A. Gagasan tentang Syariah, Fikih, dan Syariat Islam
1. Syariah
Kata Syariah berasal dari lafal “syara’a” dengan mengambil bentuk masdar “syari’ah” yang berarti jalan ke tempat pengairan atau tempat berlalunya air di sungai.[5]
Kata syariah muncul dalam Alquran sebanyak lima kali yaitu Al-Maidah:48, Asy-Sura:13, 21, Al-Jatsiyah:18, dan Al-A’raf:163. Dalam hal ini agama yang ditetapkan untuk manusia disebut syariat dalam artian lughawi karena umat Islam selalu melaluinya dalam kehidupan di dunia.[6]
Bentuk Kesamaan syariat Islam dengan jalan air adalah bahwa siapa yang mengikuti syariat, ia akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagaimana menjadikan syariat sebagai penyebab kehidupan jiwa insani.[7]
Pengertian syariah secara terminologi dapat disimak pendapat Qardawi bahwa syariah adalah sesuatu yang ditetapkan Allah kepada hambanya yang berupa aturan-aturan agama atau sesuatu yang diperintahkan Allah yang berkaitan dengan masalah-masalah agama seperti shalat, puasa, haji, zakat, dan seluruh perbuatan yang baik.[8]
Makna syariah juga dapat ditemukan pada karya Manna’ Al-Qattan yang mendefinisikan syariah sebagai :
“Sesuatu yang ditetapkan Allah untuk hamba-hambanya dalam hal akidah, akhlak, muamalat, dan peraturan kehidupan dalam bentuk yang beraneka ragam demi terjalinnya keteraturan hubungan manusia terhadap tuhannya dan hubungan manusia dengan sesamanya serta terwujudnya kebahagiaan di dunia dan akhirat.[9]
Dengan demikian syariah memiliki unsur ketetapan (hukum buatan) Tuhan, berkaitan dengan kehidupan manusia baik berhubungan secara vertikal dengan Tuhan maupun secara horizontal dengan sesamanya, dan tujuan tercapainya kebahagiaan dunia dan akhirat.
2. Fiqih
Fiqih secara lughawi berarti paham yang mendalam.[10] Bila kata paham dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriyah, maka fiqih berarti paham yang menyampaikan ilmu zahir kepada ilmu batin. Jadi fiqih tentang sesuatu berarti mengetahui batinnya sampai kepada kedalamannya.[11]
Kata “faqaha” atau yang berakar dengan itu dalam Alquran terdapat 20 ayat; 19 di antaranya mempunyai arti kedalaman paham atau kedalaman ilmu yang menyebabkan dapat diambil manfaatnya.[12]
Makna fiqih secara istilahi sebagaimana dituturkan Abdul Wahhab Khalaf adalah
Yakni pengetahuan tentang hukum-hukum syariat Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalilnya secara rinci. Atau dengan kata lain kumpulan hukum-hukum syariat Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalilnya secara terperinci. [13]
Tentang “dalil-dalil” yang dimaksud pada definisi di atas adalah dalil-dalil yang dijadikan dasar hukum syariat mengenai perbuatan manusia yang disepakati ulama, yaitu Alquran, Al-Sunnah, Ijma, dan qiyas.
Dari sini dapat dilihat ciri khas fikih adalah pengetahuan hukum Islam terperinci berkaitan dengan perilaku manusia yang bersumber Al-Qur’an, Al-Sunnah, Ijma’, dan qiyas.
3. Hubungan Syariat dengan Fiqih
Syariat diartikan dengan ketentuan yang ditetapkan Allah dan yang dijelaskan oleh rasul-Nya tentang tindak-tanduk manusia di dunia dalam mencapai kehidupan yang bahagia dunia akhirat. Ketentuan Syara’ ini terbatas dalam firman Allah dan sabda rasul.
Semua tindakan manusia di dunia dalam tujuannya mencapai kehidupan yang baik itu harus tunduk kepada kehendak Allah dan rasul. Kehendak itu sebagian telah terdapat sacara tertulis (terkodifikasi) dalam Alquran dan Al-hadis.Akan tetapi sebagian besar lainnya masih tersimpan dibalik tulisan itu sehingga membutuhkan pemahaman mendalam untuk menyelesaikan persoalan zaman yang kian menantang.
Manusia dituntut mempelajari secara tuntas dan terperinci Alquran dan Al-hadis yang kemudian dapat dituangkan ke dalam ketentuan-ketentuan hasil ijtihad. Ketentuan terperinci tentang hukum yang berkenaan dengan tingkah laku manusia diramu dan diformat sedemikian rupa sebagai hasil pemahaman tentang syariah disebut fiqih.
Pemahaman terhadap hukum syara’ itu mengalami perubahan sesuai dengan pergeseran situasi dan kondisi manusia yang menjalaninya. Muncullah fiqih-fiqih yang dinisbatkan langsung kepada mujtahid yang memformulasikannya semisal fiqih Hanafi dan fiqih Syafi’i. Sedangkan syariah selalu dan akan tetap dinisbatkan kepada Allah SWT.[14] Dari sini dapat terlihat bahwa fikih merupakan hasil ijtihad ulama dalam memahami Syariah yang merupakan buatan Tuhan.
4. Syariat Islam
Untuk pengertian Syariat Islam, penulis belum menemukan makna yang tepat dan memuaskan. Akan tetapi penulis mencoba mengutip pendapat para pakar yang sedang mengonsentrasikan diri pada penegakan Syariat Islam di Indonesia. Salah satunya adalah Habib Rizieq Shihab. Menurut pandangan beliau, Syariat Islam dapat dikatakan identik dengan syariah, yakni aturan hidup khusus menyangkut zahiriyah, yang kemudian dibahas oleh fikih. Beliau tidak setuju kalau berbicara Syariat Islam hanya formalnya saja dengan mengabaikan substansinya. Sebaliknya juga tidak sepakat kalau hanya membicarakan substansi tapi pengabaikan formalitasnya. Sama seperti antara akidah, syariah, dan akhlak tidak bisa dipisahkan. Dengan begitu formalistik dan substansial tidak boleh dipisahkan. Formalitas ditujukan untuk menjaga agar substansi berjalan dengan baik. Dan substansi dijadikan sebagai bukti implementasi formalistik yang diperjuangkan.
Dalam pelaksanaan syariat Islam menurut Shihab, harus dilakukan secara bertahap. Pertama, Syariat Islam hanya diberlakukan untuk umat Islam saja, sedangkan non-muslim dibolehkan menggunakan hukum positif yang sudah ada. Kedua, Pemetaan daerah berdasarkan kesiapan melaksanakan Syariat Islam. Bagi daerah yang Islamnya kuat, penegakan Syariat Islam dapat mencapai 50%, untuk daerah sedang barangkali bisa mencapai 30%, sedangkan yang belum siap mungkin cukup 5 -10% saja. Ketiga, Bagi daerah yang belum siap betul, tahap yang berlaku bagi mereka adalah sosialisasi Syariat Islam. Sosialisasi ini juga tergantung wilayahnya, bisa saja memakan waktu sekitar 5 tahun, 10 tahun atau bahkan bisa sampai 50 tahun.[15]
Sedangkan menurut Syafi’i Ma’arif, Syariat Islam atau ringkasnya syariat adalah agama itu sendiri yang bersifat holistik. Jadi bukan hanya hukum, seperti pemahaman Ba’asyir, Ketua Majelis Mujahidin Indonesia. Esensi dari Syariat Islam adalah keadilan, bukan hukum-hukum yang partikular.[16]
Dalam pandangan M. Imdadun Rahmat, pelaksanaan syariat Islam tidak dimaknai sebagai formalisasi syariat lengkap dengan struktur, nama, idiom, dan sumbernya, tetapi lebih dimaknai sebagi adopsi semangat dan pesannya dalam sistem hukum nasional. Dalam memahami Syariat Islam lebih diutamakan unsur substansial dan esensialnya, bukan literalnya. Substansial dalam pengertian mengambil isi tanpa mementingkan bahasa atau simbul. Sebagai contoh, hukuman mati bagi pelaku pembunuhan, meski tidak bernama qishash, tetapi isinya sama dengan ketentuan qishash. Jika implementasi dengan cara substansial tidak tercapai bisa dipakai pendekatan esensial, yakni cara pandang yang tidak memandang isi atau bentuk, tetapi lebih mementingkan esensi atau maksud dan semangatnya. Sebagai contoh, larangan bagi wanita keluar tanpa mahram, bisa diganti dengan aturan yang melindungi keselamatan dan kehormatan wanita.
Memang agenda ini, menurut Rahmat, memerlukan pengkajian yang luar biasa berat. Namun jika tidak dilakukan akan selalu saja muncul ketegangan yang melahirkan pendekatan yang sama-sama tidak bijaksana; menuntut pemberlakuan Syariat Islam konvensional yang menimbulkan berbagai diskriminasi, atau membiarkan sistem hukum nasional tetap pada posisi tidak legitimate dan tidak aplikatif di tengah kebangkitan religiusitas umat karena cap sekuler yang disandangnya.[17]
Dari sini dapat disimpulkan bahwa Syariat Islam berarti aturan Tuhan yang ada dalam Al-Qur’an dan juga al-Sunnah yang dapat diambil hukumnya secara langsung dan diterapkan di masyarakat Islam tanpa adanya penafsiran, atau singkat Syariat Islam lebih identik kepada syariah. Hanya saja, dalam tataran praksis, Syariat Islam dinilai berbeda oleh para tokoh di atas. Ada yang menginginkan pelaksanaan apa adanya, ada pula yang mengharuskan adanya pemaknaan substansial dari syariat Islam, dan yang terakhir menginginkan adanya kompromi di antara keduanya.
B. Polemik Syariat Islam Pada awal Kemerdekaan Indonesia
Keinginan kuat untuk memberlakukan Syariat Islam yang muncul di era reformasi bukanlah hal yang baru. Dalam perjalanan sejarah pembentukan bangsa Indonesia, gagasan ini telah menjadi perdebatan cukup hangat di antara para tokoh elit nasional yang duduk di BPUPKI. Para tokoh dari kalangan Islam, nasionalis sekuler, maupun Nasrani yang tergabung dalam panitia sembilan pada akhirnya memutuskan dirumuskannya Piagam Jakarta (22 Juni 1945) sebagai jalan kompromi yang dianggap sebagai kompromi untuk menyudahi kesulitan antara anak bangsa.
Namun sejarah terus bergulir, kesepakatan Piagam Jakarta tidak berjalan mulus, pasti menghadapi banyak ganjalan dan rintangan. Alasan mendasar yang menjadi sumber masalah itu karena di dalam Piagam Jakarta tercantum tujuh kata yang dianggap memancing emosi kelompok tertentu, yaitu dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Kalimat ini kemudian dipersoalkan dalam sidang BPUPKI tanggal 11 Juli 1945. Wakil Kristen dari Indonesia Timur, Latuharhary, menggugat kesepakatan “tujuh kata” yang telah dicapai pada sidang sebelumnya. Kalimat semacam itu dapat membawa kekacauan yang bukan kecil terhadap adat istiadat.[18]
Namun demikian keberatan Latuharhary tidak diterima oleh Soekarno, ketua Tim Kecil panitia Sembilan. Menurut Soekarno, umat Islam akan keberatan jika tujuh kata itu dihilangkan, mengingat perjuangan umat Islam dalam mendirikan bangsa Indonesia sangat besar dan berat. Mengingat pula bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim.
Pada kesempatan lain, dalam risalah sidang BPUPKI tanggal 13 Agustus 1945, Wachid Hasyim mengusulkan agar syarat presiden ditambah “yang beragama Islam”. Juga pasal 29 ditambah “agama negara ialah agama Islam”. Dan dalam rapat 14 Juli 1945, tokoh Muhammadiyah Ki Bagus hadikoesoemo mengusulkan agar kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dicoret. Jadi, bunyinya hanya ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam. Tetapi usul itu ditolak.
Sampai dengan rapat terakhir BPUPKI tanggal 16 Juli 1945, tidak ada pencabutan tentang Piagam Jakarta. Bahkan ketika itu, Soekarno menegaskan disepakatinya klausul “Presiden Indonesia haruslah beragama Islam”. Dan pasal 29 tetap berbunyi “Negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Terakhir, ketua BPUPKI yang juga merupakan aktifis gerakan Teosofi itu menyimpulkan, “Jadi rancangan ini sudah diterima semuanya dan dengan suara bulat diterima undang-undang dasar ini”.
Namun kesepatan itu harus pecah. Seperti diketahui pada tanggal 18 Agustus 1945, kesepakatan di BPUPKI itu kemudian dihapus. Ini terjadi, saat Bung Hatta di pagi hari menjelang dibukanya rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), melobi Ki Bagus Hadikoesoemo, Wachid Hasyim, Mr Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Hasan untuk bersedia mengganti kalimat “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam rancangan UUD dengan kalimat Ketuhanan Yang maha Esa”.
Alasan yang digunakan adalah demi persatuan bangsa. Karena menurut pengakuan Hatta, sore hari sebelumnya ia kedatangan seorang perwira Angkatan Laut Jepang yang memberitahukan bahwa wakil-wakil Kristen di daerah-daerah merasa keberatan dengan pencantuman Piagam Jakarta tersebut. Jika masih seperti itu mereka lebih baik memisahkan diri dari negara Indonesia. Atas dasar inilah akhirnya para tokoh Islam dengan berat hati mengizinkan perubahan tersebut. [19]
Namun sebenarnya menurut Adian Husaini, Jika dicermati fakta-fakta sejarah, penerimaan tokoh-tokoh Islam itu hanyalah pertimbangan situasional. Terbukti kemudian mereka memperjuangkan konsep Piagam Jakarta tersebut dalam Majelis Konstituante. Bahkan menurut Prof Kasman Singodimedjo, Ki Bagus Hadikoesoemo sampai meninggal dalam penantian kembalinya Piagam Jakarta.
Persoalan Syariat Islam ini sebenarnya kalau ditelusuri merupakan gambaran pertentangan antara Islam Politik dan Nasionalis Sekuler. Antara Islam politik dengan tokohnya Moh. Natsir dan nasionalis sekuler dengan tokohnya Soekarno pernah terjadi polemik yang panas pada tahun 1940-an. Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa kedua kelompok ini merupakan kelompok-kelompok utama dalam dunia politik Indonesia sejak rakyat yang tinggal di nusantara ini mengenal politik modern pada awal abad XX. Pengelompokan politik seperti terlihat dalam rapat BPUPKI dan PPKI, bahkan tetap bertahan sampai sekarang meskipun Indonesia telah mengalami banyak perubahan dan kepemimpinan nasional dengan berbagai corak.
Pergeseran dari Orde Lama ke Orde Baru setelah keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tanggal 11 Maret 1966, tidak mengubah pola hubungan Islam-politik. Islam tetap dijadikan ideologi partai-partai Islam dan negara Islam tidak lagi disebut-sebut sebagai tujuan partai-partai tadi. Undang-undang tentang partai politik dan Golkar yang dikeluarkan pada tahun 1985 dan pernyataan beberapa tokoh Islam berupa “Islam Yes, partai Islam No”, mengubah pola hubungan Islam-Politik. Menurut UU tersebut, partai-partai politik tidak lagi boleh mencantumkan salam satu agama sebagai ideologi dan asas partai. Semua partai politik harus mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asasnya. Slogan “Islam Yes dan Partai Islam No” menginginkan dihilangkannya sebutan partai Islam sehingga Islam tidak lagi digunaan sebagai alat politik untuk menarik simpati masyarakat. Apalagi sejak orde baru menerapkan depolitisasi dan deidiologisasi. Maka polemik dan perdebatan seputar agama dan negara dihentikan.
C. Polemik Syariat Islam di Era Reformasi
Kini di era reformasi isu ketegangan agama versus negara muncul kembali. Di antaranya adalah polemik di media massa dan penggusuran gagasan Syariat Islam agar dimasukkan ke dalam UUD 1945 yang diamandemen oleh partai-partai Islam. Polemik hubungan agama dan negara pada era reformasi diramaikan dengan kelompok yang menamakan dirinya Jaringan Liberal Islam. Islam liberal mengibarkan ide bahwa dalam wilayah publik peran agama diminimalkan. Gagasan-gagasan Islam liberal khususnya tentang hubungan agama dan negara ini sejalan dengan pemikiran Nurcholish Madjid cs dengan pembaharuan Islamnya dan Nasionalis sekuler yang meminimalkan peran agama dalam kehidupan bernegara, dan agama hanya menjadi urusan pribadi.
Hadirnya gerakan Islam Liberal di Indonesia merupakan upaya untuk menyikapi persoalan hubungan Islam dengan negara, Islam dengan hak-hak sipil, dan Islam dengan kebebasan individu dan banyak lagi persoalan modern lainnya. Pada era ini, ketika hak-hak individu semakin diperhatikan dan elemen-elemen sosial semakin diperhitungkan, representasi monolitik, khususnya representasi berdasarkan kelompok agama, akan sulit diwujudkan. Di era negara bangsa dan semakin rapuhnya sendi-sendi totalitarianisme, agama akan semakin kehilangan makna dan perannya jika terus-menerus berusaha melakukan kompetisi dengan kepentingan duniawi manusia. Islam sebagai bagian dari agama masa silam yang memiliki psikologi dan logika masa silam, juga tak lepas dari persoalan klasik yang dihadapi agama di dunia dewasa ini.
Argumen lainnya, tentang tergusurnya peran agama dalam urusan politik, Nabi pun tak pernah menyatakan secara tegas bahwa sebuah sistem pemerintahan haruslah memiliki pola politik tertentu. Dan Islam liberal meyakini bahwa urusan negara adalah semata-mata urusan duniawi manusia. Tak ada ketentuan atau kewajiban dari ajaran Islam secara spesifik tentang bentuk pemerintahan manusia.
Ide bahwa formalisasi negara Islam akan memecah-belah masyarakat ditentang oleh pendukung Islam literar. Menurut mereka, penerapan Syariat Islam dilaksanakan di Indonesia dapat memberikan kebaikan kepada semua pihak, dengan tidak membedakan warna kulit, ras, harta kekayaan, bahkan agamanya. Dengan mengacu pada sejarah Rasulullah di Madinah yang telah memperlakukan hukum sama kepada semua warga negara, baik muslim maupun non-muslim yang dikenal dengan ahl al-dzimmah. Status mereka sama dengan warga negara yang berhak mendapat jaminan kebutuhan pokok, keamaan, kesejahteraan, dan persamaan di depan hukum Islam. Kebaikan jika syariat Islam diterapkan antara lain akan memelihara keturunan, akal, kehormatan, agama dan juga keamanan.
Keinginan untuk menerapkan Syariat Islam bagi masyarakat Islam di berbagai daerah lebih dilatarbelakangi oleh carut-marutnya kondisi sosial, ekonomi dan politik bangsa ini. Aspirasi untuk menerapkan syariat Islam itu berkaitan dengan situasi sosial yang mengalami disorientasi, lemahnya penegakan hukum, serta didorong oleh pandangan-pandangan normatif teologis tentang idealistik tentang peranan syariat. Dalam situasi yang tidak menentu ini sebagian orang menganggap bahwa penerapan Syariat Islam dapat menjadi alternatif yang efektif untuk mengatasinya.[20]
D. Syariat Islam Yes, Syariat Islam No
Buku yang diterbitkan Paramadina yang berjudul “Syariat Islam Yes, Syariat Islam No” kiranya patut dicermati. Buku ini mempunyai keistimewaan tersendiri, karena tidak hanya menyuguhkan satu alur opini saja, tapi memuat pikiran lain yang agak berseberangan. Jadilah perdebatan pro-kontra Syariat Islam menjadi begitu hangat.
Setidaknya ada tiga aliran besar dalam buku ini : Pertama: aliran formalisasi syariat atau normatif-formalistik. Kelompok ini menghendaki agar syariat Islam dijadikan landasan riil berbangsa dan bernegara. Pencantuman kembali Piagam Jakarta dalam amandemen UUD `45 menjadi salah satu keinginan mereka. Kedua, arus substantif-simbolistik. Kelompok ini menginginkan pemaknaan Syariat Islam dari sisi sunstansinya saja. Pemerintah tidak selayaknya turut campur dalam persoalan syariat, karena jika demikian akan nampak wujud Islam yang represif dan otoriter. Ketiga, aliran berwajah moderat. Yakni kelompok yang menolak sekularisasi dan islamisasi. Arus ini sebenarnya menempati posisi minoritas di kalangan para pemikir, karena mereka berbicara hanya pada tataran moralitas, sehingga kehilangan kerangkan teoritis dan kerangkan strategis serta sulit diterapkan di tataran praksis.[21]
Mengenai fakta hukum tentang Syariat Islam di masyarakat, kita dapat menengok perjuangan pemberlakuan Syariat Islam di bebrapa daerah antara lain Cianjur dan Tasik Malaya. Untuk kasus Cianjur, bupati telah mengeluarkan Surat Edaran No. 451/2717/ASSDA tertanggal September 2001 tentang Gerakan Aparatur Berakhlakul Karimah dan Masyarakat Marhamah. Dalam aturan ini dijabarkan beberapa butir penting sebagai berikut:
“Masyarakat yang beragama Islam di wilayah/lingkungan kerja yang Saudara pimpin untuk melaksanakan Syariat Islam secara bertahap antara lain:
1. Melaksanakan 7 (tujuh) Syariat Islam, yaitu shalat berjamaah pada awal waktu, shaum, shadaqah, shabar, silaturrahim, syukur, dan salam.
2. Menunaikan kewajiban zakat.
3. Bagi muslimat agar mengenakan jilbab sesuai dengan ketentuan.
4. Mengkoordinasikan dan meningkatkan pelaksanaan pengajian di lingkungan kerja masing-masing.
5. Mengikuti pengajian rutin di majelis-majelis ta’lim
6. Membudayakan baca al-Qur’an secara berkelanjutan
7. Menghindari perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku
8. Melaksanakan kebersihan, ketertiban, dan keindahan di lingkungan tempat tinggalnya dan di lingkungan kantor tempat kerja masing masing.
Contoh lain usaha penegakan Syariat Islam di daerah adalah lahirnya Surat Edaran Bupati Tasikmalaya No. 451/SE/04/Sos/2001 yang bertanggal 28 Mei 2001 tentang Upaya Peningkatan Kualitas Keimanan dan Ketakwaan. Isinya antara lain:
1. Bagi calon murid SD atau MI yang beragama Islam diharapkan sudah memiliki kemampuan membaca al-Qur’an.
2. Bagi siswa SD, SLTP, SMU/SMK atau sederajat yang beragama Islam agar dilanjutkan untuk mengikuti sekolah agama di antaranya TPA/TQA/Madrasah Diniyah (Awaliyah, Wustha, dan Ulya)
3. Lebih meningkatkan upaya pembinaan keimanan dan ketaqwaan melalui wadah-wadah yang ada di sekolah
4. Dianjurkan kepada siswi SD/MI, SLTP, SMU/SMK, lembaga pendidikan kursus dan Perguruan Tinggi yang beragama Islam untuk mengenakan pakaian seragam sesuai dengan ketentuan menutup aurat.
5. Agar para kepala Dinas, instansi, kantor untuk meningkatkan penyelenggaraan kegiatan pembinaan keimanan dan ketakwaan di antaranya pembinaan baca al-Qur’an.[22]
Meskipun hal-hal yang disebut di atas sudah banyak diketahui dan dilaksanakan oleh anggota masyarakat, tapi greget Surat Edaran itu mempunyai makna tersendiri bagi masyarakat.
Dengan melihat geliat Syariat Islam di Indonesia, ada seberkas optimisme terlaksananya Syariat Islam di Indonesia. Mungkin kita tinggal menunggu saat yang tepat untuk membuat lompatan lebih jauh.
[5] M. Rosyid Rida, Tafsir Al-Mannar , (Beyrut: Darul Fikr, tt), Jld. VI, cet. Ke-2, h. 413
[6] Yusuf Qardhawi, Madkhal li Dirasati Al-Syariah Al-Islamiyah, (Kairo: Maktabah Wahbah, tt.), h. 7
[7]M. Rasyid Rida, loc. cit.
[8] Yusuf Qardawi, loc.cit.
[9] Manna’ Al-Qattan, Al-Tasyri’ wa Al-Fiqh fi Al-Islam, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1989), cet. Ke-3, h. 13-14
[10] Abu Zahrah, Ushul Al-Fiqh, (Beyrut: Darul Fikr, tt), h.6
[11] M. Rasyid Rida, ,Tafsir Al-Mannar, (Beyrut: Darul Fikr, tt), jdd IX, cet. Ke-2, h. 11
[12] Ibid.
[13] Abd. Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, ( Kairo: Darul Qalam, 1978), cet. Ke-2, h. 14
[14] Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), cet. Ke-2, h. 14
[15] Syafi’i Ma’arif, Menawarkan Substansi Islam, (Jakarta; Tasywirul Afkar, 2002), h. 105
[16] Habib Rizieq Shihab, Jika Syariat Islam, Jalan, Maka Jadi Negara Islam, (Jakarta; Tasywirul Afkar, 2002), h. 101-102
[17] M. Imdadun Rahmat, Jalan Alternatif Syariat Islam, (Jakarta; Tasywirul Afkar, 2002), h. 5
[18] Adian Husaini, Syariat Islam di Indonesia, Problem Masyarakat Muslim Kontemporer, (Jakarta: Taswirul Afkar, 2002), h. 57
[19] Peristiwa ini dapat dicermati dalam harian Kompas edisi Seratus Tahun Bung Hatta, tahun 2002.
[20] Majalah Syi’ar, Edisi September 2002, h. 5-11
[21] Lihat Kurniawan Zein, Syariat Islam Yes Syariat Islam No, (Jakarta: Paramadina, 2001) dan Zuhairi Misrawi, Dekonstruksi Syariat: Jalan menuju Desakralisasi, Reinterpretasi, dan Depolitisasi. (Jakarta, Tasysirul Afkar, 2002), h. 7
[22] Ketentuan Surat Edaran ini dapat dilihat dalam tulisan Anom SP, Gempa Tektonik Syariat Islam di Daerah, (Jakarta; Tasywirul Afkar, 2002), h. 88-89
Tidak ada komentar:
Posting Komentar