Selasa, 05 Mei 2009

PERBEDAAN LATAR BELAKANG PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENGHASILAN SEBAGAI FAKTOR KESADARAN BERWAKAF TUNAI

ABSTRAK

Penelitian ini akan mengukur perbedaan latar belakang pendidikan dan tingkat penghasilan sebagai faktor kesadaran berwakaf tunai. Ketiga variabel tersebut akan diuji melalui dua tahap: yakni analisis deskriptif (mean dan simpang baku) dan uji hipotesis (analisis varian dua-jalur). Sampel yang digunakan sebanyak 60 orang yang terdiri dari 30 orang berlatarbelakang pendidikan agama dan 30 orang berlatar belakang pendidikan umum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata skor kesadaran berwakaf tunai responden secara keseluruhan adalah 6,80. Adapun simpang baku seluruh responden adalah 1,31. Selanjutnya, rata-rata bagi kelompok berlatar belakang pendidikan agama adalah 6,57 dan simpang bakunya 1,38 sedangkan rata-rata bagi kelompok berlatar belakang pendidikan umum adalah 7,03 dan simpang bakunya 1,22. Kemudian, rata-rata bagi mereka yang berpenghasilan tinggi adalah 7,73 dan simpang bakunya 1,05 sedangkan rata-rata bagi mereka yang berpenghasilan rendah adalah 5,87 dan simpang bakunya 0,78. Setelah dilakukan uji hipotesis dengan anava faktorial, hasilnya adalah bahwa latar belakang pendidikan tidak berpengaruh terhadap kesadaran berwakaf tunai sedangkan tingkat penghasilan berpengaruh terhadap kesadaran berwakaf tunai. Tidak ada pengaruh interaksi antara latarbelakang pendidikan dengan tingkat penghasilan terhadap kesadaran berwakaf tunai.

A. PENDAHULUAN

Wakaf merupakan institusi pemberdayaan ekonomi umat Islam yang cukup vital. Ia perlu dikembangkan dengan cara yang lebih baik lagi dengan tetap berpegang pada rambu-rambu syariah demi memaksimalkan manfaatnya kepada umat Islam khususnya dan manusia seluruhnya. Wakaf secara istilah oleh para fuqaha diartikan sebagai bentuk penahanan harta yang memiliki manfaat untuk diberikan kepada jalan kebaikan. Namun ada juga yang mengartikan wakaf dengan arti amanah, mungkin pengguna istilah ini lebih menekankan aspek wakaf sebagai satu harta amanah. Sehingga dapat disimpulkan, wakaf ialah penahanan harta sehingga tidak bisa diwarisi, dijual, atau dihibahkan, yang dimanfaatkan diperuntukan bagi kepentingan umum dan mendermakan hasilnya kepada penerima wakaf atas dasar amanah.

Wakaf menjadi instrumen pemberdayaan ekonomi yang unik dan khas yang tidak dimiliki oleh sistem ekonomi lain. Masyarakat non muslim boleh saja memiliki konsep filantropi, namun konsep ini cenderung seperti hibah atau infak, konsep ini berbeda dengan wakaf. Kekhasan wakaf juga dapat terlihat bila dibandingkan dengan instrumen zakat. Zakat lebih ditujukan untuk penjaminan pemenuhan kebutuhan dan peningkatan kesejahteraan para mustahiq. Wakaf sendiri merupakan instrumen pemberdayaan ekonomi dalam Islam yang mendasarkan fungsinya pada unsur kebajikan, kebaikan, dan persaudaraan. Ciri utama yang sangat membedakan adalah ketika wakaf ditunaikan akan terjadi pergeseran kepemilikan individu menjadi kepemilikan umum (masyarakat muslim). Diharapkan dengan wakaf akan terjadi proses distribusi manfaat bagi masyarakat secara lebih luas, menggeser private benefit menuju social benefit. Sampai dengan tahun 2004, tanah wakaf masyarakat muslim tanah air mencapai 1.538,19 KM2 (Karim: 2006), jauh melebihi luas wilayah Negara Singapura. Tanah wakaf ini sebagian besar digunakan untuk untuk fasilitas ibadah dan pendidikan, masih belum terlihat pemanfaatan yang lebih optimal secara multifungsi, khususnya pemanfaatan yang lebih memiliki nilai pemberdayaan ekonomi.

Setelah Disahkannya Undang-Undang No 41 tahun 2004 tentang Wakaf, masyarakat Islam Indonesia mempunyai kebebasan untuk berwakaf dalam bentuk yang lebih variatif. Mereka tidak hanya memberikan hartanya dalam bentuk tanah yang harganya terbilang mahal, namun mereka juga dapat berwakaf dalam bentuk uang tunai (cash wakaf) yang jumlahnya tidak memiliki batas, baik minimal maupun maksimal. Sehingga dengan demikian, mereka memiliki peluang besar untuk ikut serta dalam menyejahterakan bangsa melalui wakaf tunai.

Untuk mengetahui kesadaran masyarakat tentang wakaf tunai, perlu kiranya dilakukan penelitian yang melibatkan latar belakang dan tingkat penghasilan seseorang sebagai faktor pemdorongnya. Sebenarnya, banyak faktor yang dapat menyebabkan seseorang memiliki kesadaran untuk berwakaf tunai, seperti organisasi sosial, motivasi individu, dan kebijakan pemerintah. Namun, penelitian ini hanya mengukur latar belakang pendidikan dan tingkat penghasilan sebagai faktor dominan dalam kesadaran seseorang untuk berwakaf tunai. Populasi yang akan diukur adalah sejumlah karyawan yang berlatarbelakang pendidikan S1 baik agama maupun umum yang berdomisili di kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. Dengan mengetahui signifikasi kedua faktor tersebut, maka hasil penelitian ini dapat digunakan untuk bahan evaluasi bagi pemegang kebijakan, baik formal maupun non-formal, dalam meningkatkan semangat berwakaf tunai di kalangan masyarakat.

B. KONSTELASI DAN HIPOTESIS PENELITIAN

1. Konstelasi Penelitian

Kerangka teoritis yang dibangun dalam penelitian ini adalah bahwa latar belakang pendidikan seseorang dapat memberikan kontribusi dalam tindakan seseorang, termasuk dalam berwakaf tunai. Begitu pula, tingkat penghasilan dapat menjadi faktor penyebab munculnya kesadaran berwakaf tunai. Kerangka berpikir tersebut dapat digambarkan dalam konstelasi penelitian berikut ini.

Tabel 1. Konstelasi Penelitian

TINGKAT PENGHASILAN

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

TOTAL B

AGAMA (A1)

UMUM(A2)

TINGGI (B1)

A1B1

A2B1

B1

RENDAH (B2)

A1B2

A2B2

B2

TOTAL A

A1

A2

Tabel di atas menjelaskan bahwa secara keseluruhan, karyawan yang berlatarbelakang agama memiliki kesadaran berwakaf tunai lebih tinggi dibanding karyawan yang berlatar belakang pendidikan umum. Hal ini bisa jadi karena konsep tentang wakaf tunai lebih banyak dipahami oleh mereka yang memiliki wawasan keagamaan yang luas. Selain itu, tabel di atas juga menjelaskan bahwa karyawan yang berpenghasilan tinggi, khususnya bagi mereka yang berlatar belakang pendidikan agama, cenderung memiliki kesadaran berwakaf tunai lebih besar daripada mereka yang berpenghasilan rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh kesempatan berwakaf tunai yang dimiliki mereka yang berpenghasilan tinggi lebih besar daripada mereka yang berpenghasilan rendah. Namun, bagi karyawan yang berlatarbelakang umum baik yang berpenghasilan tinggi atau rendah memiliki kesadaran berwakaf tunai yang relatif sama. Hal ini bisa disebabkan oleh tidak tahunya mereka tentang konsep wakaf secara detail sehingga keinginan mereka untuk berwakaf tunai tidak terlalu tinggi.

2. Hipotesis

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini ada tiga poin, yakni:

a. Karyawan dengan latarbelakang pendidikan agama memiliki kesadaran berwakaf tunai berbeda dari mereka yang berlatarbelakang pendidikan umum.

b. Karyawan dengan penghasilan tinggi memiliki kesadaran berwakaf tunai berbeda dari mereka yang berpenghasilan rendah.

c. Terdapat pengaruh interaksi antara latarbelakang pendidikan dengan tingkat penghasilan terhadap kesadaran berwakaf tunai.

Ketiga hipotesis di atas akan diuji dengan analisis varian (anava) faktorial.

C. TINJAUAN PUSTAKA

Latar belakang pendidikan adalah merupakan salah satu faktor penentu sikap seseorang. Perbuatan seseorang memiliki korelasi positif dengan informasi yang mereka peroleh, khususnya dalam jenjang pendidikan formal. Seorang dosen, misalnya, dalam proses mentranfer ilmunya dapat dipastikan akan menggunakan informasi yang ia peroleh sewaktu belajar di bangku kuliah. Begitu pula seseorang yang senang menolong, ia sebelumnya pasti mendapatkan informasi bahwa menolong orang lain merupakan salah bentuk kebaikan. Oleh sebab itu dalam penelitian ini, latar belakang pendidikan dinilai mempunyai hubungan yang erat dengan kesadaran berwakaf tunai.

Contoh lain, seseorang dalam melakukan pekerjaannya sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tingkat pendidikan formal, pendidikan dalam jabatan, usia, dan masa jabatan. Penelitian Mandolang (1991:62) menunjukkan bahwa seorang penilik sebagai tenaga profesional di bidang pendidikan nonformal harus memiliki keahlian, kemampuan dan keterampilan yang memadai agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan berhasil. Hal ini dapat diperoleh melalui pendidikan, baik pendidikan formal, maupun pendidikan dalam jabatan.

Dengan demikian, latar belakang pendidikan seseorang memiliki hubungan yang erat dengan apa yang ia pikirkan dan kerjakan. Semakin baik pendidikan seseorang, semakin baik pula ia melakukan pekerjaannya. Juga, semakin baik pendidikan seseorang, semakin sadar pula ia melakukan suatu pekerjaan dengan sempurna.

Dalam hal tingkat penghasilan, terdapat beberapa pendapat tentang definisi dan ruang lingkupnya. Menurut Suherman Rosyidi (2004:100), penghasilan dan pendapat dapat dibedakan, yakni bahwa penghasilan bisa lebih besar dari pendapatan. Seseorang dianggap memiliki penghasilan jika telah melakukan aktifitas yang menghasilkan, dengan aktifitas produktif itu menunjukkan adanya kinerja. Pendapat lain diungkapkan oleh Fahrudin (1982: 75) bahwa penghasilan adalah taraf penghasilan dari suatu keluarga di masyarakat yang berhubungan dengan aktifitas dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Selain itu, Winardi (1996: 13) berpendapat bahwa penghasilan adalah hasil berupa uang atau hasil material lainnya yang dicapai dari penggunaan kekayaan atau jasa-jasa manusia bebas.

Memperhatikan beberapa definisi di atas, penghasilan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seluruh uang yang diterima dalam satu bulannya. Pendapatan tersebut dapat berupa gaji (upah) dan tunjangan dari hasil kerja sebagai pegawai atau penerimaan dari usaha yang dilakukan yang disebut penghasilan murni. Selain itu, penghasilan dapat berupa honor, bonus, pendapatan sewa, bunga, deviden, dan atau penghasilan lain yang dapat menambah perekonomian seseorang, misalnya mubalig, tukang ojek, dan makelar yang disebut penghasilan tambahan.

Hal lain yang dibahas dalam penelitian ini adalah masalah kesadaran. Kesadaran merupakan suatu yang dimiliki oleh manusia dan tidak ada pada ciptaan Tuhan yang lain. Kesadaran yang dimiliki oleh manusia merupakan bentuk unik dimana ia dapat menempatkan diri manusia sesuai dengan yang diyakininya (Velmans and Schneider: 2006) Refleksi merupakan bentuk dari pengungkapan kesadaran, dimana ia dapat memberikan atau bertahan dalam situasi dan kondisi tertentu dalam lingkungan. Setiap teori yang dihasilkan oleh seorang merupakan refleksi tentang realitas. Manusia dalam melahirkan cinta untuk semua merupakan jawaban untuk eksistensi manusia yang membutuhkan rasa sayang dari yang lain. Begitu pula, tentang kesadaran merupakan sangat berkaitan dengan manusia bahkan yang membedakan manusia dengan binatang (Baars: 1997).

Kesadaran merupakan unsur dalam manusia dalam memahami realitas dan bagaimana cara bertindak atau menyikapi terhadap realitas. Manusia dengan dikaruniai akal budi merupakan mahluk hidup yang sadar dengan dirinya. Kesadaran yang dimiliki oleh manusia kesadaran dalam diri, akan diri sesama, masa silam, dan kemungkinan masa depannya. Manusia memiliki kesadaran akan dirinya sebagai entitas yang terpisah serta memiliki kesadaran akan jangka hidup yang pendek, akan fakta ia dilahirkan di luar kemauannya dan akan mati di luar keinginannya. Kesadaran manusia memiliki berbagai bentuk, misalnya, bahwa ia akan mati mendahului orang-orang yang disayanginya, atau sebaliknya bahwa yang ia cintai akan mendahuluinya, kesadaran akan kesendirian, keterpisahan, akan kelemahan dalam menghadapi kekuatan alam dan masyarakat. Semuanya kenyataan itu membuat keterpisahan manusia, eksistensi tak bersatunya sebagai penjara yang tak terperikan. Kesadaran manusia juga bisa berupa refleksi dari pengetahuannya tentang sesuatu sehingga ia melakukannya dalam sebuah perbuatan nyata. (Blackmore: 2003)

Adapun kesadaran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kesadaran seseorang untuk berwakaf tunai. Maksudnya adalah bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang wakaf dan mampu merefleksikannya dalam bentuk melaksanakan wakaf tunai dalam kehidupan sehari-hari.

D. METODE PENELITIAN

1. Populasi dan Sampel

Penelitian ini dilakukan di sebuah kecamatan yang memiliki jumlah sarjana agama dan sarjana umum cukup banyak dengan pekerjaan yang cukup variatif. Lokasi yang dimaksud adalah kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. Kecamatan ini dipilih sebagai populasi penelitian karena merupakan salah satu kecamatan di Kota Malang yang memiliki beberapa lembaga pendidikan dan kawasan indutri. Banyak sarjana memilih tempat ini sebagai lokasi tempat tinggal karena mereka lebih cepat terserap oleh dunia kerja. Dengan demikian, pengambilan sampel akan lebih mudah dan berimbang.

Adapun sampel yang diambil sebagai subyek penelitian adalah sebanyak 60 (enam puluh) orang penduduk yang telah memiliki pekerjaan tetap. Penelitian ini tidak memperhatikan jenis pekerjaan yang responden geluti namun penghasilan yang mereka terima. Komposisi sampel adalah 30 orang berlatar belakang S1 Agama dan 30 orang berlatar belakang S1 Umum. Diambilnya populasi berpredikat sarjana karena mereka dianggap lebih dewasa dan memiliki wawasan yang luas. Selain itu, seseorang yang berpendidikan tinggi lebih memungkinkan untuk segera mendapatkan pekerjaan yang tepat dibanding mereka yang berpendidikan rendah. Hal ini tentu akan mempengaruhi penghasilan yang mereka terima setiap bulannya.

2. Variabel

Penelitian ini menggunakan tiga variabel yang terdiri dari dua variabel bebas (independen) dan satu variabel tergantung (dependen). Dua variabel bebas yang dimaksud adalah latar belakang pendidikan dan tingkat penghasilan. Adapun variabel tergantungnya adalah kesadaran berwakaf tunai. Karena penelitian ini menggunakan anava faktorial, maka penelitian ini menggunakan dua faktor, yakni Faktor A yang merupakan latarbelakang pendidikan (agama dan umum) dan Faktor B yang merupakan tingkat penghasilan (tinggi dan rendah). Kesadaran berwakaf tunai sebagai variabel tergantung dilambangkan dengan Y.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan angket sebagai instrumen pengumpul datanya. Angket berisi pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban tertutup yang terbentang dalam lima kategori (Skala Likert). Jumlah pertanyaan untuk latar belakang pendidikan terdiri dari 5 (lima) butir, untuk tingkat penghasilan 10 (sepuluh) butir dan untuk kesadaran berwakaf tunai sebanyak 20 (duapuluh) butir. Hasil jawaban dari responden akan diolah secara cermat sehingga kategori yang diinginkan dalam penelitian ini, seperti penghasilan tinggi dan rendah, dapat tercapai.

4. Teknik Analisis Data

Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif, yakni rata-rata (mean) dan simpang baku, serta uji hipotesis melalui analisis varian dua-jalur (anava faktorial). Dengan demikian, hasil penelitian akan mampu menggambarkan hubungan ketiga variabel yang dipilih secara tepat.

E. HASIL PENELITIAN DAN DISKUSI

Kesempatan umat Islam untuk melakukan wakaf tunai saat ini terbuka lebar. Mereka dapat melakukannya melalui berbagai sarana yang telah tersedia, misalnya institusi amil zakat nasional, bank syariah, atau lembaga pengelolaan wakaf tunai profesional. Namun, kesempatan tersebut tidak dapat terwujud jika umat Islam tidak memiliki kesadaran untuk berwakaf tunai. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi seseorang melakukan wakaf tunai, antara lain latar belakang pendidikan dan tingkat penghasilan. Penelitian ini berusaha mengungkap pengaruh latar belakang pendidikan dan tingkat penghasilan terhadap kesadaran berwakaf tunai.

Setelah penelitian dilakukan, hasil yang ditemukan adalah:

1. Latar Belakang Pendidikan

Latar belakang pendidikan responden cukup variatif. Ada yang berasal dari fakultas Tarbiyah, Syariah, Dakwah, Teknik Sipil, Ekonomi, Psikologi, dan Bahasa. Bagi mereka yang lulusan Tarbiyah, Syariah dan Dakwah dikelompokkan dalam kategori berlatarbelakang pendidikan agama sedangkan mereka yang lulusan dari teknik Sipil, Ekonomi, Psikologi, dan Bahasa dikelompokkan ke dalam kategori berlatar belakang pendidikan umum. Mereka lulus pada tahun yang berbeda pula dalam rentang waktu 10 tahun. Namun, dalam penelitian ini, tahun lulus tidak menjadi pertimbangan.

2. Tingkat Penghasilan

Tingkat penghasilan responden juga cukup beragam. Penghasilan paling rendah dalam penelitian ini adalah Rp. 500.000 dan penghasilan paling tinggi adalah Rp. 3.000.000. Melihat rentang yang cukup lebar ini, penelitian menentukan bahwa mereka yang berpenghasilan antara Rp. 500.000-1.000.000 adalah termasuk berpenghasilan rendah sedangkan mereka yang berpenghasilan tinggi adalah mereka yang memiliki penghasilan bulanan sebesar lebih dari Rp. 1.000.000. Ditetapkannya Rp. 1.000.000 sebagai batas penghasilan tinggi dan rendah didasarkan pada asumsi upah minimum regional yang berlaku di kota Malang pada tahun 2008, yakni Rp. 950.000.

3. Kesadaran Berwakaf Tunai

Kesadaran berwakaf tunai merupakan dorongan seseorang untuk melakukan wakaf tunai. Dalam penelitian ini, kesadaran berwakaf tunai diukur dengan menggunakan 20 (duapuluh) butir pertanyaan yang isinya antara lain mengenai pemahaman mereka tentang wakaf tunai hingga pelaksanaan berwakaf tunai. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesadaran responden tentang wakaf tunai terbentang dari angka 4 hingga 9. Angka tersebut diperoleh dari pengolahan angket. Pedoman penilaiannya adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Pedoman Penilaian Angket Kesadaran Berwakaf Tunai

NO

HASIL PERHITUNGAN ANGKET

NILAI Y

1

1-10

1

2

11-20

2

3

21-30

3

4

31-40

4

5

41-50

5

6

51-60

6

7

61-70

7

8

71-80

8

9

81-90

9

10

91-100

10

Contohnya, A mendapat nilai 78, maka berdasarkan pedoman di atas, A akan diberi nilai 8. B mendapat nilai 35, maka ia diberi nilai 4. Dengan menggunakan tabel di atas, data akan mudah diolah dan dianalisis, baik untuk perhitungan dalam simpang baku maupun anava faktorial.

4. Analisis Mean dan Simpang Baku

Setelah dilakukan sejumlah tahap penelitian, maka sampailah pada bagian paling inti dalam penelitian, yakni analisis. Analisis pertama dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif yang menggunakan ukuran rata-rata (mean) dan simpang baku. Hasil analisis deskriptif adalah bahwa rata-rata skor kesadaran berwakaf tunai responden secara keseluruhan adalah 6,80. Adapun simpang baku seluruh responden adalah 1,31.

Rata rata bagi kelompok berlatar belakang agama dan berpenghasilan tinggi adalah 7,53 dengan simpang baku 1,13. Rata-rata bagi kelompok berlatar belakang agama dan berpenghasilan rendah adalah 5,60 dengan simpang baku 0,83. Rata-rata bagi kelompok berlatar belakang umum dan berpenghasilan tinggi adalah 7,93 sedangkan simpang bakunya 1,96. Rata-rata bagi kelompok berlatar belakang umum dan berpenghasilan rendah adalah 6,13 sedangkan simpang bakunya 0,64.

Adapun rata-rata bagi kelompok berlatar belakang agama adalah 6,57 dengan simpang baku 1,38. Sedangkan rata-rata bagi kelompok berlatar belakang umum adalah 7,03 dengan simpang baku 1,22. Rata-rata bagi mereka yang berpenghasilan tinggi adalah 7,73 sedangkan simpang bakunya 1,05. Rata-rata bagi mereka yang berpenghasilan rendah adalah 5,87 sedangkan simpang bakunya 0,78.

Dari data tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa mereka yang berlatar belakang pendidikan umum (7,03) ternyata memiliki kesadaran yang lebih tinggi daripada mereka yang berlatarbelakang pendidikan agama (6,57). Dengan demikian, latar belakang pendidikan agama tidak secara otomatis membuat seseorang memiliki kesadaran berwakaf tunai lebih baik. Kemudian, kesimpulan lain yang dapat diambil adalah bahwa mereka yang berpenghasilan tinggi memiliki kesadaran berwakaf tunai lebih tinggi (7,73) daripada mereka yang berpenghasilan rendah (5,87). Dengan demikian, penghasilan dapat memberikan kesepakatan seseorang untuk memiliki kesadaran berwakaf tunai lebih besar.

Secara singkat hasil analisis mean dan simpang baku dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 3. Mean dan Simpang Baku

TINGKAT PENGHASILAN (B)

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN (A)

TOTAL B

AGAMA (A1)

UMUM (A2)

TINGGI (B1)

N11 = 15

Y11 = 7,53

S11 = 1,13

N21 = 15

Y21 = 7,93

S 21 = 0,96

N.1 = 30

Y.1 = 7,73

S.1 = 1,05

RENDAH (B2)

N12 = 15

Y12 = 5,60

S12 = 0,83

N22 = 15

Y22 = 6,13

S22 = 0,64

N.2 = 30

Y.2 = 5,87

S.2 = 0,78

TOTAL A

N1. = 30

Y1. = 6,57

S1. = 1,38

N2. = 30

Y2. = 7,03

S2. = 1,22

N.. = 60

Y.. = 6,80

S.. = 1,31

5. Analisis Varian Faktorial

Setelah melalui analisis deskriptif di atas, data hasil penelitian dianalisis untuk uji hipotesis dengan menggunakan analisis varian faktorial. Adapun ringkasan Hasil Analisis Varian adalah sebagai berikut.

Tabel 4. Ringkasan Hasil Analisis Varian Faktorial

SUMBER

JUMLAH

KUADRAT

D.K.

RATA-RATA

KUADRAT

F

SIG.

LATAR PENDIDIKAN

0,050

1

0,050

0,095

TIDAK

SIGNIFIKAN

TINGKAT PENGHASILAN

14,450

1

14,450

27,524

SIGNIFIKAN

A*B

0,050

1

0,050

0,095

TIDAK

SIGNIFIKAN

DALAM KELOMPOK

8,400

16

0,525

Dari analisis varian dua jalur di atas dapat dilihat bahwa latar belakang pendidikan ternyata tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kesadaran berwakaf tunai. Hal ini terbukti bahwa responden yang berlatarbelakang pendidikan agama memiliki kesadaran yang tidak jauh berbeda dengan mereka yang berlatar belakang pendidikan umum (F=0,095). Hasil ini bertentangan dengan temuan Mandolang bahwa pendidikan yang memberikan pengetahuan teknis berpengaruh terhadap aktifitas seseorang.

Namun, hal yang berbeda ditunjukkan oleh faktor tingkat penghasilan. Ternyata, tingkat penghasilan memiliki hubungan yang signifikan dengan kesadaran berwakaf tunai (F=27,524). Artinya, mereka yang memiliki kelebihan harta dapat langsung memberikan sebagian hartanya untuk kepentingan sosial, semisal wakaf. Dengan demikian, bagi mereka yang berlatar belakang agama, namun penghasilannya rendah, kecil kemungkinannya mereka memiliki kesadaran berwakaf tunai. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya harta yang dapat mereka keluarkan untuk wakaf tunai.

Berikutnya, tabel di atas menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh interaksi antara latar belakang pendidikan dan tingkat penghasilan (F=0,095). Artinya, bahwa pendidikan agama yang tinggi tidak selalu berdampak pada penghasilan yang tinggi pula, demikian pula pendidikan umum tidak selalu berdampak pada tinggi rendahnya penghasilan. Dengan demikian, tidak ada korelasi antara latar belakang pendidikan dengan tingkat penghasilan. Masing-masing memiliki hubungan sendiri-sendiri kepada kesadaran berwakaf tunai.

B. KESIMPULAN DAN SARAN

Penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut.

1. Latar belakang pendidikan tidak berpengaruh terhadap kesadaran berwakaf tunai.

2. Tingkat penghasilan berpengaruh terhadap kesadaran berwakaf tunai.

3. Tidak ada pengaruh interaksi antara latarbelakang pendidikan dengan tingkat penghasilan terhadap kesadaran berwakaf tunai.

Dengan demikian, hipotesis pertama dan ketiga tidak terbukti sedangkan hipotesis kedua terbukti. Tidak terbuktinya hipotesis pertama bisa memunculkan faktor dominan lain yang dapat mempengaruhi kesadaran berwakaf tunai seseorang. Adapun tidak terbuktinya hipotesis ketiga menyebabkan penelitian ini tidak menggunakan uji Scheffé yang tujuannya mengukur interaksi antar kelompok.

Ada beberapa saran yang dapat disampaikan dengan berakhirnya penelitian ini.

1. Bagi pemegang kebijakan, hendaknya memperhatikan tingkat penghasilan lebih besar dari pada latar belakang pendidikan dalam menjaring para donatur wakaf (wakif).

2. Untuk penelitian selanjutnya, tidak terbuktinya latar belakang pendidikan sebagai faktor kesadaran berwakaf bisa jadi disebabkan oleh faktor lain, misalnya kekurangcermatan dalam pembuatan angket. Selain itu, peneliti selanjutnya perlu menggunakan variabel lain sebagai faktor kesadaran berwakaf tunai.

Akhirnya, Alhamdulillah, dengan berakhirnya laporan penelitian ini, penulis berharap adanya saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan penelitian lain di masa mendatang. Wa Allah A’lam bi as-Shawab.


DAFTAR PUSTAKA

Baars, B., 1997, In the Theater of Consciousness: The Workspace of the Mind, New York: Oxford University Press.

Blackmore, S., 2003, Consciousness: an Introduction, Oxford: Oxford University Press.

Fahrudin, Fuad Muhammad, Ekonomi Islam, Jakarta: Mutiara, 1982.

Karim, Muchit A., (et.al.), 2006, Pengelolaan Wakaf dan pemberdayaannya di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Departemen Agama.

Rosyidi, Suherman, 2004, Pengantar Teori Ekonomi Pendekatan kepada Teori Ekonomi Makro dan Mikro, Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Winardi, 1971, Organisasi Perkantoran Modern, Bandung: Alumni.

Velmans, M. and Schneider, S., 2006, The Blackwell Companion to Consciousness, New York: Blackwell.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction