Ketika bulan Ramadhan hendak berakhir, setiap umat Islam yang sadar akan kewajibannya akan berpikir tentang zakat. Umumnya, zakat yang hendak mereka tunaikan adalah zakat fitrah yang umumnya diserahkan di malam takbiran. Beberapa orang akan mendatangi masjid dan mushalla untuk membayar zakatnya. Sebagian lain akan menyerahkan langsung kepada mustahiq dengan caranya sendiri. Tak sedikit pula mereka yang menitipkan zakat fitrahnya ke lembaga amil zakat, baik milik pemerintah maupun swasta.
Satu hal yang mereka sering lupa adalah zakat mal. Tidak jarang dari kita yang diberi karunia Tuhan berupa harta benda yang melimpah. Rumah luas, mobil mewah, dan seperangkat perhiasan yang tersimpan di almari nampaknya tidak menggerakkan hatinya untuk berzakat. Mungkin, keyakinannya menuturkan bahwa dirinya hanya punya kewajiban zakat fitrah, bukan zakat mal.
Fenomena lainnya adalah banyak orang yang begitu sibuknya dengan mudik. Biaya sebesar apapun ditanggungnya demi mudik ke kampung halaman. Segepok uang pun disiapkan termasuk oleh-oleh untuk orang-orang tercinta di tanah kelahiran. Baju baru pun siap dikenakan untuk merayakan hari besar umat Islam, idul Fitri. Pertanyaannya, sudahkah mereka membayar zakat mal? Terkadang tidak logis ketika kita melihat bahwa zakat mal begitu berat terasanya namun untuk keperluan lebaran begitu ringannya. Padahal, jika dikalkulasi, besarnya zakat mal jauh lebih kecil ketimbang biaya opersional lebaran. Kalau sedemikian fenomenanya, hal-hal yang wajib telah dikalahkan dengan hal-hal yang sunah. Ini berarti telah terjadi 'malapetaka' di tengah-tengah umat kita.
Lebaran dengan beragam acara ritualnya tidak dilarang. Memakai baju bagus dibolehkan dalam Islam. Berbagi angpao kepada handai tolan dan kerabat sangat disarankan. Namun, jelas, itu semua harusnya baru dilakukan setelah seluruh kewajiban kita telah dilaksanakan. Bukan malah sebaliknya, rutinitas sosial diutamakan mengalahkan kewajiban agama. Rasa malu tidak berbagai angpao mengalahkan rasa malunya tidak membayar zakat. Ini tentu menjadi tugas para tokoh agama untuk menyadarkan masyarakat agar tidak terperosok dengan kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Barangkali ada satu kompromi yang bisa diajukan di sini, yakni pembagian angpao atau sedekah kepada handai tolan, khususnya yang kurang mampu diniatkan sebagai zakat. Misalnya, si Ahmad berkewajiban untuk mengeluarkan zakat malnya sebesar 1 juta rupiah. Ia kemudian mendata orang-orang di kampungnya yang layak memperoleh santunan. Ia bisa rupakan zakatnya dalam bentuk barang maupun uang. Dengan demikian, saat Ahmad pulang kampung, uang zakatnya sudah dipersiapkan untuk diberikan kepada mereka yang berhak menerima. Hal ini berarti pembagian angpao/sedekah bisa sekaligus sebagai pembayaran zakat.
Satu hal yang harus diingat dalam kasus ini adalah bahwa penerima zakat hanya terbatas kepada kelompok tertentu, yakni delapan golongan yang antara lain adalah fakir miskin dan orang yang banyak hutang. Kita tentu tidak bisa membagikan angpao yang diniati zakat kepada ayah ibu kita atau saudara kita yang secara ekonomi telah mapan. Zakat semacam ini tentu salah sasaran. Di sinilah kemudian pemahaman zakat secara komprehensif patut dimiliki oleh setiap insan yang mengaku dirinya muslim. Wa Allah A'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar