Rabu, 08 September 2010
LEBARAN DALAM PERTAPAAN
Satu hari lagi, lebaran akan tiba. Itu berarti masa tersulit akan datang menyapaku. Semoga saja aku tidak berlinang air mata mengingat masa-masa indah di Indonesia. Baru tahun ini aku benar-benar tidak bisa merayakan Idul Fitri bersama keluarga, baik keluarga kecilku maupun keluarga besarku. Sedih nian rasa hati, tapi itu semua sudah kuperkirakan jauh-jauh hari sebelum keberangkatan.
Di Iowa, aku begitu merasa terasing. Bisa kukatakan bahwa saat ini aku seperti sedang bertapa di sebuah gua yang sunyi atau di ujung bukit yang sepi. Meskipun banyak orang berlalu lalang di sekitarku, namun mereka tidak ada yang peduli, meski hanya sekedar bertegur sapa. Semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Satu sisi aku senang karena aku akan bisa konsentrasi mengerjakan proyek penelitianku yang dikejar waktu. Namun, sisi lain, hatiku berontak. Aku belum pernah mengalami kehidupan sesepi ini. Aku sudah berusaha membunuh kesendirianku dengan cara memasuki dua kelas formal dan bergaul dengan banyak orang di acara cultural sharing setiap minggunya. Namun entah, mungkin karena biasanya aku begitu aktif bertemu orang setiap harinya sehingga aku benar-benar merasa aneh dengan kehidupanku saat ini.
Di kantor aku mendapat fasilitas lengkap: satu ruang kerja dengan berbagai pirantinya seperti komputer, meja tulis, dan rak buku. Seharian kuhabiskan waktuku untuk menatap layar monitor dan membaca buku. Memang, kesempatan ini tentu langka dan sangat berharga mengingat waktu penulisan disertasiku tinggal sebentar lagi. Aku seperti dikurung untuk segera menuntaskan beban studiku sehingga kelak saat aku balik ke Indonesia, aku tinggal meneruskan hidupku pada tahap selanjutnya. Untuk hal ini, aku tentu sangat bersyukur. Aku berharap aku bisa mencapai target maksimal yang telah aku canangkan, yakni selesai 80% draft disertasi.
Di rumah, aku mempunyai ruang kamar yang cukup lega dan lumayan nyaman. Semua perlengkapan belajar, masak, dan tidur sudah lengkap. Aku bisa istirahat kapan saja tanpa diganggu oleh orang lain. Aku juga bisa membuat makanan apa saja sesuka hatiku tanpa rikuh dengan tetangga. Tempat tidur empuk pemberian kawan juga sudah terhampar. Tentu aku tidak boleh lupa mengucap syukur atas semua karunia ini.
Begitu pula di perpustakaan. Aku bebas meminjam buku apa saja dalam waktu sangat lama. Aku bisa mengakses database online baik jurnal maupun buku. Jika aku membutuhkan buku untuk koleksi sendiri aku bisa membelinya online melalui Amazon. Ini semua fasilitas sungguh menakjubkan bagiku untuk bisa segera menjadi orang yang memiliki ilmu pengetahuan luas sebagai investasi masa depan untuk mencapai tujuan hidupku sebagai orang yang dapat memberikan manfaat bagi lingkungannya. Aku berharap mampu mengabdikan ilmu yang kuperoleh dengan susah payah ini kepada keluargaku, tempat kerjaku, dan masyarakat luas yang mungkin membutuhkan setetes ilmu yang dititipkan tuhan kepadaku.
Saat ini aku benar-benar sudah settled, artinya aku sudah tidak dipusingkan lagi dengan hal-hal teknis seperti mencari rumah, mencari telepon murah, atau membiasakan dengan fasilitas umum. Semua sudah cukup bagiku. Mungkin tinggal cuaca saja yang aku belum tahu. Ketika winter misalnya, aku memang belum persiapan untuk membeli jaket tebal, sarung tangan, atau sepatu boot. Tapi, semoga saja itu tidak menyulitkanku ketika sudah tiba masanya.
Lalu apa yang kurang? Yakni satu hal, sosialisasi. Hatiku begitu kering tanpa senyuman lawan bicara. Lidahku seakan pensiun karena jarang kugunakan untuk berkomunikasi. Paling-paling aku telepon keluarga atau kawan dan itu pasti menggunakan bahasa Indonesia atau bahkan Jawa. Praktis, setelah aku tidak lagi mengikuti kursus bahasa, praktik bahasaku benar-benar macet. Lalu bagaimana aku mengatasi permasalahan mendasar ini?
Aku coba membaca beberapa buku atau artikel dengan suara agak keras sehingga sepertinya aku sedang berbicara dengan atau menerangkan kepada orang lain. Ini cukup efektif untuk menjaga kelenturan lidahku untuk berbahasa asing. Cara kedua adalah aku selalu aktif berdiskusi ketika aku mengikuti cultural sharing setiap hari Jumat. Aku juga lebih aktif berkomunikasi dengan pembimbing penelitianku dan beberapa lembaga luar kampus yang menjadi sasaran penelitianku. Cara lain adalah aku menulis, seperti di blog ini. Cara ini memang tidak langsung bertatap muka, tetapi aku merasa bahwa hal ini akan tetap menjaga ingatanku tentang bahasa lisan.
Cukupkah? Memang cara-caraku di atas belumlah cukup untuk mengusir kerisauan hatiku. Kadang aku merasa seperti sedang dipenjara di satu sel sendirian. Tapi tentu, pikiran itu bukanlah positif, karena justru membuat batinku kian menderita. Pada akhirnya, aku harus tabah dan ikhlas dengan situasi yang saat ini sedang kualami. Toh, dulu aku memang pernah memimpikannya. Ketika saat ini telah menjadi kenyataan, tentunya sangat tidak bijak jika kemudian aku mengeluhkannya. Aku harus mampu berpikir positif dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya karena jelas sepenggal pengalaman hidup di Amerika ini rasanya tidak akan pernah terulang kembali. Aku juga tidak ingin pengorbanan banyak pihak termasuk istri dan kedua anakku sia-sia. Mereka begitu tegar harus menjalani hidup tanpa keberadaanku. Dengan demikian, aku harus bisa lebih produktif dan mencapai harapanku, harapan keluargaku, kawanku, institusiku, dan masyarakat banyak yang mendukung studiku di sini. Semoga. Wa Allah a'lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar