ini sempat diyakini banyak orang, namun, sebenarnya yang menjadi faktor bukan iklim, namun sifat dan karakter individu.

2. Masa Subur Perempuan Terbatas

Banyak orang berpendapat bahwa salah satu faktor terjadinya poligini adalah faktor terbatasnya usia reproduktif perempuan karena adanya masa menopause. Masa ini sering datang lebih awal dari biasanya. Padahal, dengan masuknya perempuan dalam masa menopause, hasrat seksual perempuan mengalami penurunan, sedangkan hasrat seksual laki-laki pada usia yang sama masih tergolong tinggi. Karena merasa tidak terlayani kebutuhan biologisnya, laki-laki cenderung mencari perempuan lain untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu cara yang sah adalah dengan melakukan poligini, daripada mencari kesenangan di luar perkawinan. Karena itulah, poligini terjadi.

3. Menstruasi dan pasca kelahiran

Masih dalam masalah kebutuhan biologis, laki-laki tidak diperolehkan melakukan hubungan seksual dengan istrinya saat sang isteri sedang dalam masa menstruasi. Masa haid ini bisa berlangsung lima hingga empat belas hari, tergantung kebiasaan fisik sang isteri. Pada masa ini, ketika sang suami ingin melakukan kontak fisik dengan istrinya, ia tidak dapat menyalurkan kebutuhannya karena secara agama dan klinis hubungan badan pada masa ini dilarang karena antara lain dapat menyebabkan penyakit bagi keduanya.

Begitu pula saat isteri setelah melahirkan, sang suami harus hingga masa nifas selesai untuk dapat melakukan senggama dengan isterinya. Padahal, bagi pasangan normal, hubungan fisik merupakan suatu ritual yang tidak dapat ditinggalkan dalam membina keluarga harmonis. Oleh sebab hasrat seksual laki-laki lebih menggebu dibanding perempuan, maka poligini menjadi salah satu alternatif sehat untuk menyalurkan kebutuhan biologis laki-laki.

Kedua faktor di atas, karena isteri menopause, mentruasi, dan nifas kemudian suami berpoligini, sebenarnya tidak semudah itu laki-laki berpoligini. Ketiga hal tersebut adalah kejadian alamiah yang akan dialami hampir semua perempuan dalam rumah tangganya. Dan, tidak semua laki-laki menyelesaikan masalah tersebut dengan poligini. Toh, kebutuhan biologis tak selamanya harus dituruti. Mencurahkan kasih sayang kepada isteri dalam bentuk lain dapat juga mengurangi hasrat untuk melakukan kontak fisik. Hal ini tentu sangat tergantung cara pandang suami dalam menyikapi penyaluran kebutuhan biologisnya.

4. Faktor Ekonomi

Poligini sering kali menjadi salah satu acuan keberhasilan seorang laki-laki. Semakin jaya ia, semakin banyak pula isterinya. Di masyarakat Madura misalnya, seorang kiayi baru dianggap kiayi berwibawa saat ia telah melakukan poligini. Tentu, secara ekonomis, kiayi yang berpoligini dianggap lebih kaya dari pada kiayi yang takut berpoligini.

Pada zaman kerajaan yang otokratik dan patriakhi, seorang raja akan dianggap gagah perkasa ketika ia telah memiliki banyak isteri. Apalagi, untuk meneruskan estafet tahtanya, ia butuh anak laki-laki yang tentunya akan didapatkannya dengan mudah bila ia menikahi banyak wanita. Semakin banyak isteri, semakin banyak anak laki-laki yang ia peroleh dan semakin kuatlah kerajaannya.

Namun, untuk saat ini, alasan berpoligini dalam rangka meningkatkan prestise seperti di atas sudah mulai memudar. Bahkan, banyak laki-laki yang tidak ingin segera menikah karena ekonominya belum mapan. Bagi umumnya laki-laki zaman sekarang, dapat menghidupi satu isteri dan beberapa anak saja sudah merupakan anugerah yang besar, sebab persaingan ketat dalam dunia kerja seakan menyulitkan laki-laki untuk menambah tanggung jawabnya dengan menambah jumlah isteri.

5. Jumlah perempuan lebih banyak

Alasan terakhir inilah yang sering dianggap paling krusial. Pada masa lalu (primitif) hingga masa sekarang, jumlah perempuan seringkai lebih banyak daripada laki-laki. Hal ini disebabkan antara lain angka kematian laki-laki lebih tinggi dibanding angka kematian perempuan. Pada masa berburu, kehidupan laki-laki lebih ganas dan berbahaya. Ia harus berjuang melawan alam untuk mendapatkan rejeki. Tak jarang ia harus mengorbankan kehidupannya untuk mendapatkan apa yang ia impikan. Terlebih dalam peperangan, dengan tingkat keberanian yang lebih tinggi, laki-laki harus berjuang membela kelompok dan bangsanya dengan taruhan nyawa. Inilah sebab tingginya angka kematian laki-laki.

Menikah adalah hak asasi setiap manusia, termasuk perempuan. Ketika jumlah perempuan lebih banyak dan masyarakat menutup rapat-rapat poligini, maka yang terjadi adalah banyak perempuan usia nikah yang tidak mendapat jatah pasangan hidup. Ini tentu melanggar hak-hak perempuan untuk menjalani hidup secara normal. Oleh sebab itulah, jika kondisi sedimikian rupa, poligini dianggap pintu darurat yang dapat menyelamatkan harga diri perempuan walau pada dasarnya tidak ada perempuan yang rela dengan sepenuh hati untuk dimadu. Dalam hal ini, peran laki-laki dalam membina hubungan harmonis antara para isteri sangat dibutuhkan.


D. Perdebatan seputar Poligini di Kalangan Pemikir Muslim Modern

1. Kelompok Pro Poligini

a. Wahiduddin Khan dalam buku Women Between Islam and Western Society[5] menyatakan bahwa latar belakang poligini, hukum poligini dan implementasi poligini. Berpijak pada Surat al Nisa’: 3, ia mengemukakan argumentasi bahwa ayat ini diturunkan setelah terjadi perang uhud yang menyebabkan 70 orang muslim mati syahid. Saat itu banyak perempuan yang kehilangan suami. Oleh sebab itu, ayat ini merupakan solusi untuk mengurus dan melindungi janda dan anaknya.

Khan juga berpendapat bahwa hukum poligini bersifat temporer, tetapi fenomena ini selalu terjadi di sepanjang zaman karena perang, kecelakaan kerja (laki-laki pencari nafkah pada peran produktif). Poligini harus dilakukan atas dasar kesediaan perempuan untuk menjadi istri kedua, ketiga dan keempat sebab poligini adalah solusi bukan tuntutan (perintah). Poligini dirancang untuk menyelamatkan perempuan karena kehormatan perempuan diperoleh antara lain jika dia memiliki suami.

b. Tokoh lain, Murtadha Mutahhari dalam buku the Right of Women in Islam ( Hak-hak Wanita dalam Islam),[6] menjelaskan tentang latar belakang poligini, hak perempuan dalam poligini, serta segi positif dan negatif poligini. Dasar argumentasinya adalah temuan hasil penelitian beberapa pakar di Barat (Sosiologi, biologi, filsafat, dan psikologi).

Poliandri, menurut Mutahhari, telah dipraktekkan masyarakat sebagaimana poligini. Namun, poliandri telah mengalami pemudaran, sebagai kegagalan komunisme seksual. Poligini akhirnya menjadi alternatif yang terlestarikan. Poligini merupakan model perkawinan yang sangat tua, ada di berbagai bangsa (Timur-Barat), Islam bukan mengonsepkan pertama tentang poligini, tetapi mengatur, membatasi, memberikan syarat-syarat agar hak-hak para istri tetap terjaga. Islam tidak menghapus secara mutlak. Poligini hanya tersisa di kalangan masyarakat kelas bangsawan dan pemilik modal.

Dalam pengamatan Mutahhari, ada fenomena menarik tentang praktek poligini di dunia Timur yang dinilai lebih baik dari Barat. Beberapa faktor terjadinya poligini di dunia Timur adalah faktor geografis, masa subur perempuan Timur terbatas, faktor ekonomi, jumlah tidak seimbang dari kelahiran dan kelangsungan hidup.

Dalam kesempatan lain, Mutahhari menegaskan bahwa menikah adalah hak asasi manusia, jika laki-laki hanya dibatasi satu istri, maka perempuan lain yang tidak mendapatkan pasangan akan terabaikan hak dasarnya. Untuk itu ia mengkritik DUHAM bahwa semua hak dasar dibahas di dalamnya, tetapi hak menikah dan berkeluarga serta mendapatkan keturunan tidak tersentuh. Hak memilih pasangan, bentuk perkawinan termasuk poligini atau monogami merupakan hak dasar manusia. Perempuan juga berhak mendapatkan perlindungan, kehormatan, dan pembelaan.

Mutahhari memperkaya argumentasinya dengan menggunakan buku-buku Barat yang mengungkap jumlah perempuan, homoseksualitas, free seks, dan watak laki yang poliginis. Karena itu poligini sesungguhnya melindungi monogami dari bahaya perzinaan, free seks, dan tidak menyalahi kodrat laki-laki sebagai poligam, dan menghindari pengkhianatan hak-hak perempuan dalam mendapatkan pasangan. Sisi negatif dan dampak-dampaknya poligini yang dikemukakan oleh pandangan kontra poligini (psikologis, pendidikan anak, moralitas, kesamaan hak, dan filosofis) menurutnya sebagai argumentasi yang dibesar-besarkan. Islam telah memberikan batasan, syarat keadilan dan aturan-aturan yang mengikat. Poligini berarti diperbolehkan.

c. Muhammad Rosyid Ridha dalam buku Nida’ al Jins al Lathif (Panggilan Islam Terhadap Wanita)[7] juga menguraikan tentang latar belakang dan masalah pokok poligini. Baginya, poligini merupakan sisa-sisa perbudakan perempuan khususnya di kalangan penguasa. Poligini juga dilakukan di Eropa zaman kaisar, Nazi, dan di masa Justianus (Jerman), di mana undang-undang melarangnya.

Islam mengharamkan perzinaan dan perdagangan perempuan dengan tetap mengakomodasi poligini dengan memberikan batasan jumlah dan kemaslahatan perempuan dan umat Islam. Persyaratan berlaku adil terhadap istri-istri akan mencegah dhalim. Jika dua indikasi tersebut tampak, maka hukum poligini adalah haram.

d. Muhammad Rasyid al Uwayyid dalam karyanya Min Ajli Tahrir Haqiqi Lil Mar’ati, ( Pembebasan Perempuan)[8] menjelaskan tentang jumlah perempuan yang dinilai surplus dan watak dasar laki-laki adalah poligam. Ia menyebut data statistik di Amerika dan Eropa. Ia juga mengungkapkan hasil penelitian tentang perselingkuhan dan relasi seks menyimpang (homoseks dan lesbian) di negara-negara Barat.

Jumlah perempuan surplus, tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Poligini memberikan hak dasar perempuan untuk mendapatkan pasangan, membebaskan perempuan dari perawan tua, terisolasi, terbelenggu oleh lingkungannya. Jika melakukan perselingkuhan (atau pernikahan bawah tangan dan di luar nikah) juga membelenggu kebebasannya untuk hidup wajar, bahkan menjadi tawanan laki-laki. Perempuan membujang dan bekerja menghidupi dirinya sendiri dampaknya lebih besar dari laki-laki. Hal ini dapat membelenggu perasaan dan kebebasan perempuan untuk berekspresi karena hidupnya dianggap tidak sempurna di hadapan masyarakat.

Poligini dalam Islam membelenggu laki-laki karena dia dibatasi oleh jumlah perempuan yang dikumpulkan dalam perkawinan secara sah, sekaligus membebaskan laki-laki dari perzinaan, karena watak dasar laki-laki adalah poligam. Beda halnya dengan budaya Barat yang melarang poligini tetapi bebas mengumpulkan selir-selir yang tidak terkontol oleh aturan agama.

e. Asghar Ali Engineer menulis buku yang berjudul The Right of Women in Islam (Hak-hak Perempuan Dalam Islam)[9] yang memaparkan poligini dan hak-hak individual perempuan dalam keluarga serta realitas poligini di India. Ia mendasarkan argumentasinya pada surat Al Nisa’: 3 yang bertemakan keadilan dan pemenuhan hak-hak dasar dan personal bagi perempuan (janda dan anak perempuan yatim).

Bidang utama pembaharuan hukum personal Islam adalah poligini, perceraian, dan nafkah pasca cerai. Beristri lebih dari satu tidak diperbolehkan secara umum dalam al Qur’an, tetapi dalam kondisi khusus dan darurat. Keadilan merupakan tuntutan Islam pada pelaku poligini, jika tidak mampu maka haram melakukan poligini. Poligini untuk solusi janda-janda lemah dan anak yatim yang perlu dilindungi, bukan untuk membuka ruang pemuas dorongan seks ekstra laki-laki. Penegakan keadilan dan pemenuhan hak individual untuk kesejahteraan lebih penting daripada memenuhi hasrat individu itu sendiri.

Di India, poligini lebih banyak dilakukan di kalangan non muslim dengan dasar kesepakatan persahabatan (kepentingan komunal). Problem utama di sini bukan pada peristiwa dan jumlah pelakunya, tetapi lebih ditekankan pada legalitas yang harus dibenahi.

f. Musfir al-Jahrani merupakan salah satu tokoh yang setuju poligini. Dalam bukunya,“Poligami dari Berbaga Persepsi”[10] ia menegaskan bahwa poligini mengandung hikmah yang banyak. Poligini dalam Islam berbeda dengan poligini pada masa jahiliyyah yang dilakukan tanpa batas. Poligini dapat memberikan kesempatan seorang laki-laki memiliki keturunan yang banyak sebagaimana dianjurkan Nabi. Poligini juga dapat menghindarkan perzinaan bagi laki-laki yang memiliki nafsu syahwat yang tinggi. Poligini tidak hanya mubah tapi justru sunnah bagi mereka yang mampu berbagi cinta kasih secara adil.

g. Abraham Silo Wilar penulis buku “Poligini Nabi, Kajian Kritis teologis terhadap Pemikiran Ali Syari’ati dan Fathimah Mernissi”[11] adalah seorang Nasrani. Walaupun begitu ia mencoba tetap obyektif dalam melihat poligini dari sudut pandang dua tokoh besar, Syariati dan Mernissi. Perbedaan mendasar antar keduanya tokoh tersebut, menurut Silo, adalah bahwa Syariati menyatakan poligini nabi bukan seperti Don Juan yang lebih suka mengoleksi perempuan. Dasar pikiran yang digunakan lebih bersifat pembelaan namun tanpa dasar yang otoritatif. Mernissi di lain pihak menyatakan bahwa poligini nabi adalah memiliki landasan teologis dan non teologis. Banyak hadis misogenis yang menurutnya bukan dari Nabi secara sahih. Nabi melakukan poligini dengan pertimbangan yang sangat matang demi menjaga martabat manusia, khususnya perempuan. Landasan non-telogis adalah bahwa poligini nabi bertujuan untuk mengurangi budaya patriarkhi yang sering merendahkan derajat perempuan, seperti dalam perang.

2. Kontra Poligini

a. Leila Ahmed dalam Women and Gender in Islam: Historical Roots of Modern Debate (Wanita dan Gender dalam Islam)[12] menjelaskan praktek poligini yang merugikan perempuan. Ia menggunakan landasan historis bahwa sejarah peradaban Islam abad pertengahan (Dinasti Mamluk) mencatat tentang budaya harm dan poligini yang memperpuruk kondisi perempuan.

Praktek poligini tidak bertanggung jawab (jumlah tak terbatas dan perlakuan tidak adil) marak di era kejayaan Islam di kalangan masyarakat kelas penguasa. Poligini dan perseliran memicu persaingan antar selir dalam harm. Bagi para istri penguasa poligini pada umumnya lebih bersifat emosional dan psikologis ketimbang faktor ekonomis. Poligini yang berakhir pada perceraian sepihak oleh suami sangat merugikan perempuan.

b. Aminah Wadud dalam Qur’an and Women (Qur’an menurut Perempuan: Meluruskan Bias Gender Dalam Tradisi Tafsir)[13] menjabarkan latar belakang poligini dengan landasan surat al-Nisa’:3 yang menyakup faktor psikologis dan sosiologis. Poligini merupakan bentuk penundukan dalam perkawinan karena kebutuhan perempuan terhadap nafkah. Perspektif perkawinan ekonomi ini telah diindikasikan dalam al Qur’an. Surat Al Baqarah: 3 dimaksudkan: 1) peringatan agar hati-hati pada harta anak yatim agar tidak salah kelola; 2) ayat ini berbicara tentang keadilan, poligai hanya berbicara keadilan nafkah bukan pada kesamaan waktu, kesamaan rasa kasih sayang, dukungan spiritual dan moral-spiritual. Terminologi keadilan sosial tidak dipertimbangkan; 3) poligini tidak ada persetujuan langsung dalam al qur’an (perkawinan ideal adalah monogami) bahkan dicounter dengan QS 4: 129. Dalam konteks poligini selalu memandang perempuan sebagai beban finansial tidak produktif, ketergantungan ekonomi, padahal perempuan modern dengan pendidikan yang lebih baik juga sebagai pencari nafkah; 4) alasan tidak mempunyai anak tidak ada dasarnya dalam al Qur’an; 5) janda dan anak-anak akibat perang tidak harus dengan solusi poligini, karena masalah perlindungan dan pengasuhan dapat dilakukan secara institusional; 6) praktek poligini lebih pada pemuas hanya nafsu laki-laki, jauh dari qur’ani.

c. Istibsjaroh dalam bukunya “Poligami dalam Cita dan Fakta”[14] menyampaikan bahwa ia tidak setuju dengan poligini karena hukum perkawinan Islam menganut asas monogami. Baginya penafsiran yang bias dan parsial menyebabkan tidak tertangkapnya pesan asas monogami dalam perkawinan Islam. Anjuran poligini merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan Sunnah Rasul, Poligini rasul adalah perintah Allah dan beliau sama sekali bukan karena memperturutkan hawa nafsunya.

Hukum positif Indonesia, menurut istibsjaroh masih bias gender. Ketentuan perundang-undangan masih banyak membela kepentingan laki-laki. Poligini menurutnya harus dihindari karena perbuatan ini banyak membawa madharat daripada manfaat. Dalam kaidah ushuliyyah, kita diharuskan mendahulukan meninggalkan hal-hal yang membawa bahaya daripada mengambil manfaatnya (dar’u la-mafasid muqaddam ala jalb al-mashalih).

d. Anshori Fahmie,“Siapa Bilang Poligami itu Sunnah?”[15] menegaskan bahwa Islam mengajarkan keluarga bahagia yang tercipta dari pasangan yang saling mencintai, bukan saling menyakiti. Poligini merupakan emergency exit (mengutip Quraish Shihab) yang digunakan dalam kondisi tertentu saja. Sikap adil yang harus ada dalam poligini meliputi semua aspek, antara lain ekonomi, jatah giliran, kasih sayang, perlindungan, dan yang terpenting para isteri mempunyai hak yang sama mempunyai suami. Status sebagai isteri madu akan semakin mempersulit posisi isteri dalam menjalakan kehidupannya. Para isteri rasul setelah Khadijah wafat adalah para janda, kecuali Aisyah.

e. Cahyadi Takariawan menulis “Bahagiakan Diri dengan satu istri”. Ia cenderung menekankan bahwa laki-laki yang bermonogami akan lebih mudah membangun rumah tangga yang sakinah daripada laki-laki yang berpoligini. Ia mencatat beberapa hal yang harus diperhatikanseseorang yang hendak berpoligini yang jsutru sifat kemanusiaannya menafikan untuk melakukan syarat-syarat tersebut. Ia menganjurkan untuk melakukan berbagai trik untuk menjadikan istri pertama dan terakhir dalam suasana rumah tangga baru.

f. Faqihuddin Abdul Kodir dalam“Memilih Monogami, Pembacaan atas al-Qur’an dan hadits Nabi”[16] lebih cenderung melarang poligini karena poligini tidak sesuai dengan sunnah nabi. Ayat-ayat al-Qur’an cenderung menggunakan asas monogami. Baginya, monogami hukumnya sunnah.

Dari uraian di atas tentang perdebatan seputar poligini dapat ditarik benang merahnya. Kelompok yang setuju dengan poligini mengatakan bahwa poligini merupakan satu langkah preventif untuk menghindari kehancuran rumah tangga. Poligini lebih baik daripada selingkuh atau prostitusi. Apalagi, watak laki-laki disinyalir sebagai poligam. Poligini adalah salah satu alternatif solusi yang masih dapat diterima masyarakat.

Adapun kelompok yang menolak poligini menegaskan bahwa poligini sangat bertentangan dengan nilai-nilai dasar hak asasi manusia, terutama dalam perlindungan terhadap perempuan. Apalagi, tafsiran ayat ataupun hadis selama ini masih bias gender, sehingga perlu rekonstruksi pemahaman terhadap ayat dan hadis yang lebih sensitif gender. Salah satu syarat untuk poligini adalah adil, dan hampir tidak ada laki-laki selain Nabi yang mampu berbuat adil kepada para isterinya, baik lahir maupun batin.

E. Pembaharuan Hukum Keluarga tentang Poligini

Pada dasarnya syariat Islam membolehkan seorang suami untuk berpoligini, dengan catatan mampu berlaku adil. Namun banyak laki-laki yang menyalahgunakan hak ini. Oleh sebab itu, dalam perkembangannya, hukum keluarga di beberapa negara yang berpenduduk mayoritas muslim atau negara yang berlabel Islam memberikan beberapa peraturan atau ketentuan khusus dalam maslah poligini. Titik mengklasifikasikan negara-negara tersebut ke dalam tiga kelompok: negera yang melarang poligini, negara yang memperbolehkan poligini, dan negara yang membolehkan poligini setelah mendapat izin dari lembaga tertentu.[17]

1. Negara yang Melarang Poligini

Penjajahan negara-negara Barat telah lama bercokol di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Mereka kemudian menyebarkan pengaruhnya di segala bidang kehidupan kaum muslimin, tak terkecuali hukum keluarga. Hukum keluarga di beberapa negara Muslim telah dipengaruhi faham sekularisme yang telah mewarnai kehidupan Barat, seperti halnya dalam masalah poligini.

Di antara negara yang telah mengadopsi hukum Barat adalah Turki dan Tunisia. Kedua negara ini melarang penduduknya untuk melakukan poligini. Sementara Turki tidak memberlakukan sanksi hukum, Tunisia mengancam pelaku poligini dengan hukuman penjara selama satu tahun atau denda setinggi-tingginya 240.000 malim (mata uang Tunisia).

Undang-undang Turki menegaskan bahwa perkawinan yang kedua bagi seorang laki-laki dapat dibatalkan oleh pengadilan. Pembatalan tidak jadi diputuskan jika dengan segera laki-laki tersebut menceraikan isteri pertamanya. Alasan ditetapkannya hukum poligini semacam ini karena kondisi sosial masyarakat Turki sudah berubah sehingga poligini yang sesungguhnya dapat dilakukan dengan empat isteri dalam satu waktu tidak dapat dilaksanakan di Turki.[18]

Hukum Tunisia menegaskan larangan poligini. Apabila seorang laki-laki tetap berpoligini, maka perkawinan kedua itu dianggap batal demi hukum dan pelakunya dikenai sanksi pidana. Alasan pelarangan ini adalah karena poligini merupakan tindakan yang tidak dapat diterima oleh mayoritas manusia di mana pun. Juga, ide utama dalam al-Qur’an menurut mereka adalah monogami, bukan poligini. Alasan lain adalah bahwa laki-laki yang berpoligini tidak akan mampu berbuat adil sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw.[19]

2. Negara yang Mengizinkan Poligini

Walaupun pengaruh Barat cukup kental di negara-negara berbasis Islam, namun tidak seluruhnya menentang praktik poligini. Maroko, misalnya, membolehkan poligini apabila laki-laki tersebut mampu berbuat adil. Secara teknis, orang yang akan melakukan poligini harus memberitahukan kepada calon isteri kedua bahwa ia sudah beristeri. Sikap keterbukaan status suami juga menjadi poin penting di negara Aljazair yang sama-sama mengizinkan praktik poligini.

Secara detail, dalam hukum keluarga Maroko tahun 1958, ditegaskan bahwa poligini dapat dilarang apabila dikhawatirkan akan terjadi ketidakadilan suami kepada para isteri. Namun, undang-undang ini tidak menyatakan lembaga tertentu yang memegang otoritas penilaian terhadap keadilan suami. Hal ini diserahkan secara mutlak sepada laki-laki tersebut. Undang-undang Maroko mengatur prosedur poligini sebagai berikut:

a. Laki-laki yang akan berpoligini harus memberitahukan kepada calon isterinya bahwa ia sudah berstatus sebagai suami

b. Pada saat akad nikah, perempuan itu boleh mencantumkan syarat “tidak akan berpoligini lagi” bagi suaminya. Hal ini akan memberikan landasan hukum bagi sang isteri kedua untuk menggugat cerai suami bila syarat ini dilanggar. Undang-undang Maroko menganut mazhab Hambali yang mengizinkan syarat tersebut.

c. Pengadilan bisa membubarkan perkawinan kedua ini apabila isteri pertama merasa tersiksa dengan poligini suami.[20]

Hukum keluarga Aljazair, di lain pihak, membolehkan seorang laki-laki memiliki isteri sampai empat orang dengan syarat:

a. Ada dasar yang melatarbelakanginya

b. Dapat memenuhi keadilan

c. Memberitahukan bahwa ia berpoligini baik kepada isteri maupun calon isteri. Isteri dapat mengajukan gugatan terhadap suami jika poligini suami tidak mendapat persetujuannya.[21]

Alasan diizinkannya poligini di Aljazair tidak ditegaskan secara tegas, sehingga ketentuan ini bersifat lebih longgar daripada Maroko.

3. Negara yang Mengizinkan Pogini setelah Izin kepada Lembaga Tertentu

Beberapa negara Muslim telah memberlakukan peraturan poligini dengan syarat telah mendapatkan izin dari lembaga yang berwenang. Di Pakistan misalnya, izin ini harus diperoleh dari dewan arbitrasi yang didirikan khusus untuk menilai permohonan seorang laki-laki yang hendak berpoligini. Permohonan tersebut harus disertai dengan alasan-alasan yang telah ditetapkan dalam perundang-undangan serta didukung dengan kemampuan finansial.

Iran, pada sisi lain, pad awalnya hanya mewajibkan suami yang akan berpoligini untuk memberitahukan status dirinya kepada calon isteri kedua. Namun, setelah lahirnya Hukum Perlindungan Keluarga tahun 1967, syarat poligini ditambah dengan keharusan mendapat persetujuan dari isteri dan harus mendapat izin dari pengadilan. Izin poligini akan dikeluarkan setelah pengadilan mengadakan pemeriksaan tentang kondisi ekonomi dan kemampuan bersikap adil. Apabila suami melanggar ketentuan ini, ia diancam dengan hukuman kurungan selama enam bulan hingga dua tahun meskipun status perkawinannya tetap dianggap sah. Namun, bila perkawinan poligini suami tidak mendapat persetujuan dari isterinya, maka isteri dapat mengajukan gugat cerai ke pengadilan. [22]

Hukum Yaman menegaskan bahwa pengadilan baru akan mengabulkan permohonan poligini suami bila isteri tidak dapat melahirkan keturunan atau menderita penyakit kronis yang dapat mengganggu kehidupan rumah tangga. Menariknya, hukum Yaman tidak mensyaratkan suami untuk memiliki kemampuan memberi nafkah yang cukup bila berpoligini dan tidak ada ketentuan untuk berbuat adil.[23]

Afganistan hampir sama dengan Iran dalam hal kemampuan finansial dan karakter pribadi suami yang akan melakukan poligini. Syarat yang lebih utama adalah bahwa sang isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Alasan tidak mempunyai anak baru bisa digunakan apabila kehidupan rumah tangganya telah berlangsung selama enam tahun dan dibuktika dengan analisa medis bahwa suami subur sedangkan isterinya mandul. Apabila suami yang mandul, isteri berhak untuk mengajukan gugat cerai ke pengadilan.[24]

Terakhir, di Somalia, izin untuk berpoligini baru dapat dikeluarkan apabila isteri dinyatakan mandul oleh dokter dan hal ini belum diketahui sebelum akad nikah. Isteri yang menderita penyakit kronis juga bisa menjadi alasan berpoligini. Begitu pula bila isteri dihukum penjara lebih dari dua tahun atau isteri tidak dapat melakukan kewajibannya selama satu tahun tanpa alasan yang jelas dapat menjadi alasan untuk poligini. Meskipun suami diberi izin poligini oleh pengadilan, isteri juga mempunyai hak untuk mengajukan gugat cerai untuk suaminya. [25]



[1] Istibsyaroh, Poligami dalam Cita dan Fakta, (Bandung: Blantika, 2004), 2.

[2] Nasaruddin Umar, Telaah Poligini (http://portal.antara.co.id)

[3] Ibid.

[4] Lihat Istibsjaroh, op.cit., 3-10. Lihat pula Titik Triwulan Tutik dan Trianto, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), 58-60.

[5] Wahiduddin Khan, Women between Islam and Western Society (Antara Islam dan Barat: Perempuan di Tengah Pergumulan), (Jakarta: Serambi, 2001).

[6] Murtadha Mutahhari, The Right of Women in Islam (Hak-hak Wanita dalam Islam), (Bandung: Lentera, 2000).

[7] Muhammad Rosyid Ridha, Nida’ al Jins al Lathif (Panggilan Islam Terhadap Wanita), (Bandung: Pustaka, 1986).

[8] Muhammad Rasyid al Uwayyid, Min Ajli Tahrir Haqiqi Lil Mar’ati (Pembebasan Perempuan), (Yogyakarta: Izzan Pustaka, 2002).

[9] Asghar Ali Engineer, The Right of Women in Islam (Hak-hak Perempuan dalam Islam), (Yogyakarta: Bentang, 1994).

[10] Musfir al-Jahrani“Poligami dari Berbaga Persepsi”(Jakarta: Gema Insani Press, 1996)

[11] Abraham Silo Wilar, Poligini Nabi, Kajian Kritis teologis terhadap Pemikiran Ali Syari’ati dan Fathimah Mernissi, (Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2006)

[12] Ahmed, Leila, Women and Gender in Islam: Historical Roots of Modern Debate (Wanita dan Gender dalam Islam), (Jakarta: Lentera, 2000).

[13] Aminah Wadud, Qur’an and Women, (Qur’an Menurut Perempuan: Meluruskan Bias Gender Dalam Tradisi Tafsir), (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2001).

[14] Istibsjaroh, Poligami dalam Cita dan Fakta, (Bandung: Blantika, 2004)

[15] Anshori Fahmie, Siapa Bilang Poligami itu Sunnah?,(Bandung: Pustaka IIMaN, 2007)

[16] Faqihuddin Abdul Kodir, Memilih Monogami, Pembacaan atas al-Qur’an dan hadits Nabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005)

[17] Titik Triwulan Tutik, op.cit, 93.

[18] Isroqunnajah, “Hukum Keluraga Islam di Republik Turki,” dalam Atho’ Muzhar dan Khairuddin Nasution (eds), Hukum Keluarga di Duni Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), 41.

[19] Zudi Rahmanto, “Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia,” dalam ibid, 83-84.

[20] Atun Wardatun, “Hukum Keluarga islam di Maroko,” dalam ibid, 96-97.

[21] Fathuddin Azia Siregar, “Hukum Keluaraga Islam di Aljazair,” dalam ibid, 119-120.

[22] Homaidi Hamid, “Hukum Keluarga di Iran,” dalam ibid, 53-54.

[23] Saptoni, “ Hukum Keluarag di Yaman Selatan,” dalam ibid, 70-72.

[24] Ahmad Junaidi, “Hukum Keluarag Islam di Afganistan,” dalam ibid, 134-138.

[25] Habib, “Hukum keluarga Islam di Somalia,” dalam ibid, 154-155.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction