Apa yang saya rasakan ketika tiba beduk magrib di hari terakhir Ramadhan? Senang campur haru (padahal tidak dengar azan lho, apalagi beduk hehe). Saya tentu senang karena ternyata saya bisa tuntas menyelesaikan kewajiban puasa satu bulan penuh. Padahal kalau saya mau absen, tidak ada seorang pun yang tahu. Apalagi, semua toko makanan buka setiap hari. Saya juga beberapa kali ikut acara resepsi makan-makan bersama Fulbright dan kawan-kawan, tetapi untungnya saya masih bisa bertahan untuk tidak mencicipi hidangan lezat yang tersedia meski secuil. Padahal, tentunya ketika semua orang makan, saya bisa "nakal" sedikit, comot sepotong dan telan, mumpung tak ada orang yang mengerti kalau saya sedang puasa.
Hari Kamis kemarin, kebetulan saya bersama temen-temen Indonesia mendapat undangan khusus dari pak Heru untuk berbuka puasa di rumahnya sekaligus merayakan malam takbiran. Saya numpang mobil mas Eri untuk pergi kesana. Sesampai di rumah pak Heru, ternyata bu Heru sudah menyediakan makanan khas lebaran, berupa opor ayam, rendang sapi, dan sambal goreng kentang ati. Mbak Meli, istrinya mas Eri, juga bawa lontong sebagai pengganti ketupat. MBak Cecil yang katolik pun tak mau ketinggalan. Dia membuat tempe mendoan hasil karyanya sendiri. Mbak Cecil berhasil membuat tempe setelah mencoba beberapa kali. Raginya diperoleh dari kawan Indonesia yang baru datang. Wah, lebaran di kampung orang begini ternyata masih bisa syahdu meskipun tak terdengar genderang takbiran. Saya hanya bisa takbiran dalam hati.
Pagi ini, saya pergi mencari lapangan tempat shalat Ied. Kebetulan tempatnya tidak jauh, sekitar 10 menit naik bis. Saya sudah cukup paham suasana kota ini sehingga untuk kali ini saya tidak mengganggu mas Eri seperti biasanya. Saya telusuri jalan yang katanya akan dijadikan sebagai tempat jamaah Ied. Saya sempat bingung karena lapangan yang katanya dekat perpustakaan kota itu tidak ada. Setelah tanya seorang wanita berjilbab di sekitar perpustakaan, barulah saya tahu bahwa shalat iednya dilaksanakan di lantai dua sebuah gedung depan perpustakaan. Wajar saja kalau saya tidak melihat orang hilir mudik menggelar sajadah sebab lapangan yang dimaksud adalah ruang besar di hotel tersebut.
Sambil menaiki tangga saya coba lihat kerumunan orang di sekitar saya barang kali saya bertemu kawan-kawan yang saya kenal. Tapi, kali ini saya hanya melihat lautan orang dari berbagai negara, seperti Saudi, Asia, Afrika, dan warga Amerika. Jadilah shalat idul fitri ini seperti shalat di masjidil haram (hanya membayangkan lho...). Orang bicara dengan bahasanya masing-masing meskipun Arab merupakan bahasa yang paling dominan. Lantunan takbir terdengar dari para jamaah. Saya termangu haru membayangkan situasi shalat ied di kampung halaman. Batapa nikmatnya shalat ied bersama keluarga dan kawan-kawan karib. Di sini, saya sendirian, tak mengenal seorang pun. Mas Eri atau pak Heru pun tak kelihatan batang hidungnya. Maklum, karena berangkat tidak bersamaan, mereka bak ditelan lautan manusia yang menyesaki balroom hotel itu.
Model khutbah shalat dan khutbah relatif sama dengan praktik di Indonesia. Shalat dua rakaat dilangsungkan dengan khusyu'. Setelah itu, dua khutbah pun disampaikan oleh sang imam. Hanya ada beberapa hal yang agak berbeda. Pertama, sebelum shalat ied dilaksanakan, beberapa kali panitia penyelenggara mengumumkan bahwa bagi siapa saja yang belum membayar zakat dihimbau segera membayarkan zakatnya dengan uang sebesar 10 dolar. Bahkan, beberapa petugas siap berkeliling untuk memberi layanan bagi jamaah yang belum berzakat fitrah. Hal ini tentu berbeda dengan tradisi di Indonesia yang sepertinya tidak memberikan kesempatan kepada seorang pun membayar zakat di arena shalat ied. Mungkin, masyarakat Indonesia menganut pemahaman bahwa zakat fitrah itu harus sudah sampai ke tangan mustahiq sebelum shalat ied. Hal ini tentu berbeda dengan kaum muslimin di Iowa. Mereka lebih menekankan kepada kewajiban pembayaran zakat yang harus dilakukan sebelum shalat ied, sementara pembagiannya bisa dilakukan setelah shalat ied.
Hal kedua yang terasa agak aneh adalah sang imam bisa merangkap sekaligus sebagai panitia, baik dari sisi menenangkan dan menegur jamaah yang ramai atau menyampaikan pengumuman di sela-sela khutbahnya. Hal ini kalau di Indonesia tentunya dianggap janggal. Khatih biasanya hanya konsentrasi kepada penyampaian materi khutbah tanpa memberikan teguran atau pengumuman selama ia berceramah. Tugas untuk menegur atau menyampaikan pengumuman lazimnya ditangani oleh panitia, baik sebelum atau sesudah khutbah.
Hal yang terakhir adalah saran dari imam kepada jamaah untuk bebas memilih untuk ikut shalat Jumat atau tidak karena shalat ied di hari Jumat dianggap sudah bisa mewakili shalat Jumat. Kejujuran informasi semacam ini jelas jarang terjadi di Indonesia. Biasanya, hanya beberapa orang saja yang tidak menghadiri shalat Jumat ketika ia sudah mengikuti shalat ied di pagi harinya. Kalau di Iowa, jamaah bisa memilih untuk hadir atau tidak pada ibadah shalat Jumat. Setelah saya renungkan, hal ini memang sangat sesuai dengan situasi umat Islam di Amerika yang harus tetap masuk kantor di hari raya idul fitri. Pemerintah tidak memberikan hari libur khusus nasional seperti yang terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, jika seseorang mengikuti shalat ied dan shalat Jumat pada hari yang sama tentu akan menyebabkan pekerjaan kantornya terbengkalai.
Akhirnya, hari lebaran pun telah tiba dan segera berlalu. Semua orang kembali konsentrasi kepada pekerjaannya masing-masing seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tak ada tradisi halal bi halal apalagi mudik. Meskipun begitu, saya setidaknya cukup terhibur dengan model perayaan idul fitri di perantauan bersama kawan-kawan Indonesia dan ikhwan muslim dari berbagai penjuru dunia yang bermukim di Iowa. alhamdulillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar