Terkait dengan zakat, manajemen nampaknya belum banyak diperhatikan orang. Zakat masih dianggap persoalan ringan yang tidak perlu dikelola secara profesional. Apalagi, ketika disebut zakat, orang segera mempersepsikan zakat fitrah dalam benaknya dan zakat fitrah cukup dilaksanakan di akhir bulan ramadhan. Dengan demikian, manajemen tidak diperlukan dalam pengelolaan zakat.
Keprihatinan itu sudah direspon secara serius oleh kalangan peduli zakat. Salah satunya adalah Dompet Dhuafa Republika yang kini telah mendirikan Institut Manajemen Zakat (IMZ) di Jakarta. Lembaga ini berdiri dengan maksud untuk memberikan salah satu model pengelolaan zakat yang modern dan handal. Gambaran lembaga pengelola yang serba terbatas dan kurang profesional sedikit demi sedikit ingin dikikis oleh lembaga ini dengan memberikan pelatihan pengelolaan zakat kepada lembaga-lembaga yang bergelut di bidang zakat.
Setelah beberapa tahun berkecimpung dalam menangani zakat, Eri Sudewo, ketua IMZ, mengungkap hasil perenungannya dalam buku Manajemen Zakat. Dalam buku tersebut Sudewo memaparkan buah pikirannya tentang bagaimana manajemen yang pas untuk zakat. Setidaknya, ada 15 (lima belas) tradisi yang menurutnya telah membuat pengelolaan zakat di Indonesia tidak maksimal. Secara ringkas, sebagian tradisi itu dijabarkan sebagai berikut.
1. Sikap Penyepelean
Pengelolaan zakat dianggap sepele karena zakat sifatnya hanya bantuan dan pengelolaan bantuan itu merupakan pekerjaan sosial semata. Keseriusan dalam pengelolaan zakat bukan merupakan keniscayaan. Pekerjaan sosial bisa dilakukan dengan santai dan tanpa beban. Pandangan semacam ini semakin memperkeruh situasi sebab kebanyakan pengelola zakat menganggap bahwa mereka tidak terlalu butuh dengan zakat. Tanpa zakat mereka sudah dapat menikmati hidup layak sesuai dengan standar mereka. Mereka belum bisa merasakan betapa para mustahik menunggu dengan harap-harap cemas akan uluran tangan muzakki. Fakir-miskin, misalnya, harus mati-matian bertahan hidup dan menunggu kapan nasib akan berubah. Bagi mustahik, zakat merupakan jembatan emas untuk lepas dari himpitan ekonomi yang mendera sedangkan bagi muzakki, seringkali zakat dianggap sebagai suatu yang sepele, ditunaikan jika ingat. Sikap inilah yang kemudian dinilai kurang manusiawi dan belum bisa mendudukkan pada tempat yang benar. Penyepelean terhadap zakat akan berakibat kepada tidak terpenuhinya kebutuhan orang-orang yang secara ekonomi kurang beruntung.
2. Pekerjaan Sampingan
Pekerjaan sosial adalah pekerjaan kedermawanan hati seseorang. Dengan demikian, rasa sosial ini akan sangat tergantung dengan suasana hati. Rasa sosial akan bangkit biasanya di saat hati sedang bahagia. Akan tetapi, saat seseorang sedang dilanda masalah dan banyak menemui kegagalan, kondisi jiwa pun labil dan lebih senang menutup diri. Dengan kondisi demikian format berpikir yang tumbuh menempatkan pekerjaan sosial hanyalah sampingan dan aksidental.
Pekerjaan sosial dianggap pekerjaan sampingan yang tidak istimewa. Tidak ada penghargaan tinggi terhadap jenis pekerjaan ini karena dianggap cukup dikerjakan seadanya dan sederhana.Pekerjaan sosial semacam pengelolaan zakat merupakan pekerjaan kelas dua. Cara pandang yang meremehkan pengelolaan zakat semacam ini tentu membuat orang akan segan menekuni bidang pengelolaan zakat. Sentimen masyarakat terhadap pekerja zakat akan membuat masyarakat semakin malas mengelola zakat dengan profesional.
3. Tanpa Manajemen
Pengelolaan zakat seringkali tanpa bentuk menajemen yang jelas. Semua berjalan sesuai dengan intuisi masing-masing. Manajemen dalam arti sesungguhnya tidak dikenal. Pembagian tugas dan struktur organisasi hanya formalitas tanpa adanya alasan yang jelas. Struktur hanya diabut sesuai dengan keinginan sang pengelola atau si pendiri bukan berdasarkan kebutuhan riil organisasi. Pembagia tugas juga belum sepenuhnya nyata dan dipahami anggota organisasi. Efeknya, organisasi bisa berjalan namun lambat, biasanya hanya di awal saja organisasi tersebut berjalan namun lambat laun akan timbul kejenuhan, kecemburuan kerja dan akhirnya yang bekerja hanya beberapa gelintir orang saja karena yang lain mengundurkan diri atau sengaja tidak aktif. Sedihnya, kondisi ini tidak banyak yang memahami karena sikap egois masing-masing. Akhirnya, organisasi tanpa manajemen yang jelas akan mandeg atau akan berjalan di tempat.
4. Tanpa Seleksi Sumber Daya Manusia
Salah satu kebiasaan lembaga nirlaba di Indonesia termasuk lembaga pengelola ZIS adalah tidak serius dalam seleksi SDM pengelola. Jarang sekali ada sistem rekrutmen yang paten, apalagi fit and proper test yang dirasa terlampau berlebihan. Pandangan bahwa pekerjaan sosial merupakan pekerjaan mudah yang tidak butuh orang-orang profesional menyebabkan tidak adanya seleksi yang ketat. Siapa yang berminat pasti diterima, atau bahkan disyukuri dengan sungguh-sungguh, ternyata masih ada orang yang ‘longgar’. Praktis cara pikir semacam ini hanya akan mengumpulkan orang-orang yang siap ditulis namanya--mungkin juga karena segan dengan ketuanya—tanpa perlu bersedia bekerja.
Ciri lain dari pengelolaan yayasan nirlaba seperti panti asuhan dan pengelola zakat, kebanyakan yang bekerja merupakan orang-orang memiliki kemampuan rata-rata, jarang sekali ditemui mereka yang berpendidikan tinggi apalagi lulusan luar negeri. Efek dari peremehan/apriori terhadap kegiatan lembaga sosial nirlaba terus akan menjauhkan para profesional untuk ikut serta membesarkan lembaga nirlaba.
5. Ikhlas Tanpa Imbalan
Manajemen lillahi ta'ala masih menjadi pola bekerja di yayasan sosial dan panti. Lillahi ta'ala berarti pengabdian yang tak perlu mendapat hak, lebih-lebih menuntut upah yang layak. Jika ada tuntutan semacam itu, orang dinggap tidak ikhlas, tidak punya rasa pengabdian dan bisa jadi dianggap tidak Islami. Meminta imbalan berarti merusak niat untk beribadah. Dengan demikian, imbalan menjadi bukan agenda utama, yang pentying kerja. Namun, siapa yang mau bekerja tanpa imbalan? Wajar kalau kemduian orangt-orang yang terlibat dalam pengelolaan zakat adalah orang-orang yang memberikan sisa-sisa waktu dan bekerja apa adanya. Semangat yang diberikan juga tinggal sisa.
Lembaga seharusnya memikirkan dan sensistif atas kenyataan bahwa orang bekerja butuh imbalan. Mereka juga punya anak dan isteri yang harus dinafkahi Akhirnya, lembaga akan ditinggal orang-orang yang sebenarnya mampu menjalankan organisasi dengan baik. Keikhlasan seharusnya diartikan sebagai sikap semangat dan rela berjuang untuk bekerja di lembaga nirlaba, mau bekerja dan bergaul dengan orang–orang yang kurang beruntung secara ekonomi juga tidak malu berteman dengan orang-orang berkelas.
6. Kreativitas Rendah
Pengelolaan tradisional biasanya cenderung pasif, kurang kreatif, tidak inovatif. Para pelaksananya lebih sering menikmati keadaan dan segan untuk melakukan terobosan-terobosan baru. Mungkin mereka takut dianggap sok pintar atau sok maju. Padahal, lembaga semacam ini perlu orang-orang yang mempunyai cita-cita yang tinggi dan mau bereksplorasi utnuk menemukan solusi jitu dalam usaha meningkatkan kemakmuran umat. Kehidupan organisasi menjadi monoton, seolah-olah tidak perlu repot mengikuti erak langkah zaman.
Keadaan diperparah dengan orientasi organisasi yang hanya menjadiu lembaga penyantun, bukan lembaga yang menggairahkan hidup dan memberikan alternatif jalan untuk meraih kebahagiaan lahir batin. Jarang sekali ditemukan sebuah lembaga yang menghasilkan ijtihad yang dapat dicontoh secara massal oleh masyarakat.
Yang lebih memprihatinkan lagi, tumbuh kegiatan masyarakat dalam meningkatkan pemasukan dana dengan menyebar amplop di dalam bis, mobil angkutan, atau kereta api, juga aktif di jalan-jalan dengan jaring amal atau kotak amal. Menurut pendapat banyak kalangan, kegiatan tersebut mengganggu ketertiban umum dan kenyamanan berkendara selain juga dapat membahayakan keselamatan pengguna transportasi atau jalan, di samping bukankah itu menjadi syiar buruk bagi Islam. Kegiatan ini bisa menjadi bahan olok-olok dan pelecehan dari masyarakat non-muslim.
7. Minus Monitoring dan Evaluasi
Salah satu dampak dari lemahnya kreativitas dan tiadanya manajemen adalah tidak adanya sistem monitoring dan evaluasi. Jalannya organisasi masih sangat tergantung pada pimpinan yang menjadi kata kunci dalam kebanyakan organisasi nirlaba. Model organisasi yang terlalu banyak menggantung kepada eksistensi pimpinan menyebabkan lemahnya sistem pengawasan dan sistem evaluasi. Dengan tidak adanya kedua elemen tersebut, dapat dibayangkan bahwa lembaga itu akan sulit berbenah apalagi berkembang untuk bersaing dengan lembaga lain.
Ketika ada persoalan yang muncul, pimpinan yang terbatas kemampuannya berperan seolah-olah dapat mengatsi masalah. Para bawahan seakan tidak punya kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya. Semua pihak nampaknya bisa menerima keputusan apa saja yang keluar dari pimpinan. Proses pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah semacam ini adalah model yang keliru. Tidak ada proses pendewasaan yang sehat di lembaga tersebut. Repotnya, di saat ada masalah yang timbul sedangkan pimpinan tidak berada di tempat bawahan akan bingung menentukan sikap dan akan memunculkan konflik berkepanjangan. Itulah, pengawasan dan evaluasi yang dilakukan semua elemen organisasi akan memunculkan manajemen yang sehat.
8. Tidak Biasa Disiplin
Salah satu budaya masyarakat Indonesia yang kurang baik adalah tidak biasa disiplin. Jam karet atau molor adalah sepertinya suatu keharusan. Kenyataan semacam ini tidak hanya ditemui di kalangan bawah, seperti arisan RT atau rapat kelurahan, namun kebiasaan ini sudah merambah di kalangan para pejabat kita, baik ditingkat propinsi atau pusat. Sikap kurang disiplin tidak hanya dimiliki para karyawan, namun para pelajar dan para akademisi juga tidak lepas dari cengkeraman kebiasaan kurang baik ini. Sedikit agak aneh memang, ketika kita menyadari bahwa negara kita adalah negara muslim terbesar di dunia, namun tingkat kedisiplinannya tergolong rendah. Padahal, kita setiap hari telah dilatih oleh ajaran agama kita untuk melakukan shalat lima waktu dengan aturan waktu yang telah ditentukan. Puasa yang tiap tahun kita tunaikan juga mengajari kita untuk bisa membagi waktu dengan seksama. Sekali lagi agak aneh. Justru kedisiplinan mudah kita temui di negara yang tidak terlalu menggunakan nilai agama, seperti Singapura, Amerika atau Australia. Di sana indahnya kedisiplinan justru telah mengantar mereka menjadi negara-negara termaju di dunia.
Kebiasaan tidak disiplin telah menjadi bagian hidup. Orang-orang yang telah memiliki kebiasaan disiplin akan kecewa. Mereka akhirnya menjadi ikut-ikutan tidak disiplin karena tidak disiplin telah disukai banyak orang. Yang pasti, ketidakdisiplinan akan menyulitkan sebuah organisasi untuk berkembang, bersaing dengan kompetitor yang telah menerapkan disiplin sebagai salah satu prinsipnya.
Dari poin-poin di atas setidaknya dapat disimpulkan, bahwa lembaga-lembaga sosial nirlaba di Indonesia termasuk institusi pengelola zakat menghadapi tiga masalah besar yang harus segera diselesaikan, yakni kualitas sumber daya manusia yang kurang maksimal, manajemen minimal, dan lemahnya etos kerja. Masalah-masalah tersebut harusnya dapat diatasi secara bertahap dengan merubah cara pandang (mindset) pengelola lembaga sekaligus masyarakatnya. Sekalipun agak berat, namun usaha itu harus terus-menerus dilakukan kalau memang ingin mendapat hasil maksimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar