Jumat, 22 Mei 2009

HALAL-HARAM DALAM ISLAM

Kata “halal” merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab yang berarti diijinkan atau sesuai dengan hukum (lawful).[1] Yusuf Qardhawi mengartikan halal sebagai segala sesuatu yang tidak mengadung zat-zat yang membahayakan dan diperbolehkan oleh Allah swt.[2] Berkaitan dengan beragamnya makanan[3] yang ada di dunia ini, semua dapat dihukumi halal kecuali bila ada dalil yang menunjukkan keharamannya, baik dari al-Qur’an atau Hadis. Manusia tidak mempunyai hak untuk mengganti hukum sesuatu yang haram menjadi halal atau sebaliknya. Dalam referensi Inggris, kata halal yang dikhususkan untuk daging adalah dzabihat yang disandarkan kepada hewan sembelihan. Oleh karena telah disembelih, maka daging tersebut secara otomatis dianggap halal, meskipun masih ada perdebatan tentang syarat-syarat dan tata cara menyembelih.

Tentang makanan halal, Allah telah menyebutkan dalam al-Qur’an surat al-Maidah: 87-88 yang berbunyi:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.

Selanjutnya, kata “haram” yang juga berasal dari kosa kata Arab mengandung arti lawan dari halal, yakni dilarang atau tidak sesuai dengan hukum (unlawful).[4] Menurut Qardhawi, haram adalah segala sesuatu yang dilarang Allah swt secara tegas, bagi orang yang menentangnya akan berhadapan dengan siksaan Allah di akhirat atau bahkan sering diancam dengan sanksi duniawi.[5] Ahmad H. Sakr mengklasifikasikan benda-benda yang termasuk haram ke dalam enam kelompok: babi dan beberapa produknya, alkohol, daging hewan mati, darah, obat-obatan terlarang. Seorang muslim yang mengkonsumsi barang haram, ia akan berdosa.[6] Namun, beberapa kasus seorang muslim mungkin menggunakan benda-benda yang zatnya haram dalam beberapa kondisi, antara lain kondisi keliru dan saat berbahaya. Ketika tidak ada sesuatu pun yang dapat dimakan, maka ia diberi kelonggaran untuk sekedar mempertahankan hidup. Dalam hal ini, Allah telah berfirman di dalam surat al-Baqarah: 173.

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dengan memperhatikan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa barang yang halal dan haram sudah jelas patokannya dalam syari’at Islam.[7]

Mengenai makanan halal, Thobib al-Asyhar lebih memerinci pengelompokannya ke dalam dua kategori: halal dalam mendapatkan dan halal zatnya. Yang dimaksud halal dalam mendapatkan adalah usaha yang dilakukan untuk mencari dan memperoleh harta (barang tersebut). Meskipun barangnya halal, kalau proses mencari dan mengumpulkannya dengan cara batil maka barang itu dinyatakan haram. Cara yang dimaksud antara lain adalah pengambilan harta dari hasil riba, harta anak yatim secara batil, dan hasil KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Sedangkan makanan yang halal secara zatnya lebih mudah dikenali melalui kriteria fisiknya. Dalam hal ini, Sayyid Sabiq, sebagaimana dikutip Thobib, membedakan jenis makanan halal dari sudut pandang zatnya menjadi dua, benda mati (jamad) dan benda hidup (hayawan). Semua benda mati yang menjadi makanan manusia adalah halal kecuali jika telah dianggap najis atau tercampur dengan benda najis (mutanajjis). Yang selama ini dikenal sebagai benda najis adalah darah sebagaimana tertera dalam surat al-Maidah: 3 yang berbunyi:

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.

Sedangkan benda mutanajjis, seperti minyak goreng yang dijatuhi tikus mati, dihukumi haram karena kemasukan benda najis (bangkai). Sebagai pengecualian, benda yang bisa menggumpal/membeku dalam suhu tertentu semacam minyak samin, maka yang dibuang hanyalah bangkai dan sedikit bagian di sekelilingnya di saat membeku.

Ulama berbeda pendapat tentang hukum barang halal yang tercampur barang haram. Golongan pertama menyatakan bahwa percampuran dua benda yang bertentangan status hukumnya, maksudnya halal dan haram, maka benda itu dianggap haram meskipun tidak berubah bau, rasa, dan warnanya, seperti tercampurnya susu seember dengan sesendok khamr yang akhirnya harus dibuang semuanya. Ini pendapat jumhur ulama. Sebaliknya, golongan kedua berpendapat bahwa pencampuran itu tidak menyebabkan keharaman asal tidak terjadi perubahan dalam warna, rasa, dan baunya. Mereka yang termasuk kelompok ini adalah madhab Dhahiri.[8]

Berkaitan dengan anjuran mengkonsumsi barang halal, banyak ayat dan hadis yang menjelaskan perintah mengkonsumsi yang halal, suci, dan baik yang merupakan perintah wajib. Berikut ini ayat al-Qur’an dan Hadis yang secara jelas menerangkannya.[9]

Surat al-Baqarah: 168 menjelaskan:

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.

Dan ayat 172:

Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.

Dua ayat di atas menerangkan adanya perintah untuk mengkonsumsi makanan yang halal sebagai jalan yang membedakan antara umat Islam dengan umat lain yang diklaim Allah telah mengikuti syetan. Keimanan mereka juga diuji dalam hal ini. Tindakan mengutamakan produk halal lagi baik adalah bukti rasa syukur dan iman umat Islam kepada sang Pencipta, Allah swt. Sebagai pendukungnya, Hadis terkenal riwayat Muslim menyebutkan bahwa “yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas dan di antara keduanya ada hal-hal yang musytabihat (samar statusnya) kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa hati-hati dari perkara syubhat, sebenarnya ia telah menyelamatkan agama dan dirinya.”



[1] Munawwir Abdul Fatah dan Adib Bisyri, Al-Bisyri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), 131.

[2] Yusuf Qardhawi, alihbahasa: Wahid Ahmadi dkk, Halal Haram dalam Islam, (Solo: Era Intermedia, 2003), 31.

[3] Dalam definisi klasik, seseorang dianggap makan apabila ia memasukkan sesuatu ke rongga mulutnya untuk memenuhui kebutuhan fisiknya. Namun, dengan berkembangnya zaman, peristiwa makan dimaknai secara lebih luas, yang memasukkan proses makan melalui jalan non mulut, semisal menggunakan jarum suntik. Perbedaan makan dan minum sebenarnya hanya terletak pada padat tidaknya benda itu. Makan berarti memasukkan benda padat sedangkan minum memasukkan cairan ke dalam rongga mulut. Namun untuk masa sekarang makan bisa melalui cairan yang diinfuskan melalui pembuluh darah. Lihat Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), 123.

[4] Ibid., 110.

[5] Qardhawi, loc. cit.

[6] Ahmad H. Sakr, Understanding Halal Foods, Fallacies & Facts, (Lombard: Foundation for Islamic Knowledge, 1996), 23-27. Sedangkan Qardhawi cenderung membagi halal haram menjadi tiga kategori: halal-haram dalam kehidupan individu seorang muslim, halal-haram dalam perkawinan dan kehidupan rumah tangga, dan halal-haram dikaitkan dengan kepercayaan dan tradisi.

[7] Lihat Imam al-Ghazali, Benang Tipis antara Halal dan Haram, terjemahan Ahmad shadiq, (Suabaya: Putra Pelajar, 2002), 16.

[8] Thobieb al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian Rohani, (Jakarta: al-Mawardi Prima, 2003), 128.

[9] Banyak dalil yang menjadi pertimbangan dalam penetapan produk halal. Hal ini telah dibukukan secara khusus oleh Deaprtemen agama. Silakan lihat Tim Penyusun, Dalil dan Poertimbangan Penetapan Produk Halal, (Jakarta: Departemen Agama, 2003).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction