Rabu, 06 Mei 2009

OBYEK WAKAF DALAM PERSPEKTIF FIKIH

Sebelum pemaparan seputar obyek wakaf, ada baiknya pada awal pembahasan ini sedikit diuraikan tentang definisi wakaf. Wakaf secara bahasa berasal dari kata waqafa-yaqifu yang artinya berhenti, lawan dari kata istamarra (Warson, 1984: 1683). Kata ini sering disamakan dengan al-tahbis atau al-tasbil yang bermakna al-habs ‘an tasharruf, yakni mencegah dari mengelola (az-Zuhayli, t.th.: 7599).

Adapun secara istilah, wakaf menurut Abu Hanifah adalah menahan harta di bawah naungan pemiliknya disertai pemberian manfaat sebagai sedekah (habsul aini ala milki al-waqif wa tashadduq bi al-mafa’ah) (al-Hasfaki, t.th./IV: 532). Adapun menurut Jumhur, wakaf adalah menahan harta yang memungkinkan untuk mengambil manfaat dengan tetapnya harta tersebut serta memutus pengelolaan dari wakif dan selainnya dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah (habs mal yumkinu al-intifa’ bihi, ma’a baqa’ ‘ainihi, bi qath’i at-tasharruf min al-waqif wa ghairihi, taqarruban ila allah) (az-Zuhayli, t.th.: 7601). Namun, menurut al-Kabisi, definisi yang lebih singkat namun padat (jami’ mani’) adalah definisi Ibnu Qudamah (t.th./VI: 187) yang mengadopsi langsung dari potongan hadis Rasulullah, yang berbunyi ‘menahan asal dan mengalirkan hasilnya’ (in syi’ta habasta wa tashaddaq biha) (al-Kabisi, 2004: 61). Hadis tersebut secara jelas dimuat antara lain dalam sunan at-Turmudzi (t.th./V: 388) dan Sunan Ibn Majah (t.th./VII: 325).

Selanjutnya, rukun merupakan hal yang harus ada dalam setiap ibadah. Jika salah satu rukun tidak terpenuhi, maka ibadah tersebut dianggap tidak sah (batal). Dalam hal wakaf, rukun-rukun wakaf menurut jumhur (az-Zuhayli, t.th.: 7606) ada empat hal sebagaimana dikutip di atas, salah satunya adalah mauquf atau obyek wakaf.[1] Obyek wakaf dalam pandangan an-Nawawi didefinisikan sebagai setiap harta tertentu yang dimiliki dan memungkinkan untuk dipindahkan dan diambil manfaatnya (t.th./II: 253). Al-Khatib dalam kitab al-Iqna’ mengartikan mauquf sebagai barang tertentu yang dapat diambil manfaatnya dengan tidak melenyapkan barang tersebut dan merupakan hak milik dari wakif (t.th./II: 73). Dengan demikian, obyek wakaf meliputi beberapa syarat sehingga layak menjadi barang yang diwakafkan.

Setidaknya, ada lima syarat yang harus dimiliki benda tersebut, seperti dilansir oleh al-Kabisi (2004: 247). Kelima syarat tersebut adalah bahwa harta wakaf memiliki nilai (ada harganya), harta wakaf jelas bentuknya, harta wakaf merupakan hak milik dari wakif (berupa benda yang tidak bergerak, seperti tanah atau benda yang disesuaikan dengan kebiasaan wakaf yang ada), dan harta wakaf harus terpisah. Berikut ini penjabaran dari syarat-syarat tersebut.

1. Harta Wakaf Memiliki Nilai (Harga)

Harta yang memiliki nilai adalah harta yang dimiliki oleh orang dan dapat digunakan secara hukum (sah) dalam keadaan normal ataupun khusus, seperti tanah, uang, dan buku. Dengan demikian, harta yang tidak dimiliki manusia tidak dapat dikatakan harta yang bernilai, seperti kawanan burung yang terbang di angkasa dan aneka ikan yang berenang di lautan bebas. Begitu pula, harta yang tidak diperkenankan bagi manusia untuk memanfaatkannya, seperti minuman keras dan babi termasuk bukan barang yang bernilai utuk diwakafkan (al-Kabisi, 2004: 248).

Sedangkan harta yang tidak ada nilainya adalah harta yang tidak dapat dimanfaatkan, baik dalam keadaan normal atau tertentu, dan tidak ada dalam pemilikan seseorang. Jadi, harta atau benda yang boleh diwakafkan adalah benda yang boleh diperjualbelikan serta dapat dimanfaatkan dan statusnya halal.

Secara singkat, harta yang dianggap bernilai ada dua macam:

a. Bernilai secara etimologi, yaitu harta yang memiliki nilai yang dapat dijamin pengembaliannya jika terjadi kerusakan. Hal inilah yang menyebabkan harta itu dilindungi oleh Allah swt. Artinya, dalam praktiknya, harta bisa bernilai jika harta itu dimiliki oleh seseorang dan dapat dimanfaatkan dalam kondisi bagaimanapun. Oleh karenanya, tidak boleh mewakafkan anjing yang tidak terdidik, juga segala jenis patung sesembahan serta babi.

b. Harta itu bisa digunakan dalam jual beli, pinjam-meminjam serta bisa digunakan sebagai hadiah. Jadi, tidak sah mewakafkan ummul walad (budak wanita yang melahirkan anak tuannya) karena dianggap telah menjadi garis keturunan anak tuannya (al-Siwasi, t.th.: XIV: 65). Lotre dan minuman keras juga dilarang untuk diwakafkan karena termasuk barang haram. Untuk itu, yang menjadi obyek dari wakaf adalah harta yang memiliki harga atau nilai, baik berupa harta yang tidak bergerak atau harta yang bergerak serta dapat dimanfaatkan. Untuk yang terakhir ini (kemanfaatan) ad-Dardiri (t.th./VI: 191) dalam asy-Syarh al-Kabir mengategorikan azas manfaat sebagai harta yang bernilai.

Terkait dengan masalah anjing terdidik, di kalangan ulama Syafi’iyyah terdapat perbedaan pendapat dalam memahami hal tersebut. Sebagian mereka berpendapat bahwa tidak boleh mewakafkan anjing itu (an-Nawawi, t.th./II: 254), karena mewakafkannya berarti memilikinya padahal anjing pada dasarnya tidak boleh dimiliki dengan alasan termasuk binatang haram dimakan. Juga, ada yang berpendapat bahwa anjing itu boleh saja diwakafkan sebab maksud mewakafkannya adalah memanfaatkan sehingga selama anjing itu dapat dimanfaatkan, maka mewakafkannya dibolehkan (Abu Ishaq, t.th./II: 322).

2. Harta Wakaf Harus Jelas (diketahui)

Para pakar fikih mensyaratkan harta wakaf harus diketahui secara pasti dan tidak mengandung sengketa hak milik. Oleh karena itu, meskipun wakif mengatakan, “aku mewakafkan sebagian dari hartaku,” namun ia tidak menunjukkan hartanya tertentu, maka batal wakafnya. Demikian juga ketika wakif berkata, “Aku wakafkan salah satu dari dua rumahku,” namun tidak ditentukan rumah yang mana, maka batal wakafnya (al-Kabisi, 2004: 249). Akan tetapi, jika wakif berkata, “aku wakafkan seluruh dari harta dan rumahku,” meskipun dia tidak menentukan kadar jumlahnya, wakaf tetap sah karena ia mewakafkan seluruh hartanya. Hal ini tidak menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama (al-Kabisi, 2004: 250). Menguatkan hal ini, Ibn Hajar al-Asqalani (t.th./VIII: 344) mengutip pendapat al-Ghazali dalam fatwanya yang berbunyi, “barangsiapa yang berkata: bersaksilah kalian, bahwa seluruh harta milikku telah diwakafkan untuk ini, sembari menyebut lembaga yang menyalurkannya, serta tidak memberi batas apapun dari jumlah harta yang dimilikinya, maka segenap harta yang dimilikinya telah menjadi harta wakaf dan ketidaktahuan para saksi terhadap batasan dan kadar harta tidaklah penting.”

Selanjutnya, apabila seseorang berkata, “aku wakafkan rumahku atau tanahku yang berada di sana,” dengan catatan bahwa hartanya sudah dikenal lokasinya, diketahui secara pasti, dan tidak tercampur dengan harta orang lain, maka wakafnya sah tanpa harus menyebut batasan-batasan tertentu. Begitu pula jika seseorang ingin mewakafkan kudanya, maka ia harus menunjuk pada cici-ciri kuda tertentu yang dikehendaki secara jelas dan gamblang (Abu Ishaq, t.th./II: 322). Jadi, pada intinya, penyebutan harta dengan identitas khusus tanpa adanya percampuran sifat dan lokasi meskipun tidak dihadirkan secara langsung dapat diakui keabsahannya.

Jika harta tidak diketahui secara pasti sifat dan lokasinya, haruslah diberi batasan khusus agar kesaksian dari wakaf dapat dinyatakan sah. Apalagi pada masa sekarang yang mengharuskan adanya bukti otentik dalam setiap tindakan pengalihan kepemilikan, pernyataan wakaf dari seseorang haruslah diberi batasan secara jelas, misalnya tanah pada empat sisinya, tidak cukup hanya dengan telah diketahui dalam bayangan saja. Hal ini disebabkan karena berwakaf meniscayakan waktu yang lama dan/atau tidak terbatas. Bisa saja suatu saat akan muncul ketidakjelasan harta wakaf, meskipun statusnya masih wakaf. Oleh sebab itu, semua hal yang menjadi penguat dari wakaf haruslah mencakup segala sesuatu yang dibutuhkan dalam syarat sah wakaf, misalnya sertifikat hak milik (al-Kabisi, 2004: 251).

3. Harta Wakaf Merupakan Hak Milik Wakif

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha bahwa wakaf harus berasal dari harta milik pewakaf sendiri (hak milik). Hal ini dikarenakan wakaf adalah satu tindakan yang menyebabkan terbebasnya satu kepemilikan seseorang menjadi harta wakaf. Untuk itu, seorang pewakaf haruslah pemilik sah harta yang akan diwakafkan atau ia adalah orang yang berhak untuk melaksanakan tindakan wakaf terhadap suatu harta jika ia menjadi wakil pemilik harta wakaf atau pelaksana wasiat seseorang (al-Kabisi, 2004: 251).

Hanya saja, para fuqaha berbeda pendapat tentang keharusan terpenuhinya syarat ini pada waktu pelaksanaan wakaf. Antara lain:

a. Ulama Malikiyah mengatakan bahwa tidak harus harta tersebut milik dari pewakaf saat dia mewakafkannya. Berdasarkan hal ini, jika seseorang mengatakan telah memiliki rumah si A, dan menyatakan bahwa rumah itu akan menjadi wakaf, lalu orang tersebut memilikinya, maka sah wakafnya. Seperti halnya jika seseorang berkata bahwa apa yang sedang dibangun pada toko si B adalah wakaf, kemudian dibangunlah toko itu, maka sah wakafnya dan tidak perlu lagi membuat satu pernyataan wakaf (sighat) baru. Namun, jika pernyataannya bersifat umum, maka wakafnya tidak sah. Hal itu sama dengan pemaksaan terhadap seseorang yang memang dilarang oleh agama. Jadi, tidak sah jika seseorang mengatakan bahwa seluruh hartanya dalam bentuk bangunan atau lainnya dan setiap harta yang menjadi miliknya adalah harta wakaf (al-Kabisi, 2004: 252).

b. Pendapat jumhur mengatakan, agar wakaf itu sah, maka harta wakaf itu haruslah merupakan hak milik dari wakif saat mewakafkan hartanya dengan sebenar-benarnya. Jika tidak demikian, maka wakafnya batal.

Dari syarat ketiga ini, muncul beberapa permasalahan yang menurut hemat penulis perlu disampaikan dalam tulisan ini sebagaimana dijabarkan oleh al-Kabisi berikut ini.

a. Sesungguhnya jika harta hadiah diwakafkan sebelum dimiliki oleh penerima hadiah, maka wakafnya tidak sah. Sebab, harta itu belum menjadi milik orang yang diberi hadiah, kecuali jika dia telah memilikinya atau menerima dari pemberi hadiah. Jika dia mewakafkan hadiah yang belum diterimanya, sama saja dengan mewakafkan harta yang belum menjadi miliknya.

b. Sesungguhnya seseorang yang diberikan wasiat atas suatu tanah atau benda belum menjadi miliknya resmi dari harta itu, kecuali pemberi wasiat telah meninggal dunia. Harta wasiat belum dapat dimiliki oleh seseorang kecuali setelah si pemberi wasiat meninggal.

c. Jika seorang pembeli mewakafkan harta yang dibelinya berupa benda tidak bergerak, kemudian bahwa harta yang dibelinya itu bukanlah milik penjual, tetapi milik orang lain, kemudian terbukti bahwa benar harta itu milik orang lain, maka wakafnya tidak sah, karena harta yang diwakafkannya bukan murni miliknya.

d. Jika seseorang mewakafkan sebidang tanah yang telah dibelinya, kemudian tanah itu diambil oleh pemilik aslinya, maka wakaf tersebut tidak sah, karena terbukti bahwa tanah itu bukan berstatus milik pewakaf saat dia mewakafnya tanah itu.

e. Jika seseorang membeli tanah, sedangkan penjual memberi syarat, lalau pembeli mewakafkan tanah tersebut sebelum tempo masa yang diberikan oleh penjual maka wakafnya tidak sah, meski penjual telah menyetujuinya. Jika khiyar syarat itu milik penjual, berarti tanah yang dibeli itu tidak lepas dari milik penjual, maka tanah belum menjadi milik si pembeli saat dia ingin mewakafkannya.

f. Jika seseorang mewakafkan harta milik orang lain, tetapi dia mengakui itu miliknya, maka wakafnya tidak sah. Sedangkan jika dia mewakafkan harta itu dan menyatakan bahwa harta wakaf itu milik orang lain, dan si pemilik tanah menyetujuinya, maka wakafnya sah. Dalam kondisi ini, dia berstatus sebagai wakil dari pemilik harta dalam mewakafkan (al-Kabisi, 2004: 253).

Hal lain yang masih berhubungan dengan kepemilikan harta, perlu nampaknya disampaikan tenang jenis-jenis tanah dan kemungkinannya untuk diwakafnya. Az-Zuhayli menyebut setidaknya tiga jenis tanah yang statusnya seringkali menjadi masalah saat akan atau telah diwakafkan.

a. Tanah Iqtha’

Secara umum, tanah iqtha’ adalah tanah yang diserahkan pemerintah kepada sekelompok masyarakat untuk digunakan dan dimanfaatkan, tetapi status tanah masih dalam kekuasaan negara (az-Zuhayli, t.th.: 7613). Menurut hemat penulis, jenis tanah ini bisa dianalogikan dengan tanah bengkok yang diterima oleh para lurah kampung. Mereka mendapat tanah dari pemerintah untuk kesejahteraan hidupnya karena mereka tidak mendapatkan gaji secara rutin. Hanya saja, tanah bengkok ini tidak pernah menjadi harta milik pribadi yang memungkinkan untuk diwakafkan, padahal tanah iqtha’ masih mungkin diwakafkan. Hal ini disebabkan karena tanah iqtha’ terdiri atas dua macam:

1) Iqtha’ istighlal, yaitu tanah yang dikuasai langsung oleh negara

2) Iqtha tamlik, tanah yang dikelola atau dimanfaatkan oleh seseorang atau kelompok masyarakat.

Tanah iqtha’ jenis pertama tidak boleh diwakafkan karena status tanah masih dalam kekekuasaan negara, sehingga bukan milik pribadi. Kecuali, mereka yang membolehkan wakaf berdasarkan manfaat, seperti ulama Malikiyah, yang membolehkan wakaf dalam waktu terbatas (al-Kabisi, 2004: 256-7). Sedangkan wakaf iqtha’ tamlik hukumnya sah, karena wakif telah mewakafkan harta miliknya. Iqtha’ jenis kedua ini dapat dilaksanakan dengan dua cara, yaitu:

a) Dengan menghidupkan kembali tanah yang sudah mati. Jika sebuah negara menyerahkan tanah yang mati kepada sebagian masyarakatnya untuk dikelola dan dimanfaatkan, kemudian dilaksanakan oleh mereka, namun kemudian mereka mewakafkan tanah pemberian negara itu, maka wakaf mereka ini sah hukumnya karena ia telah mewakafkan apa yang telah dikuasainya.

b) Tanah itu pada dasarnya milik penguasa, yang diberikan kepada seseorang, untuk kemudian tanah itu murni menjadi milik orang tersebut. Jika orang tersebut mewakafkan tanah pemberiannya itu, maka sah wakafnya karena hal itu sama saja dengan mewakafkan harta yang dimilikinya (al-Kabisi, 2004: 257).

Dengan demikian, tanah iqtha’ memungkinkan untuk diwakafkan jika status tanah telah pindah kepemilikan dari hak negara kepada hak perseorangan atau kelompok masyarakat.

b. Tanah Irshad

Irshad adalah tanah yang diwakafkan oleh seorang penguasa atau sultan, yang asalnya dari baitul mal, untuk kepentingan umum, seperti untuk pembangunan masjid dan sekolah. Selain itu, tanah ini juga dapat dperuntukkan bagi mereka yang berhak menerima bagian dari baitul mal karena jerih payahnya dalam membangun umat atau karena sebagai mustahiq, seperti kepada para ulama, fakir miskin, dan mahasiswa (az-Zuhayli, t.th.: 7614).

Dasar dari ketentuan ini adalah bahwa seorang penguasa bukanlah pemilik tanah yang ada di baitul mal. Adapun status penguasaannya itu bagaikan kuasanya seorang wali terhadap harta orang yang tidak mampu menggunakan hartanya sendiri. Dengan demikian, dalam kondisi ini, seseorang tidak berhak mewakafkan harta tersebut dan pengelolaan semacam ini dinamakan irshad, bukan wakaf. Namun, ada sebagian Hanafiyah dan Syafi’iyyah yang membolehkan. Adapun persamaan wakaf dan irshad adalah seseorang atau pihak mana pun, sepeninggal sultan, tidak bisa membatalkan apa yang telah diberikannya itu (al-Kabisi, 2004: 258).

c. Tanah Hauz

Tanah hauz adalah tanah-tanah yang dikuasai oleh sultan pada saat pemiliknya tidak mampu untuk menanami dan mengelolanya, kemudian sultan memberi modal pengelolaan, lalu hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan kaum muslimin dengan hak kepemilikan tetap ada pada pemiliknya (az-Zuhayli, t.th.: 7614). Tanah dalam bentuk ini tidak boleh diwakafkan oleh pemerintah sebab tanah tersebut masih menjadi hak dari pemilik asal. Pihak pemerintah hanya dapat mengaturnya saja, yaitu mengatur sebagai wakil dari pemilik tanah (al-Kabisi, 2004: 261).

4. Harta Wakaf Dapat Diserahterimakan Bentuknya

Setiap harta yang diwakafkan harus bisa diserahterimakan bentuknya agar sah wakafnya. Hal ini karena sesuatu yang tidak boleh diwakafkan menyebabkan wakafnya itu tidak sah. Para fuqaha berbeda pendapat tentang bentuk harta yang bisa diserahterimakan untuk diwakafkan. Ulama Hanafiyah (al-Hasfaki, t.th./IV: 532) berpendapat bahwa wakaf tidak dapat dilaksanakan kecuali benda yang akan diwakafkan itu adalah harta tidak bergerak atau harta bergerak yang memiliki ikatan (hak milik). Sebagian lagi berpendapat harta yang boleh diwakafkan adalah setiap harta tidak bergerak dan yang bergerak. Bahkan, ulama Malikiyah (ad-Dardiri, t.th./VI: 191) menambahkan bahwa wakaf dari sesuatu yang bermanfaat, sah hukumnya.

5. Harta Wakaf Harus Terpisah

Harta wakaf bisa saja berupa harta yang bercampur (milik umum) dan bisa juga harta yag terpisah dari harta lainnya. Namun, para ulama sepakat bahwa harta wakaf tidak boleh berupa harta bercampur, khususnya untuk masjid dan kuburan karena wakaf tidak terlaksana kecuali harta itu terpisah dan independen. Tidak dapat dibayangkan jika masjid dipakai sebulan dan sebulan lagi berubah fungsi sebagai tempat tinggal. Hal ini mengingat masjid memiliki fungsi sangat besar, yaitu sarana beribadah kepada Allah dengan ikhlas. Hal itu tidak dapat terlaksana jika status tanah tempat masjid itu tidak jelas. Begitu juga, pekuburan tidak dapat difungsikan sebagai pemakaman resmi jika tidak ditentukan lahannya (al-Kabisi, 2004: 277).

Ulama Syafi’iyyah, Malikiyah, Hanabilah, Ja’fariyah, dan Zaidiyyah, sepakat bahwa sah hukumnya mewakafkan tanah milik bersama berdasarkan pendapat sebagian dari mereka yang menyatakan bahwa tidak perlu adanya syarat penguasaan penuh atas harta yang diwakafkan. Dan bagi mereka yang mengharuskan syarat penguasaan penuh, tetap berpendapat boleh mewakafkan harta bersama itu dengan menganalogikan penguasaan dalam jual beli.

Dalil yang dipakai oleh jumhur antara lain adalah:

a. Hadis Umar bahwasanya dia mendapatkan 100 alat panah dalam perang Khaibar, dan Rasulullah menyetujui agar semua diwakafkan. Panah ini pada dasarnya adalah harta milik kaum muslimin yang ikut berperang (milik bersama).

b. Hadis riwayat Bukhari yang menyebutkan jika suatu kaum mewakafkan tanah mereka bersama, maka hukumnya adalah sah. Diriwayatkan dari Musaddad kepada Anas, dia berkata, Rasulullah memerintahkan untuk mendirikan masjid, kemudian beliau bersabda, “Wahai bani Najjar, berilah harga atas tanah kalian!” Mereka menjawab, “Demi Allah, kami tidak meminta harga dari tanah ini kecuali kepada Allah.”

Menurut Ibnu Hajar, dalil tersebut di atas menunjukkan bahwa mereka (bani Najjar) mendermakan tanah mereka di jalan Allah, kemudian nabi menerima tanah pemberian mereka. Ini adalah alasan dibolehkannya mewakafkan harta milik bersama.

c. dengan logika-rasional, sebagaimana pendapat jumhur bahwa hal tersebut termasuk akad dan dibolehkan. Seperti halnya mewakafkan harta tertentu, maka boleh juga mewakafkan harta milik bersama, seperti dalam perdagangan, atau barang jualan boleh dijual. Jadi, boleh mewakafkan harta milik bersama, seperti halnya harta yang terpisah (al-Kabisi, 2004: 282-3). Pada bagian ini, nampaknya tanah milik bersama seperti tanah ulayat pada masyarakat Dayak atau Minang dapat dirubah statusnya menjadi tanah wakaf. Hal ini akan menjadikan tanah tersebut lebih abadi dan tidak akan diperebutkan oleh kalangan tertentu yang berkuasa.


[1] Dalam hal rukun, Abu Hanifah sebagaimana dikutip al-Zuhayli (t.th: 7599) hanya menyebut satu rukun, yakni shighat atau kalimat penyerahan wakaf dari wakif.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Asqalani, Ahmad ibn Hajar, Fath al-Bari, t.tp.: t.p.

Ad-Dardiri, t.th., al-Syarh al-Kabir, t.tp.: t.p.

Hafidhuddin, Didin, 2004, dalam Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah, Hukum Wakaf, diterjemahkan oleh Ahrul Sani Fathurrohman (et.al.), Jakarta, IIMaN Press.

Al-Hafsaki, Alauddin Muhammad bin Ali, t.th., al-Dur al-Mukhtar, t.tp.: t.p.

Ibn Hanbal, Ahmad, t.th., Musnad Ahmad, t.tp.: t.p.

Abu Ishaq, Ibrahim bin Ali, t.th., al-Muhadzab, t.tp.: t.p.

Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah, 2004, Hukum Wakaf, diterjemahkan oleh Ahrul Sani Fathurrohman (et.al.), Jakarta, IIMaN Press.

Karim, A. Muchit (et.al.), Pengelolaan Wakaf dan Pemberdayaannya di Indonesia, Jakarta: Puslibang Kehidupan Keagamaan.

Al-Khatib, Muhammad al-Syarbini, t.th., al-Iqna’ fi Hilli Al-Fadz Abi Syuja’, t.tp.: t.p.

Ibnu Majah, Muhammad bin Yazid, t.th., Sunan Ibn Majah, t.tp.: t.p.

An-Nawawi, t.th., Raudhah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, t.tp.: t.p.

Ibn Qudamah, Abdurrahman bin Abu Umar, t.th., al-Syarh al-Kabir, t.tp.: t.p.

Al-Siwasi, Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid, t.th., Fath al-Qadir, t.tp.: t.p.

At-Turmudzi, Muhammad bin ‘Isa, t.th., Sunan at-Turmuzi, Kairo: Mauqi‘ Wizarah al-Auqaf al-Misriyyah.

Warson, Ahmad, 1984, al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, t.tp.: t.p.

Az-Zuhayli, Wahbah, t.th., al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction