Hari Kamis ini saya telah menghabiskan waktu untuk keliling kota Chicago. Saya berhasil mengunjungi dua lembaga filantropi di kawasan utara kota, yakni Muslim Community Center dan al-Takaful Islamic Society. Sebelum ke sana, saya sempat diajak terlebih dahulu mengunjungi rumah sakit khusus gigi untuk memeriksakan gigi Kemal, putra mas Mun'im.
Di Medical center itu, saya menyaksikan teknis rumah sakit modern dalam melayani pasien. Ya, seperti biasanya, model pelayanan publik sudah banyak diganti dengan mesin. Misalnya, untuk pendaftaran pasien, pengunjung tidak harus mendatangi loket pendaftaran yang memang tidak ada, namun ia tinggal memasukkan identitas pasien di sebuah mesin di sebelah kanan pintu masuk. Kemudian, muncullah kertas urut pasien sebagai tanda bahwa data pasien sudah terekam dengan benar. Selanjutnya, pengunjung menuju deretan tenpat duduk di lobi rumah sakit hingga nomornya dipanggil. Tak beberapa lama, nomor Kemal dipanggil untuk masuk ke ruang periksa. Mas Mun'im meminta saya menunggu sebentar sementara ia mengantar Kemal menemui dokter. Ia berkata bahwa ia tidak akan lama karena anaknya tidak boleh ditemani agar ia terlatih mandiri. Orang tua harus kembali ke kursi tunggu sementara dokter akan bekerja menangani pasien. Nanti, kalau sudah selesai, dokter akan mengantar si anak ke orang tuanya sekalian menjelaskan hasil diagnosanya. Aneh bukan? Kalau di Indonesia, orang tua tentu wajib menunggui anaknya sambil mendengarkan penjelasan dokter di ruang periksa. Dokter pun tidak akan pernah sempat mengantarkan sang anak ke orang tuanya di luar ruangan. Tapi itulah rumah sakit di Chicago, Illinois, ini.
Setelah mengunjungi rumah sakit, saya diajak ke lokasi penelitian. Saya senang sekali ternyata lembaga-lembaga berlabel Islam yang saya datangi begitu antusias menerima kedatangan saya walau tanpa perjanjian terlebih dahulu. Untuk at-Takaful Islamic Society, orang yang bertugas melayani tamu penelitian sedang tidak ada di tempat. Saya dijanjikan untuk diberi kesempatan untuk dialog esok hari. Kemudian, manajer Muslim Community Center begitu antusias melayani setiap pertanyaan yang saya ajukan. Hampir dua jam saya berada di lembaga ini. Saya cukup puas mendapatkan data yang saya inginkan.
Sepulang dari penelitian, saya diajak menikmati indahnya Chicago. Di kota yang cukup padat itu, saya sempat melihat kemacetan lalulintas beberapa saat. Tapi tentunya tidak separah Surabaya. Semua orang sabar menunggu kesempatan untuk jalan. Tak ada suara klakson atau tindakan saling srobot. Para pengendara itu seakan tahu bahwa budaya antri sudah menjadi harga mati. Setelah itu, saya diantar mas Mun'im ke lake Michigan di tengah kota Chicago. Indah nian pemandangan danau itu. Air jernih menghampar mengelingi panorama apik bangunan pencakar langit yang berada pusat kota itu. Banyak orang yang memanfaatkan tempat wisata itu untuk berjemur, berenang atau main jetski. Penataan ruang yang indah menjadikan danau itu sebagai tempat yang eksotik untuk beristirahat dengan nyaman. Angin semilir nan sejuk di sore hari membuat saya betah untuk duduk-duduk di atas bebatuan yang tertata di tepi danau.
Menjelang maghrib, saya dan mas Mun'im pun beranjak. Lokasi terakhir yang saya kunjungi adalah Dunkin Donuts tempat Mbak Nung bekerja. Saya senang bisa menyantap donut dan teh hangat gratis di gerai makan cepat saji itu. Sambil berdiskusi ringan dengan Mas Mun'im, saya mengamati suasana toko itu dengan cermat. Di beberapa sudut terpampang lukisan grafiti yang unik. Grafiti merupakan lukisan abstrak yang menggambarkan hiruk pikuk manusia dalam menjalankan profesinya. Biasanya diawali dengan garis-garis tebal membentuk karakter manusia dengan pesan kritik sosial. Namun, grafiti yang berada di Dunkin itu menyiratkan kedamaian dan semangat kerja tinggi dalam meraih kesuksesan. Warna-warna yang dipilih memberikan suasananya hangat bagi para pengunjung. Setelah puas menikmati donut, kami pun pamit pulang. Lega hati saya dapat menjalankan sejumlah rencana dengan lancar. Alhamdulillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar