Selasa, 12 Mei 2009

PENGEMBANGAN WAKAF TUNAI UNTUK KEADILAN SOSIAL

Studi tentang Manajemen Wakaf Tunai di Tabung Wakaf Indonesia

A. Konteks Penelitian

Wakaf adalah salah satu bentuk kegiatan ibadah yang sangat dianjurkan bagi umat Islam karena pahala wakaf akan selalu mengalir meskipun sang wakif telah berpulang. Hal ini sebagaimana dinyatakan Rasulullah dalam sebuah hadis populer riwayat Ahmad (t.th./XIX: 10) dari Abu Hurairah, “Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah (termasuk wakaf), ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shaleh yang mendoakannya.”[1] Dengan wakaf, pundi-pundi amal seorang mukmin akan senantiasa bertambah hingga akhir zaman.

Menapaki jejak sejarah, keberadaan wakaf terbukti telah banyak membantu pengembangan dakwah Islam di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Sejumlah lembaga pendidikan, pondok pesantren maupun masjid di Indonesia banyak ditopang keberadaan dan kelangsungan hidupnya oleh wakaf. Hanya saja, jika wakaf pada masa lalu seringkali dikaitkan dengan benda-benda wakaf tidak bergerak, seperti tanah maupun bangunan, kini mulai dipikirkan wakaf dalam bentuk lain, misalnya wakaf uang (cash waqf) yang penggunaannya di samping untuk kepentingan tersebut, juga dapat dimanfaatkan secara fleksibel bagi pengembangan usaha produktif kaum lemah (Hafidhuddin, 2004: ix).

Potensi wakaf di Indonesia hingga kini masih cukup menggembirakan. Menurut data Direktorat Urusan Agama Islam, pada tahun 1999, jumlah tanah wakaf di seluruh Indonesia tercatat 1.477.111.015 m2 yang terdiri atas 349.296 lokasi. Pada tahun 2004, jumlah tanah wakaf tersebut meningkat menjadi 1.538.198.586 m2 yang terdiri atas 362.471 lokasi. Dengan demikian, dapat dilihat laju perkembangan obyek wakaf dalam lima tahun, lokasi wakaf bertambah 13.175 titik dengan luas 61.087.571 m2 (Karim, 2006: vii). Saat ini pada tahun 2009, jumlah tersebut tentu bertambah secara signifikan.[2]

Dengan berkembangnya zaman, wakaf tidak lagi hanya diasosiasikan pada obyek wakaf berupa tanah, akan tetapi sudah merambah kepada wakaf bentuk lain, sebagaimana telah termaktub dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Secara terperinci, obyek wakaf di Lembar Negara RI tahun 2004 nomor 159 tersebut dijelaskan bahwa harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah (pasal 15). Harta benda wakaf terdiri atas benda tidak bergerak dan benda bergerak. Benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi: a) Uang; b) Logam mulia; c) Surat berharga; d) Kendaraan; e) Hak atas kekayaan intelektual; f) Hak sewa; dan g) Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 16). Dengan demikian, harta benda wakaf sudah mengalami pengembangan yang signifikan sehingga seseorang tidak perlu menunggu menjadi tuan tanah dahulu untuk melakukan wakaf. Ia bahkan dapat menyisihkan beberapa ribu rupiah saja dalam mengabadikan kekayaan dalam wakaf.

Dalam rangka pengembangan wakaf secara maksimal, sebagaimana amanat Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf, diperlukan lembaga profesional pengelola wakaf. Salah satu lembaga yang kini menangani pengelolaan wakaf, khususnya wakaf tunai adalah Tabung Wakaf Indonesia (TWI). Selain TWI, di Indonesia banyak lembaga yang mengelola wakaf, umumnya dalam bentuk tanah, secara kolektif namun belum banyak yang menanganinya secara profesional di bidang manajemen. Sebut saja Badan Wakaf Gontor atau Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII). Kedua lembaga ini memang cukup berhasil dalam mengembangkan wakaf, khususnya berupa tanah. Hanya saja, kedua lembaga tersebut agak sulit untuk dirunut pertanggungjawaban manajemennya secara transparan (Karim, 2004: 11).

Inilah salah satu kelebihan dari Tabung Wakaf Indonesia (TWI) yang layak untuk dijadikan sebagai salah satu percontohan manajemen di bidang wakaf tunai. TWI merupakan lembaga wakaf yang didirikan oleh Dompet Dhuafa dan diresmikan pada tanggal 14 Juli 2005. TWI berperan sebagai lembaga yang melakukan sosialisasi, edukasi dan advokasi wakaf kepada masyarakat sekaligus berperan sebagai lembaga penampung dan pengelola harta wakaf (Ain, 2007: 56).

Adapun Visi & Misi TWI adalah menjadi lembaga wakaf berorientasi global yang mampu menjadikan wakaf sebagai salah satu pilar kebangkitan ekonomi ummat yang berbasiskan sistem ekonomi berkeadilan (www.tabungwakaf.com). Selain itu, TWI berkeinginan mendorong pertumbuhan ekonomi ummat serta optimalisasi peran wakaf dalam sektor sosial dan ekonomi produktif. Hingga akhir tahun 2008, dana yang telah dikumpulkan oleh TWI adalah sebesar Rp. 4.562.229.000 (empat milyar lima ratus enam puluh dua juta dua ratus duapuluh sembilan ribu rupiah).[3] Dana tersebut diperoleh dari masyarakat secara langsung dan disalurkan kepada obyek yang memang sudah disiapkan oleh TWI. Misalnya, seorang ingin membantu pengembangan rumah mualaf, maka dana yang disetor akan segera digunakan untuk peruntukan itu. Laporannya akan dapat dimonitor oleh para donatur melalui majalah TWI yang terbit secara berkala.

TWI menggunakan sistem sertifikasi dalam menghimpun dana wakaf dari masyarakat dengan nominal minimal 1 juta rupiah. TWI mengeluarkan Sertifikat Wakaf Tunai (SWT) sebagai bukti bagi wakif bahwa ia telah berwakaf. Dalam mengelola wakaf, TWI menggunakan pola pengelolaan asset management, yang memperlakukan wakaf sebagai asset yang menghasilkan surplus, sehingga wakaf menjadi ‘sahabat” masyarakat dan mampu menjadi penggerak keadilan sosial (Endang: t.th.: 6).

Beberapa bukti konkret program wakaf tunai untuk keadilan sosial yang dilakukan TWI antara lain adalah a) Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) untuk kesehatan kaum dhuafa yang berbentuk rumah sakit mini dengan pelayanan 24 jam, b) Sekolah SMART Ekselensia, sekolah menengah yang dirancang secara khusus untuk menampung anak dari kaum dhuafa yang mempunyai potensi dengan sistem penyaringan yang sangat ketat dan dilakukan di seluruh propinsi, c) Wisma Muallaf, sebagai tempat pembinaan para muallaf yang teralienasi dari keluarga mereka. Para muallaf ini dapat mendalami akidah, syariah dan ibadah serta pembekalan kewirausahaan, dan d) Rumah Baca Lingkar Pena, gedung berlantai tiga terletak di sektor 9 Bintaro Rumah Baca merupakan wadah penggemblengan bagi anak dan remaja dalam mengoptimalkan kemampuan menulis, membaca puisi, dan berdongeng (Ain, 2007: 79-81).

Dalam waktu dekat TWI akan membangun Wakaf City (madinah wakaf), yaitu sebuah kawasan terpadu yang memadukan fasilitas pelayanan sosial (social service) dan area bisnis (commercial area) dalam satu kawasan dengan nuansa Islam yang kental. Saat ini baru berdiri baru social service yang telah berjalan berupa lembaga dan laboratorium pendidikan. Model yang digagas oleh TWI ini diharapkan akan mampu menjadi model pengembangan Wakaf City di Indonesia (Endang, t.th.: 19).

Dari paparan di atas, nampak jelas bahwa terobosan TWI perlu mendapat respon positif dari kalangan akademisi sehingga apa yang telah diusahakan TWI dapat dikaji secara ilmiah dan pada akhirnya akan mampu memberikan kontribusi signifikan bagi pengembangan wakaf di Indonesia. Dengan demikian, penelitian yang berkaitan dengan pola pengembangan wakaf, khususnya wakaf produktif di TWI menemukan titik urgensinya.

B. Fokus Penelitian

1. Bagaimana model pengembangan wakaf tunai di Tabung Wakaf Indonesia dalam rangka mewujudkan keadilan sosial?

2. Bagaimana TWI membangun dan mempertahankan kepercayaan (trust) para donatur?

3. Apa peluang dan tantangan yang dialami oleh TWI dalam pengembangan wakaf tunai di Indonesia dan bagaimana cara mengatasinya?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan model pengembangan wakaf tunai yang dilaksanakan oleh Tabung Wakaf Indonesia dalam rangka mewujudkan keadilan sosial. Selain itu, penelitian ini akan memaparkan metode yang digunakan TWI dalam membangun dan mempertahankan kepercayaan (trust) para donatur. Sebagai bahan rujukan bagi pengembang wakaf tunai di Indonesia, peluang dan tantangan yang dialami oleh TWI dalam pengembangan wakaf produktif menjadi salah satu bidikan dalam penelitian. Pengalaman TWI dalam empat tahun pengabdiannya akan diulas dalam penelitian ini. Dengan demikian, penelitian ini akan mengungkap secara detail ketiga fokus masalah tersebut secara terperinci dan gamblang.

D. Kegunaan Penelitian

1. Penelitian ini secara teoritis dapat memberikan manfaat bagi pengembangan wacana wakaf tunai di dunia modern saat ini dengan nuansa keindonesiaan. Sementara ini, penelitian wakaf tunai masih tergolong langka karena memang baru memasyarakat dalam beberapa tahun terakhir sejak disahkannya Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf. Penelitian ini juga akan bermanfaat untuk bahan kajian seputar wakaf di kalangan para akademisi dan pemerhati wakaf.

2. Selain itu, penelitian ini dapat digunakan secara praktis bagi lembaga-lembaga filantropi di Indonesia, khususnya lembaga-lembaga filantropi yang terikat dengan organisasi, baik sosial maupun pendidikan. Mereka dapat mempelajari kelebihan dan kekurangan sekaligus tantangan dan hambatan yang dimiliki dan dialami TWI untuk dijadikan acuan dalam mengelola wakaf tunai di lingkungannya. Di samping itu, penelitian ini juga akan memberikan bekal praktis bagi cendekiawan dan ilmuwan Syari’ah sebagai salah satu pilar penyangga kemajuan hukum Islam di Indonesia.

E. Kajian Pustaka

1. Pengertian Wakaf

Wakaf secara bahasa berasal dari kata waqafa-yaqifu yang artinya berhenti, lawan dari kata istamarra (Warson, 1984: 1683). Kata ini sering disamakan dengan al-tahbis atau al-tasbil yang bermakna al-habs ‘an tasharruf, yakni mencegah dari mengelola (az-Zuhayli, t.th.: 7599).

Adapun secara istilah, wakaf menurut Abu Hanifah adalah menahan harta di bawah naungan pemiliknya disertai pemberian manfaat sebagai sedekah (habsul aini ala milki al-waqif wa tashadduq bi al-mafa’ah) (al-Hasfaki, t.th./IV: 532). Kemudian, menurut Jumhur, wakaf adalah menahan harta yang memungkinkan untuk mengambil manfaat dengan tetapnya harta tersebut serta memutus pengelolaan dari wakif dan selainnya dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah (habs mal yumkinu al-intifa’ bihi, ma’a baqa’ ‘ainihi, bi qath’i at-tasharruf min al-waqif wa ghairihi, taqarruban ila Allah) (az-Zuhayli, t.th.: 7601). Namun, menurut al-Kabisi, definisi yang lebih singkat namun padat (jami’ mani’) adalah definisi Ibnu Qudamah (t.th./VI: 187) yang mengadopsi langsung dari potongan hadis Rasulullah, yang berbunyi ‘menahan asal dan mengalirkan hasilnya’ (in syi’ta habasta wa tashaddaqta biha) (al-Kabisi, 2004: 61). Hadis tersebut secara jelas dimuat antara lain dalam sunan at-Turmudzi (t.th./V: 388) dan Sunan Ibn Majah (t.th./VII: 325). Pendapat ini juga menjadi acuan dalam definisi wakaf dalam pandangan Tabung Wakaf Indonesia (Saidi, 2007: 2)

Untuk terlaksananya sebuah wakaf, perlu dipahami terlebih dahulu seputar masalah rukun wakaf. Dalam kitab-kitab klasik, semisal Raudhah at-Thalibin, disebutkan bahwa rukun wakaf ada empat hal, yakni wakif (subyek wakaf), mauquf (obyek wakaf), mauquf alaih (pengelola wakaf), dan shighat (akad) (al-Nawawi, t.th./II: 252-256). Wakaf tunai merupakan salah satu obyek wakaf yang dalam pandangan an-Nawawi didefinisikan sebagai setiap harta tertentu yang dimiliki dan memungkinkan untuk dipindahkan dan diambil manfaatnya (t.th./II: 253). Al-Khatib dalam kitab al-Iqna’ mengartikan mauquf sebagai barang tertentu yang dapat diambil manfaatnya dengan tidak melenyapkan barang tersebut dan merupakan hak milik dari wakif (t.th./II: 73). Dengan demikian, obyek wakaf, termasuk wakaf tunai, meliputi beberapa syarat sehingga layak menjadi barang yang diwakafkan.

Setidaknya, ada lima syarat yang harus dimiliki benda tersebut, seperti dilansir oleh al-Kabisi (2004: 247). Kelima syarat tersebut adalah bahwa harta wakaf memiliki nilai (ada harganya), harta wakaf jelas bentuknya, harta wakaf merupakan hak milik dari wakif, harta wakaf dapat diserahterimakan, dan harta wakaf harus terpisah. Wakaf tunai yang biasanya berupa uang kontan (cash waqf) dalam hal ini secara konsep telah memenuhi kelima syarat tersebut.

2. Wakaf Tunai dalam Fikih dan Undang-undang Wakaf

Dalam catatan sejarah Islam, wakaf tunai sudah dipraktikkan sejak awal abad kedua hijriyah. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, bahwa imam al-Zuhri (w. 124 H) salah satu ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al-hadis memfatwakan, dianjurkannya wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana sosial, dakwah, dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah dengan menjadikannya uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf (Hafidhuddin, 2004: ix).

Di era modern ini, wakaf tunai yang menjadi populer berkat sentuhan piawai M. A. Mannan (2001: 36) dengan berdirinya sebuah lembaga yang ia sebut Social Investment Bank Limited (SIBL) di Bangladesh yang memperkenalkan produk Sertifikat Wakaf Tunai untuk yang pertama kali di dunia. SIBL mengumpulkan dana dari para aghniya’ (orang kaya) untuk dikelola secara profesional sehingga menghasilkan keuntungan yang dapat disalurkan kepada para mustadh’afin (orang fakir miskin) (Djunaidi, 2004: 12).

Wakaf tunai bagi umat Islam tergolong baru. Hal ini bisa dicermati dengan lahirnya fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang wakaf uang yang ditetapkan tanggal 11 Mei 2002. Undang-undang tentang wakaf sendiri juga baru disahkan oleh Presiden pada tanggal 27 Oktober 2004. Undang undang ini merupakan tonggak sejarah baru bagi pengelolaan wakaf setelah sebelumnya wakaf diatur dalam PP no 28 tahun 1977 dan Kompilasi Hukum Islam buku III.

Secara terperinci, obyek wakaf dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004 dijelaskan bahwa harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah (pasal 15). Harta benda wakaf terdiri atas benda tidak bergerak dan benda bergerak. Benda tidak bergerak meliputi:

a. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;

b. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanha sebagaimana dimaksud pada huruf a;

c. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;

d. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

e. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi: a) Uang; b) Logam mulia; c) Surat berharga; d) Kendaraan; e) Hak atas kekayaan intelektual; f) Hak sewa; dan g) Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 16).

Pasal 15 dan 16 di atas menunjukkan bahwa fikih wakaf Indonesia telah mengadopsi semangat fikih klasik yang dipadukan dengan kebutuhan zaman. Kalau dalam perpektif fikih klasik, seperti pendapat Abu Hanifah, umumnya wakaf masih dikaitkan dengan barang-barang yang tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan. Pendapat semacam ini sebenarnya pernah berlaku di Indonesia sebelum berlakunya undang-undang no 41 tahun 2004, sebagaimana tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam. Undang-undang tentang wakaf ini memberikan keleluasaan bagi umat Islam untuk turut serta dalam program wakaf sehingga tidak perlu lagi menunggu kaya dahulu seperti tuan tanah. Mereka dapat menyisihkan sebagian rezekinya untuk wakaf uang atau menyerahkan hak miliknya untuk diwakafkan secara berjangka. Ini merupakan terobosan baru yang dapat memberikan peluang bagi peningkatan kesejahteraan umat Islam.

Lebih lanjut, kedua pasal tersebut diberikan elaborasinya dalam Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006. Pasal yang menjelaskan kedua pasal tersebut (15 dan 16) adalah pasal 15-23. Pada pasal 15 PP ini dijelaskan tentang jenis harta benda wakaf yang meliputi: a) Benda bergerak; b) Benda bergerak selain uang; dan c) Benda bergerak berupa uang (Pasal 15). Di sini ada perbedaan penyebutan dengan UU, yang hanya mengklasifikasikan benda wakaf menjadi bergerak dan tidak bergerak. Namun PP ini menyebut lebih rinci dari benda bergerak berupa uang dan selain uang. Pembedaan ini semata-mata karena konsekuensi dari benda bergerak berupa uang dan selain uang tidaklah sama sebagaimana tercermin dalam pasal-pasal selanjutnya.

Benda tidak bergerak meliputi:

a. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;

b. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a;

c. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;

d. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

e. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan (pasal 16).

Benda bergerak selain uang dijelaskan dalam pasal 19, 20, dan 21. Dalam pasal 19 disebutkan bahwa:

(1) Benda digolongkan sebagai benda bergerak karena sifatnya yang dapat berpindah atau dipindahkan atau karena ketetapan undang-undang

(2) Benda bergerak terbagi dalam benda bergerak yang dapat dihabiskan dan yang tidak dapat dihabiskan karena pemakaian.

(3) Benda bergerak yang dapat dihabiskan karena pemakaian tidak dapat diwakafkan, kecuali air dan bahan bakar minyak yang persediaannya berkelanjutan.

(4) Benda bergerak yang tidak dapat dihabiskan karena pemakaian dapat diwakafkan dengan memperhatikan ketentuan prinsip syariah.

Adapun pasal 20 menjelaskan bahwa benda bergerak karena sifatnya yang dapat diwakafkan meliputi: a) Kapal, b) Pesawat terbang, c) Kendaraan bermotor, d) Mesin atau peralatan industri yang tidak tertancap pada bangunan, e) Logam dan batu mulia; dan/atau, f) Benda lainnya yang tergolong sebagai benda bergerak karena sifatnya dan memiliki manfaat jangka panjang.

Selanjutnya, pasal 21 menjabarkan bahwa benda bergerak selain uang karena peraturan perundang-undangan yang dapat diwakafkan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah sebagai berikut:

a. Surat berharga berupa, 1. Saham, 2 surat utang negara, 3 obligasi pada umumnya, dan/atau 4. Surat berharga lainnya yang dapat dinilai dengan uang.

b. Hak atas kekayaan intelektual yang berupa: 1. Hak cipta, 2. Hak merk, 3. Hak paten, 4. Hak desain industri, 5. Hak rahasia dagang, 6. hak sirkuit terpadu, 7. Hak perlindungan varietas tanaman; dan/atau 8. Hak lainnya.

c. Hak atas benda bergerak lainnya yang berupa: 1. Hak sewa, hak pakai dan hak pakai hasil atas benda bergerak; atau 2. Perikatan, tuntutan atas jumlah uang yang dapat ditagih atas benda bergerak.

Adapun benda bergerak berupa uang dijelaskan dalam pasal 22 dan 23.

Dalam pasal 22 dijelaskan bahwa

(1) Wakaf uang yang dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah.

(2) Dalam hal uang yang akan diwakafkan masih dalam mata uang asing, maka harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam rupiah.

(3) Wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan untuk:

a. Hadir di lembaga keuangan syariah penerima wakaf tunai (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendak wakaf uangnya;

b. Menjelaskan kepemilikan dan asal-usul uang yang akan diwakafkan;

c. Menyetor secara tunai sejumlah uang ke LKS-PWU;

d. Mengisi formulir pernyataan kehendak wakif yang berfungsi sebagai AIW.

Pasal 23 menjelaskan bahwa Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui LKS yang ditunjuk oleh Menteri sebagai LKS penerima wakaf uang (LKS-PWU).

Dari paparan di atas nampak jelas bahwa undang-undang no 41 tahun 2004 yang dijelaskan oleh Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 lebih mengedepankan aspek administrasi yang meniscayakan adanya manajemen yang kuat di samping aspek fikihnya. Hal ini dinilai wajar karena munculnya undang-undang tersebut merupakan jawaban atas kegalauan sebagian umat Islam Indonesia dalam pelaksanaan wakaf yang masih simpang-siur dengan manajemen tradisional. Dengan demikian, fikih klasik yang menjadi sumber hukum positif di Indonesia masih relevan untuk dikaji guna menemukan formula baru bagi pengembangan wakaf ke depan seiring dengan perkembangan zaman.

3. Potensi Wakaf Tunai di Indonesia

Secara konseptual, wakaf tunai mempunyai peluang yang unik untuk menciptakan investasi di bidang keagamaan, pendidikan, dan layanan sosial. Tabungan dari masyarakat yang mempunyai penghasilan menengah ke atas dapat dimanfaatkan melalui penukaran dengan Sertifikat Wakaf Tunai (SWT), sedangkan pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan wakaf tunai dapat dibelanjakan untuk berbagai tujuan, di antaranya untuk pemeliharaan dan pengelolaan tanah wakaf. Mustofa Edwin Nasution, sebagaimana dikutip Umrotul Hasanah (2005: 169), memaparkan cara memanfaatkan potensi SWT yang digali di Indonesia, yakni:

a. lingkup sasaran pemberi wakaf tunai bisa menjadi sangat luas dibanding wakaf biasa.

b. SWT dapat dibuat berbagai macam pecahan, yang disesuaikan dengan segmen umat Islam yang memungkinkan untuk membangkitkan semangat beramal jariyah, misalnya Rp. 10.000,- dan Rp. 25.000,-

Nasution juga melakuan prediksi pendapatan wakaf tunai di Indonesia dengan asumsi kelas menengah umat Islam sebanyak 10 juta orang dengan penghasilan rata-rata dari Rp. 500.000,- hingga Rp. 10.000.000,- perbulan. Prediksi tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel Asumsi Potensi Wakaf Tunai

Tingkat Penghasilan/bln

Jumlah Muslim

Tarif Wakaf/bulan

Potensi Wakaf Tunai/bulan

Potensi wakaf Tunai/tahun

Rp. 500.000

4 juta

Rp. 5.000

Rp. 20 M

Rp. 240 M

Rp. 1-2 juta

3 juta

Rp. 10.000

Rp. 30 M

Rp. 360 M

Rp. 2-5 juta

2 juta

Rp. 50.000

Rp. 100 M

Rp. 1,2 T

Rp. 5-10 juta

1 juta

Rp. 100.000

Rp. 100 M

Rp. 1,2 T

Total

Rp. 3 Triyun

Berdasarkan perhitungan potensi wakaf tunai di atas, akan diperoleh pendapatan sekitar Rp. 3 trilyun pertahun. Dana ini jelas dapat mengurangi beban negara yang hingga saat ini masih terbelit hutang (Umrotul Hasanah, 2005: 170). Masyarakat dapat dibantu secara konkret dengan dana hasil pengolahan dana wakaf tunai ini untuk kesejahteraan mereka.

4. Manfaat Wakaf Tunai untuk Keadilan Sosial

Ada empat manfaat utama dari wakaf tunai dewasa ini dalam mewujudkan masyarakat yang berkeadilan sosial. Pertama, wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas sudah dapat mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah dahulu. Kedua, melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kososng bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian. Ketiga, dana wakaf tunai juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang aliran dananya terkadang kembang-kempis dan menggaji civitas akademika seadanya. Keempat, pada gilirannya umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu bergantung pada anggaran pendidikan dan sosial negara yang sangat terbatas.

Selain di atas, ada tiga filosofi dasar, seperti diungkapkan Antonio (2007: viii), yang harus ditekankan ketika umat Islam akan menerapkan prinsip wakaf tunai. Pertama, alokasi wakaf tunai harus dilihat dalam bingkai proyek yang terintegrasi, bukan bagian-bagian dari biaya yang terpisah-pisah. Contohnya, anggapan dana wakaf akan habis (musnah) bila dipakai untuk membayar gaji pegawai sementara wakaf harus abadi. Dengan bingkai proyek, sesungguhnya dana wakaf akan dialokasikan untuk program-program pendidikan dan sosial dengan segala macam biaya yang terangkum di dalamnya.

Kedua, asas kesejahteraan nadzir, sudah lazim kita dengar bahwa nadzir seringkali diposisikan kerja asal-asalan dan lillahi ta’ala (dalam pengertian sisa-sisa waktu dan bukan perhatian utama) dan wajib berpuasa. Sebagai akibatnya, sering kali kinerja nadhir asal jadi saja. Sudah saatnya, nadhir menjadi sebuah profesi yang memberikan harapan kepada lulusan terbaik umat dan profesi yang memberikan kesejahteraan, bukan saja di akhirat, namun juga di dunia. Di Turki, sebagai misal, badan pengelola wakaf mendapatkan alokasi 5% dari net income wakaf. Sementara itu, The Centre Waqf Council India mengalokasikan dana sekitar 6% dari net income pengelolaan wakaf untuk kebutuhan operasional.

Ketiga, asas transparansi dan akuntabilitas di mana badan wakaf dan lembaga yang dibantunya harus melaporkan setiap tahun akan proses pengelolaan dana kepada umat dalam bentuk audited finacial report termasuk kewajaran dari masing-masing pos biaya.

5. Review Hasil Penelitian

Penelitian tentang wakaf memang tergolong masih jarang dilakukan oleh para ilmuwan Indonesia. Hal ini terbukti dengan tidak banyaknya pakar Muslim di bidang wakaf. Meskipun begitu, ada beberapa penelitian yang dapat dipaparkan dalam tulisan ini untuk dijadikan bahan perbandingan. Salah satu pakar wakaf yang hingga kini masih eksis adalah Uswatun Hasanah. Saat menyelesaikan program doktornya, Hasanah menulis sebuah disertasi dengan judul "Peranan Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial" (Studi Kasus Pengelolaan Wakaf di Jakarta Selatan). Disertasi yang ditulis pada tahun 1997 mengungkap pengelolaan wakaf di Jakarta Selatan yang telah berhasil membuat AIW/APAIW (akta pengganti AIW) seluruh lokasi tanah wakaf. Namun, tidak berarti bahwa semua nadzir wakaf di Jakarta Selatan paham PP nomor 28 tahun 1977.

Nadzir wakaf umumnya perorangan, dan pemahamannya mereka masih berdasarkan pada fikih, itupun masih terbatas. Jadi, wakaf nampak sekali kurang dikembangkan. Kewajiban para nadzir untuk mengembangkan tanah wakaf juga belum dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh adanya pemahaman wakif dan nadzir bahwa fungsi wakaf hanyalah untuk ibadah kepada Allah. Untuk itu, perlu hukum nasional yang sesuai dengan ajaran Islam dan harus difungsikan untuk merubah pemahaman atau tingkah laku masyarakat.

Sebagian besar tanah wakaf digunakan untuk fasilitas ibadah 74,62%, sisanya untuk sekolah, pesantren dan pendidikan 25,38%. Jadi, pengelolaan wakaf di Jakarta Selatan belum mampu mewujudkan kesejahteraan umat dan peranannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa masih kecil. Untuk itu, Hasanah merekomendasikan agar pengelola wakaf Jakarta Selatan perlu lihat lembaga pengelolaan tanah wakaf seperti Pondok Modern Gontor. Di samping itu, perlu pembinaan dan pengarahan nazir harus dilakukan terus-menerus oleh pihak berwenang.

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Syaukani (2006) yang mengkaji tentang Pemberdayaan Pengelolaan Wakaf Rumah Sakit Islam Sunan Kudus di Kudus. Syaukani menilai bahwa pelaksanaan perwakafan di kabupaten Kudus umumnya masih menggunakan manajemen tradisional, baik dalam penentuan jenis benda yang diwakafkan, motivasi berwakaf dan peruntukannya. Kebanyakan benda yang diwakafkan masih berupa tanah. Motivasi masyarakat untuk berwakaf masih bersifat keagamaan yang didukung oleh kemampuan finansial wakif. Selain itu, sebagian besar peruntukan benda wakaf masih bersifat konsumtif, seperti tanah makam sebagai urutan pertama, disusul masjid, mushalla, dan sarana pendidikan.

Penelitian yang lebih dekat dengan kajian ini adalah penelitian Fatimawati Ain (2007). Ain menulis tentang Pengelolaan Wakaf di Tabung Wakaf Indonesia Jakarta Selatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa TWI telah melakukan beberapa terobosan dalam mengelola dana wakafnya. Deskripsi yang lengkap tentang profil TWI dapat ditemukan dalam penelitian ini. Hasil penelitian Ain menunjukkan bahwa TWI belum sepenuhnya melaksanakan Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf, namun dalam pengalokasian dana wakaf, TWI telah dapat menyalurkan sebagian besar dari dana wakaf ke arah produktif sebanyak 80%.

Mencermati hasil di atas, ada beberapa hal yang membedakan penelitian Ain dengan penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian kali ini. Ain hanya menjabarkan tentang deskripsi TWI dari sisi formalitas dan sedikit sekali menjelaskan tentang aspek manajemen wakaf. Selain itu, fokus Ain masih global, belum masuk dalam kajian wakaf tunai secara spesifik. Dengan demikian, kelebihan dalam penelitian ini adalah adanya deskripsi tebal (thick description) dengan data paling mutakhir, sekaligus lebih fokus dalam kajian wakaf tunai yang dikembangkan oleh TWI. Model manajemen yang dilakukan oleh TWI juga menjadi sorotan khusus dalam penelitian ini. Tantangan dan hambatan yang dialami TWI akan menjadi salah satu keistimewaan yang akan menjadi fokus penelitian ini. Dengan kata lain, penelitian Ain adalah pengantar untuk penelitian ini dan akan dilanjutkan dalam bentuk yang lebih dalam dan tuntas tentang menajemen wakaf tunai di TWI.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam studi ilmu-ilmu keislaman, penelitian tentang wakaf dapat dimasukkan dalam bidang penelitian hukum Islam dan pranata sosial. Menurut Cik Hasan Bisri, ada sebelas wilayah penelitian hukum Islam dan pranata sosial, yaitu pranata peribadatan, kekerabatan, pendidikan, penyiaran, keilmuan, hukum, politik, ekonomi, kesehatan, perawatan, dan kesenian. Jika memperhatikan substansi dan ruang lingkupnya, maka wakaf saat ini dapat dimasukkan dalam pranata ekonomi dalam hukum Islam (2004: 57).

Namun, jika dilihat dari sudut tempatnya, menurut Arikunto (2006: 8-9), penelitian ini termasuk penelitian lapangan atau kancah, yakni penelitian yang mengandalkan data dari masyarakat yang diteliti. Lapangan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Tabung Wakaf Indonesia di Jakarta Selatan.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Tabung Wakaf Indonesia yang berlokasi di Jalan Margaguna nomor 26 Jakarta Selatan. Ada beberapa pertimbangan dipilihnya lembaga ini, antara lain: 1. Aspek wilayah, Tabung Wakaf Indonesia berada di wilayah Jakarta Selatan, di dekat jantung pemerintahan negara, yang berarti sebagai pusat berkumpulnya manusia yang bergerak dinamis, 2. Dari aspek ekonomi, bentuk wakaf tunai yang dikelola Tabung Wakaf Indonesia sangat berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan dan keadilan sosial, 3. Dari aspek potensi, wakaf tunai merupakan satu bentuk alternatif baru derivasi benda wakaf di Indonesia, yang diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial, 4. Dari aspek studi kasus, Tabung Wakaf Indonesia berada di bawah naungan Dompet Dhuafa Republika yang diakui sebagai lembaga filantropi muda dan terpercaya dengan orientasi pemberdayaan masyarakat kecil dan miskin.

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif (Moleong, 2006: 2-6). Penelitian ini terfokus kepada informasi-informasi yang berupa pernyataan-pernyataan lugas dalam hasil penelitian lapangan tentang TWI yang digunakan untuk mendeskripsikan TWI secara runtut dan seimbang. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri merupakan alat pengumpul data utama karena peneliti akan memahami secara mendalam tentang TWI yang diteliti dengan intensif.

4. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik, demi terkumpulkan data yang cermat dan akurat. Teknik-teknik yang dimaksud adalah:

a. Studi kepustakaan. Sebelum peneliti terjun ke lapangan, peneliti mengumpulkan berbagai konsep dan referensi yang ada hubungannya dengan masalah pokok yang diteliti, seperti status hukum wakaf tunai di Indonesia seperti termaktub dalam Fatwa MUI, perkembangan wakaf tunai di Indonesia, serta pengelolaan dan pemberdayaannya. Buku-buku yang dapat dihimpun antara lain berasal dari buku-buku terbitan Departemen Agama dan lembaga-lembaga filantropi di Indonesia.

b. Observasi (Nazir, 2005: 175). Teknik ini digunakan untuk mengamati kualitas TWI, program pemberdayaan dan pendayagunaan wakaf tunai di TWI, keterlibatan masyarakat dan faktor pendukung dan penghambat pemberdayaan wakaf di TWI. Dalam hal ini, peneliti menggunakan pengamatan yang terlibat beberapa waktu di gedung TWI. Keterlibatan ini akan menjamin proses pengumpulan data lebih akurat sehingga akan mampu menjawab rumusan masalah yang telah ditentukan secara tepat.

c. Wawancara, dalam penelitian ini digunakan wawancara mendalam yang mendasarkan pada kriteria teknis wawancara. Metode wawancara yang digunakan adalah wawancara bebas terpimpin, yakni pewawancara hanya membawa pedoman yang merupakan garis besar tentang hal-hal yang akan ditanyakan (Soekanto: 1986, 230-231). Wawancara tidak selalu dilakukan dalam situasi yang formal, namun juga dikembangkan pertanyaan-pertanyaan aksidental sesuai dengan alur pembicaraan. Sementara ini, informan primer yang akan diwawancarai adalah Zaim Saidi, direktur TWI dan Destri, Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan TWI. Beberapa informan primer lainnya akan ditemukan dengan teknik snowballing. Adapun informan sekunder dalam penelitian ini adalah para wakif yang mendermakan sebagian rizkinya melalui TWI.

5. Pengolahan Data

Dalam penelitian ini ada beberapa tahap pengolahan data yang dilakukan. Pertama adalah tahap pendataan informan dari Tabung Wakaf Indonesia. Tahap ini diawali dengan pengiriman surat kepada TWI dan dilanjutkan dengan beberapa pertemuan untuk wawancara mendalam. Setelah seluruh data dari informan dianggap cukup, maka proses selanjutnya adalah transkrip kaset. Proses ini niscaya dilakukan karena hasil wawancara direkam dalam pita kaset. Untuk mendapatkan gambaran lengkapnya, maka suara dalam pita kaset dipindah dalam bentuk teks sehingga memudahkan pengolahan datanya. Namun, untuk beberapa informan yang keberatan direkam suaranya, maka metode yang digunakan dalam merekam informasi adalah dengan menulis singkat atau merangkum pokok pikiran informan dalam catatan peneliti (notetaking). Pokok pikiran tersebut kemudian dijabarkan lebih luas dalam uraian deskripsi.

Tahap selanjutnya adalah pengolahan data. Tahap ini termasuk tahap yang penting karena data yang sudah terkumpul akan bermakna dan berbicara banyak dalam tahapan ini. Proses pengolahan data setelah transkrip kaset atau penulisan pokok pikiran informan adalah edit. Tahap ini dilakukan untuk mengecek kelengkapan informasi yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan penelitian (Singarimbun dan Effendi, 2006: 241). Beberapa pertanyaan yang sudah disiapkan mungkin ada yang belum terjawab dengan sempurna atau terlewatkan. Untuk kasus semacam ini data yang masih mungkin ditanyakan lagi akan diulang.

Setelah edit, langkah berikutnya adalah klasifikasi (Moleong, 2002, 104). Maksudnya adalah untuk menjadikan pembacaan penelitian lebih mudah karena telah dikelompokkan dalam beberapa kategori, misalnya sesuai dengan urutan rumusan masalah. Data dalam penelitian ini akan diklasifikasikan secara tertib agar pemaparan dalam laporan penelitian akan runtut, mudah dipahami, dan logis. Data tentang manajemen TWI dalam mengembangkan wakaf tunai beserta model pembangunan citra terpercaya (trust) akan dikelompokkan dalam satu kategori, kemudian data tentang hambatan dan tantangan serta solusinya dikelompokkan pada kategori yang lain.

Langkah selanjutnya adalah verifikasi atau biasa disebut pemeriksaan keabsahan data. Dalam teknik pemeriksaan keabsahan data, dipergunakan teknik triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain, yang secara sederhana dapat dideskripsikan dengan urutan, data, cek dan recek, akhirnya diperoleh data baru (Moleong, 2002: 60). Peneliti akan melakukan kroscek terhadap data yang diperoleh dari para informan TWI dengan menyodorkan pertanyaan yang sama pada orang yang berbeda atau pertanyaan yang sama kepada orang yang sama pula namun dalam waktu yang berbeda. Langkah lain yang dapat dilakukan peneliti adalah dengan memberikan hasil wawancara sebelum diolah kepada informan yang bersangkutan. Dengan demikian, akurasi data dalam penelitian ini dapat terjaga.

Tahapan setelahnya adalah analisa sebagai tahap yang paling penting karena di sinilah letak signifikan dari penelitian ini (Sudjana dan Kusumah, 2000: 84-85). Analisa yang akan digunakan adalah analisa deskriptif, yakni analisa data yang dilakukan dengan memaparkan hasil penelitian tentang manajemen TWI dalam pengelolaan wakaf tunai. Dalam proses analisis data dipakai analisis kualitatif. Analisis kualititatif digunakan untuk memahami, menelaah, mendalami, dan menginterpretasikan fenomena yang timbul di TWI terkait dengan fokus masalah yang dikaji. Hasil dari analisa ini akan menjadi rekomendasi yang nyata untuk lembaga-lembaga pengelola wakaf di Indonesia.

Terakhir adalah penarikan simpulan yang merupakan akhir dari tahapan analisa dengan mengambil beberapa statemen utama sebagai konklusi (Sudjana dan Kusumah, 2000: 84-85). Umumnya, pada bagian ini akan menjadi jawaban secara singkat dan padat dari rumusan masalah tentang TWI yang disebutkan sebelumnya.

G. JADWAL PENELITIAN

Penelitian ini akan dilaksanakan secara bertahap dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, mulai bulan Mei-Oktober 2010 dengan perincian kegiatan sebagai berikut.

No

Kegiatan

Waktu Pelaksanaan

Mei

Juni

Juli

Agust

Sept

Okt

1

Penyempurnaan Proposal

2

Penyiapan Instrumen

3

Persiapan ke Lapangan

4

Penelitian Lapangan

5

Edit dan Klasifikasi Data

6

Verifikasi Data

5

Pembuatan Laporan Awal

6

Diskusi Hasil

7

Pembuatan Laporan Akhir

8

Seminar Hasil Penelitian

9

Perbaikan Laporan

































Melalui jadwal di atas, penelitian ini diharapkan dapat diselesaikan tepat waktu dan menghasilkan temuan penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian ini. Dengan demikian, sikap disiplin dan bertanggung jawab menjadi tantangan tersendiri bagi peneliti untuk menggapai profesionalisme kerja. Wa Allah a’lam.


DAFTAR PUSTAKA

Ain, Fatimawati, 2007, “Pengelolaan Wakaf di Tabung Wakaf Indonesia Jakarta Selatan,” Skripsi, Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ekonomi Islam.

Antonio, Muhammad Syafii, “Pengelolaan Wakaf Secara Produktif”, dalam Djunaidi dan Thobieb, 2007, Menuju Era Wakaf Produktif, Jakarta: Mumtaz Publishing.

Arikunto, Suharsimi, 2006, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta.

Bisri, Cik Hasan, 2004, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ad-Dardiri, t.th., al-Syarh al-Kabir, t.tp.: t.p.

Djunaidi, Achmad (et.al.) 2007, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Zakat.

Endang, Noviati, t.th., “Pengalaman Tabung Wakaf Indonesia Dalam Mengelola Wakaf Tunai,” Makalah, Jakarta: Tabung Wakaf Indonesia.

Hafidhuddin, Didin, 2004, dalam Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah, Hukum Wakaf, diterjemahkan oleh Ahrul Sani Fathurrohman (et.al.), Jakarta, IIMaN Press.

Al-Hafsaki, Alauddin Muhammad bin Ali, t.th., al-Dur al-Mukhtar, t.tp.: t.p.

Ibn Hanbal, Ahmad, t.th., Musnad Ahmad, t.tp.: t.p.

Hasanah, Umrotul, 2005, “Cash Waqf dan Kontribusinya dalam Perekonomian Nasional,” El-Qisth, Volume 1, Nomor 2.

Hasanah, Uswatun, 1997, "Peranan Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial (Studi Kasus Pengelolaan Wakaf di Jakarta Selatan),” Disertasi, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah.

Abu Ishaq, Ibrahim bin Ali, t.th., al-Muhadzab, t.tp.: t.p.

Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah, 2004, Hukum Wakaf, diterjemahkan oleh Ahrul Sani Fathurrohman (et.al.), Jakarta, IIMaN Press.

Karim, Muchit A., (et.al.), 2006, Pengelolaan Wakaf dan Pemberdayaan di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan.

Al-Khatib, Muhammad al-Syarbini, t.th., al-Iqna’ fi Hilli Al-Fadz Abi Syuja’, t.tp.: t.p.

Mannan, M.A., 2001, Sertifikat Wakaf Tunai, Sebuah Inovasi Instrumen keuangan Islam, Jakarta: CIBER dan PKTTI-UI.

Moleong, Lexy, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosda Karya.

Ibnu Majah, Muhammad bin Yazid, t.th., Sunan Ibn Majah, t.tp.: t.p.

An-Nawawi, t.th., Raudhah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, t.tp.: t.p.

Nazir, Moh., 2005, Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia.

Ibn Qudamah, Abdurrahman bin Abu Umar, t.th., al-Syarh al-Kabir, t.tp.: t.p.

Saidi, Zaim, “Kemitraan Investasi Wakaf Produktif,” Makalah, Jakarta: Tabung Wakaf Indonesia.

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofyan (ed.), 2006, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES.

Al-Siwasi, Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid, t.th., Fath al-Qadir, t.tp.: t.p.

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press.

Sudjana, Nana dan Ahwal Kusumah, 2000, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi, Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Syaukani, Imam, “Pemberdayaan Pengelolaan Wakaf Rumah Sakit Islam Sunan Kudus Kabupaten Kudus”, dalam Karim, Muchit A., (et.al.), 2006, Pengelolaan Wakaf dan Pemberdayaan di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan.

At-Turmudzi, Muhammad bin ‘Isa, t.th., Sunan at-Turmuzi, Kairo: Mauqi‘ Wizarah al-Auqaf al-Misriyyah.

Warson, Ahmad, 1984, al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, t.tp.: t.p.

Az-Zuhayli, Wahbah, t.th., al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, Lembar Negara Republik Indonesia tahun 2004 nomor 159.

Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, Lembar Negara Republik Indonesia tahun 2006 nomor 105.


BIODATA PENELITI



A. IDENTITAS DIRI

1

Nama Lengkap

:

SUDIRMAN, M.A.

2

NIP

:

150 368 778

3

TTL

:

Jombang, 22 Agustus 1977

4

Pekerjaan

:

Dosen Fakultas Syariah UIN Malang

5

Domisili

:

Jl. Candi Blok VIB/132 Gasek, Karang Besuki Sukun, Malang

6

Telepon

:

08158209121, 08159689303, 0321-710272

7

Email

:

sudirmanhasan@yahoo.com

8

Blog

:

www.sudirmansetiono.blogspot.com

B. JENJANG PENDIDIKAN

No

Pendidikan

Tahun Lulus

1

Raudlatul Athfal “Perwanida” Jombang

1983

2

Madrasah Ibtidaiyah “Perwanida” Jombang

1989

3

Madrasah Tsanawiyah “Darussalam” Jombang

1992

4

MAN-PK (Program Khusus) Denanyar Jombang

1995

5

Program S-1 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2000

6

Program S-2 PPs UIN Jakarta, Konsentrasi Syariah

2003

7

Program S-2 PPs UIN Jakarta, Konsentrasi Interdisciplinary Islamic Studies (IIS)

2005

8

Program S-3 PPs IAIN Walisongo Semarang, Konsentrasi Wakaf

Sejak 2008

C. PENELITIAN

No

Tema Penelitian

Jabatan

Tahun

1

Pengajaran Privat Agama di Jakarta

Anggota

1998

2

Visi Mahasiswa Syariah tentang Pelaksanaan

Hukum Pidana Islam di Indonesia

Peneliti Utama

2002

3

Tindak Kekerasan terhadap Perempuan

Peneliti Utama

2003

4

Perlindungan Hukum bagi Pelaku Kriminal

Anggota

2003

5

Urgensi Labelisasi di Tingkat Lokal

Anggota

2005

6

Pelaksanaan Zakat sebagai Pengurang

Penghasilan Kena Pajak di Kota Malang

Peneliti Pendamping

2006

7

Pengelolaan Zakat di Era Modern

Peneliti Utama

2007

8

Manajemen Pengelolaan Zakat di Kota Malang

Peneliti Utama

2007

9

Poligini dalam Hukum dan Gender

Peneliti Pendamping

2007

D. BUKU

No

Judul

Status

Tahun Terbit

1

Islam in the Contemporary Indonesia

Penulis Kontributor

2005

2

Di bawah Naungan Al-Qur’an, Cetak Biru Ekonomi Keluarga Sakinah

Editor

2006

3

Zakat dalam Pusaran Arus Modernitas

Penulis

2007

4

The Power of Zakat: Studi Pengelolaan Zakat Asia Tenggara

Editor

2008

5

Ilmu Falak Praktis

Editor

2008

6

Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia

Editor

2008

E. JURNAL

No

Judul

Bentuk

Tahun

1

The Relation Between Religion and Economy:

Study on Weber’s Thesis and Sufism Views

Ulul Albab

2006

2

Yusuf Qardhawi: Pembaharu Fikih Islam

Kontemporer

El-Qisth

2006

3

Labelisasi Halal: Sebuah Keniscayaan

El-Qudwah

2006

4

Pembatasan Usia Perkawinan: Upaya

Meningkatkan Martabat Perempuan

Egalita

2006

5

Tarekat and Social Change: A Comparative Study on the Economic Activities of Tarekat Sadzîyyah in Kudus and Tarekat Shiddiqîyyah in Jombang

Religion and

Science

2007

6

Ibnu Rusyd: Sang Komentator

Sintesis

2007

7

Masyarakat dan Hukum dalam Perspektif Emile

Durkheim

Istinbath

2008


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, 2006, Metodologi Penelitian Agama, pendekatan Multidisipliner, Yogyakarta: Lembaga penelitian UIN Sunan Kalijaga.

Abubakar, Irfan, Cash Waqf in Classical and Present-day Fiqh Discourse, Kultur, Volume 4, Number 1, 2009.

Abubakar, Irfan dan Bamualim, Chaider S. (ed.), 2006, Filantropi Islam & Keadilan Sosial, Studi tentang Potensi, Tradisi, dan Pemanfaatan Filantropi Islam di Indonesia, Jakarta: Pusat Budaya dan Bahasa.

Ali, Muhammad Daud, 2006, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI-Press.

Antonio, Muhammad Syafii, “Pengelolaan Wakaf Secara Produktif”, dalam Djunaidi dan Thobieb, 2007, Menuju Era Wakaf Produktif, Jakarta: Mumtaz Publishing.

Anshori, Abdul Ghofur, 2006, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media.

Arikunto, Suharsimi, 2006, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta.

Bamualim, Chaider S. dan Abubakar, Irfan (ed.), 2005, Revitalisasi Filantropi Islam, Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia,

Bamualim, Chaider S., Islamic Philantrophy in Indonesia: Trends and Challenges Towards Social Justice, Kultur, Volume 4, Number 1, 2009

Bisri, Cik Hasan, 2004, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ad-Dardiri, t.th., al-Syarh al-Kabir, t.tp.: t.p.

Hafidhuddin, Didin, 2004, dalam Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah, Hukum Wakaf, diterjemahkan oleh Ahrul Sani Fathurrohman (et.al.), Jakarta, IIMaN Press.

Al-Hafsaki, Alauddin Muhammad bin Ali, t.th., al-Dur al-Mukhtar, t.tp.: t.p.

Ibn Hanbal, Ahmad, t.th., Musnad Ahmad, t.tp.: t.p.

Hasan, Riaz dan Carkoglu, Ali, Giving and Gaining, Philantrophy and Social Justice in Muslim Societies, Kultur, Volume 4, Number 1, 2009

Hasan, Samiul, Islamic Philantrophy Foundation and Social Justice, Kultur, Volume 4, Number 1, 2009

Hasanah, Uswatun

Abu Ishaq, Ibrahim bin Ali, t.th., al-Muhadzab, t.tp.: t.p.

Ichman (et.al.) (ed.), 2006, Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, diterjemahkan oleh tim CSRC UIN Jakarta, Jakarta: Pusat Budaya dan Bahasa.

Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah, 2004, Hukum Wakaf, diterjemahkan oleh Ahrul Sani Fathurrohman (et.al.), Jakarta, IIMaN Press.

Karim, Muchit A., (et.al.), 2006, Pengelolaan Wakaf dan Pemberdayaan di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan.

Kasiram, Moh., 2008, Metodologi Penelitian Kualitatif-Kuantitatif, Malang: UIN Malang Press.

Al-Khatib, Muhammad al-Syarbini, t.th., al-Iqna’ fi Hilli Al-Fadz Abi Syuja’, t.tp.: t.p.

Meij, Dick van der, Evoking Greater Support for Islamic Philantrophy: the Spanduk and Other Visual Signs of Modern Indonesian Islam, Kultur, Volume 4, Number 1, 2009

Moleong, Lexy, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosda Karya.

An-Naim, Abdullahi Ahmed dan Abdel Halim, Asma Muhamed, Right-Based Approach to Philantrophy for Social Justice in Islamic Societies, Kultur, Volume 4, Number 1, 2009.

Najib, Tuti A. dan al-Makasary, Ridwan (ed), 2006, Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan, Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia, Jakarta: Pusat Budaya dan Bahasa.

Ibnu Majah, Muhammad bin Yazid, t.th., Sunan Ibn Majah, t.tp.: t.p.

An-Nawawi, t.th., Raudhah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, t.tp.: t.p.

Ibn Qudamah, Abdurrahman bin Abu Umar, t.th., al-Syarh al-Kabir, t.tp.: t.p.

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofyan (ed.), 2006, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES.

Al-Siwasi, Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid, t.th., Fath al-Qadir, t.tp.: t.p.

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press.

Sudjana, Nana dan Ahwal Kusumah, 2000, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000.

Syaukani, Imam, “Pemberdayaan Pengelolaan Wakaf Rumah Sakit Islam Sunan Kudus Kabupaten Kudus”, dalam Karim, Muchit A., (et.al.), 2006, Pengelolaan Wakaf dan Pemberdayaan di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan.

At-Turmudzi, Muhammad bin ‘Isa, t.th., Sunan at-Turmuzi, Kairo: Mauqi‘ Wizarah al-Auqaf al-Misriyyah.



[1] Hadis nomor 9079, Kitab al-Musnad, bab Musnad Abu Hurairah.

[2] Sementara ini data telah dicoba untuk ditanyakan langsung pada tanggal 31 Maret 2009 ke bagian pemberdayaan wakaf Departemen Agama, namun hingga saat ini belum terdapat data yang akurat karena informasi dari pengelola wakaf di daerah belum semuanya terdeteksi.

[3] Laporan Keuangan Tahun 2008 yang dikeluarkan oleh TWI diperoleh dari Bagian Penelitian TWI, tanggal 15 Maret 2009. Menurut laporan Fatimawati Ain (2007: 89), dana TWI telah dikucurkan untuk kegiatan produktif lebih dari 80%.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction