Selasa, 05 Mei 2009

OBSERVASI DI WARUNG BU HADI

GAMBARAN UMUM LOKASI

Observasi dilakukan di sebuah warung makan milik Bu Hadi yang cukup terkenal di kalangan mahasiswa IAIN Walisongo. Pada dasarnya, menu warung yang buka setiap hari mulai pukul 06.00-10.00 wib ini tidak jauh beda dengan warung lain, bahkan cenderung minimalis, artinya variasinya tidak banyak dan setiap hari jarang berganti. Hal yang membedakan adalah pelayanan yang ramah dan harga yang relatif murah.

Observasi dilakukan untuk melihat proses percakapan yang dilakukan bu Hadi dengan para pelanggannya. Setiap melayani pembeli, khususnya yang akan makan di tempat, bu Hadi selalu bertanya “nasi kecil atau sedang?”. Ini artinya porsi nasinya yang berkosenkuensi dengan harga. Jika nasi kecil harganya Rp.1.500, jika nasi sedang Rp. 2.000. Si pembeli pun meminta porsi yang diinginkan. Umumnya bilang “sedang, Bu!”. Bu hadi kemudian dengan cepat mengambil piring yang memang sudah tertata di sebelah kanannya dan meletakkan nasi di atasnya dengan sebuah centong, lalu bertanya lagi, “Campur, Mas?” ini berarti lauknya adalah satu paket, yakni tempe orek, oseng buncis, mi goreng, dan kuah bali atau kare. Lalu bu Hadi meyerahkan kepada pembelinya.

Jika pengantri cukup banyak, bu hadi mendahulukan pelanggan yang makan di tempat, baru kemudian pelanggan yang pesan nasi bungkus. Setalah transaksi, bu hadi selalu mengucapkan “Terima kasih ya, Mas/Mbak!” diikuti dengan seulas senyuman. Mungkin ini yang membuat pelanggan jadi rela ngantri dan setia menikmati masakan warung Bu Hadi. Padahal kalau mau, banyak warung yang tersebar di sekitar rumah bu hadi. Ada warung Bu Sri, Warung Pojok atau beberapa warung yang bukanya justru dari pagi hingga siang atau bahkan malam.

LAPORAN OBSERVASI

Observasi dilakukan pada pukul 06.00-06.15 wib pada hari Senin 24 November 2008. Bu Hadi memakai baju hijau lengan panjang dan rok panjang sampai di bawah lutut serta mengenakan sandal japit. Rambutnya ditutupi kerudung sederhana warna putih agak kusam yang diikat ke belakang. Ia juga mengenakan kain penutup bagian depan tubuh yang lazim dipakai orang memasak di dapur. Maklum selain melayani para pembeli, ia juga harus bolak-bolak ke depan tungku untuk memasukkan bahan gorengan tahu dan bakwan, lalu membolak-balikkan, dan meniriskannya jika sudah matang. Suasana pagi itu cukup ceria diiringi lagi dangdut dari stasiun radio Rasika Semarang yang berslogan “Semarang Tanpa Dangdung, Geger!” yang sedang menyajikan acara Es Campur, singkatan dari Esok-Esok Campur Sari. Percakapan pagi itu terjadi antara beberapa pelanggan, tak banyak karena masih pagi, dan seorang cucunya yang hendak berangkat ke sekolah.

Pelanggan pertama seorang perempuan agak gemuk, memakai kaus putih lengan pendek dan rok biru. Wajahnya santai tanpa ekspresi. Ia berdiri di dekat bu Hadi. Suaranya lirih hingga hampir bu Hadi tak mendengarnya. “Beli apa apa, Mbak?” “Nasi bungkus”, katanya singkat. Dengan cekatan bu Hadi mengambil selembar kertas koran yang telah dipotong kotak dan selembar daun pisang yang lebarnya sekitar sejengkal. Ia mengambil nasi dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya memegang kertas yang siap disi nasi. Secentong nasi sudah dipindahkan ke kertas pembungkus tadi dan bu Hadi menaburinya dengan beberapa menu khasnya: mi goreng, oseng buncis dan wortel, serta kering tempe. Rupanya perempuan itu hanya membeli satu bungkus saja. Ia juga mengambil beberapa potong tahu goreng. Akhirnya, ia pun membayar dengan merogok uangnya di saku depan kaosnya. Dengan mimik yang tetap tanpa ekspresi, ia pun pergi dengan santai. Tak luga bu Hadi mengucapkan “terima kasih” mengiringi langkah perempuan itu.

Bu hadi kemudian menanyakan kepada saya apakah saya makan di tempat. Memang biasanya saya membungkus atau hanya beli gorengan saja. Saya bilang, “Ya, Buk.” Bu Hadi bertanya, “Teh, Mas?” Saya jawab, “Ya.” Bu hadi langsung menyambar gelas besar yang ada pegangannya dan memasukkan seberapa sendok guka pasir. Ia lalu menuangkan air teh hangat yang sudah ada di sebelah kanannya, bersebelahan dengan sebakul nasi. Tanpa diaduk ia memberikan kepada saya dengan tangan kirinya. “Monggo, Mas.” “Makan sedang, Mas?” “Ya.” Ia pun lantas mengambil piring dan menyiapkan menu khasnya. Saya lalu minta sepotong ikan bandeng sebagai menu tambahan.

Sebenarnya, sebelum saya masuk, di warung itu sudah ada seorang pelanggan laki-laki muda, sepertinya mahasiswa S1, yang sedang makan. Ia memakai baju garis-aris warna coklat kombinasi hitam lengan panjang dan memakai sarung motif kotak warna hijau. Setelah selesai makan, ia berdiri mendekati bu Hadi dan bertanya, “Berapa, Buk?” “Sedang dan teh ya, Mas?” “Ya,” “e..,2.700.” Anak muda itu kemudian mengeluarkan uang seribuan tiga lembar dan memberikannya kepada bu Hadi. Bu Hadi mengambil uang kembalian berupa seratusan perak sebanyak tiga buah dari kotak penyimpanan uang yang diletakkan dekat bakul nasi. Tak lupa ia juga mengucapkan terima kasih dengan senyuman.

Sambil menunggu kedatangan pelanggan lainnya, Bu Hadi menuju tungkunya, membalik gorengan di satu kompor sedangkan di kompor lain ia mengentas gorengan tahu. Ada tiga kompor yang sedang menyala dengan api cukup besar. Sambil sedikit membungkuk, matanya tertuju pada wajan yang minyaknya sedang bergolak. Suaranya bersahutan dengan suara penyiar radio atau iklan dari radio Rasika yang sedang bergema memenuhi ruangan.

Sambil makan dan menikmati segelas air teh saya memperhatikan kalau-kalau ada pembeli lain yang datang. Pagi itu masih sepi. Biasanya warung mulai ramai menjelang pukul 07.00 wib. Satu calon pembeli, seorang laki-laki dengan kaos oblong hijau dan celana pendek, masuk. Bu Hadi bertanya, “Teh, Mas?” “Iya, Buk!” “Kecil, Mas?” “Ya.” Mimik laki-laki yang rambutnya agak acak-acakan itu juga sepertinya tanpa ekspresi. Tak ada senyuman. Bu Hadi melayani dengan cepat seperti pelanggan sebelumnya.

Tak lama kemudian, cucu perempuannya yang masih sekolah dibangku SD masuk. Nampaknya ia baru kelas satu atau dua. Ia mengenakan baju merah putih khas SD. Rambutnya yang lurus dan panjang diikat ke belakang dan memakai sepatu hitam serta kaos kaki putih sebetis. Bu Hadi sedang membalik gorengan, sambil membungkuk dan membelakangi si cucu. Ia bertanya, “Adik sudah bangun?” “Belum,” “Apa nggak sekolah?” “Nanti masuknya jam 8.” Jawab si cucu singkat. Bu hadi sambil bertanya dan mengangkat gorengan dari wajan dan meletakkan di atas meja makan. Tak lama kemudian bu Hadi mengambil uang seribu rupiah dan memberikan kepada cucunya untuk jajan. Tak lupa ia sedikit menunduk dan mencium pipi kiri cucunya itu. Sambil tersenyum sang cucu pun pergi keluar sambil mengucap salam.

Saya pun pamit pulang, sambil membayar terlebih dahulu makanan yang sudah pindah ke perut. Bu hadi pun tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Saya melangkah keluar warung dengan hati lega. Observasi telah selesai dan perut sudah kenyang, siap melanjutkan aktifitas hari itu. Ok!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction