Kamis, 11 Maret 2010

NARSISME



Narsisme adalah sikap mengagumi diri sendiri secara berlebihan. Seseorang yang memiliki watak ini biasanya suka bercermin dan menonjolkan diri di hadapan umum. Istilah narsisme diangkat dari kisah Narsis yang ada dalam legenda Yunani. Narsis suka sekali melihat keindahan wajah dan tubuhnya dalam pantulan air kolam. Ia tak henti-hentinya memuji dirinya sendiri. Karena begitu sukanya, ia tidak sadar kalau akhirnya ia mati tenggelam di air kolam bersama bayangannya.

Di kehidupan bermasyarakat, ada sebagian orang yang tidak suka dengan kepribadian narsisme. Mereka menghujat orang-orang yang ada di sekelilingnya ketika mereka menunjukkan kemampuan aslinya. Orang lain dianggap berlebihan ketika mereka memberikan pengabdian terbaik yang mereka bisa. Lalu, anggapan tersebut digunakan untuk menyudutkan orangiorang kreatif tersebut. “Dasar narsis,” demikain salah satu hujatannya. Inilah watak orang yang tidak ingin melihat orang lain maju. Mereka senantiasa iri hati ketika ada kawan atau mitra kerjanya bekerja secara maksimal. Mereka takut tersaingi dan ketinggalan dalam prestasi.

Prilaku kurang sehat dengan selalu menghindarkan diri dari tradisi menunjukkan kemampuan terbaik bisa jadi merupakan akibat logis dari metode pendidikan yang diterapkan di lingkungannya. Misalnya, dalam penelitian Hildred Geertz, The Javanese Family, watak orang Jawa yang kurang berani tampil ke depan merupakan hasil kulminasi dari serangkaian ajaran yang ditanamkan oleh budaya Jawa sejak kecil. Seorang anak yang sedang bermain agak keras dan menantang, seperti memanjat pohon, orang tua segera melarang dan menakut-nakutinya kalau nantinya ia jatuh, ia akan jadi kodok. Begitu pula ketika anak suka berpetualang segera dihentikan karena dikhawatirkan menjadi orang yang kasar dan tidak sopan. Padahal, metode pembelajaran yang cenderung mengekang kreatifitas dan imajinasi anak akan membuat mereka dihantui oleh perasaan rendah diri dan takut tampil ke depan publik. Nah, pada gilirannya, ketika dewasa, anak-anak ini akan menjadi orang yang selalu duduk di belakang, malu bertanya, takut berkata jujur, penuh dengan ketidakpastian, khawatir dianggap sombong, dan tidak berani menanggung resiko. Apa jadinya ketika seseorang sedang mengikuti wawancara pencarian bakat atau keahlian lalu ia berkata bahwa ia hanya memiliki pengetahuan sedikit. Seperti kisah penjaringan tenaga kerja di sebuah instansi yang membutuhkan karyawan yang memiliki skill komputer sebagai berikut.

Salah satu peserta seleksi ini adalah alumni dari Pascasarjana Universitas Gajah Mada jurusan Ilmu Komputer. Saat ia mendapat giliran wawancara, ia ditanya oleh tim penguji. “Anda pernah belajar komputer?” “Iya Pak, tapi sedikit.” “Program apa saja yang Anda kuasai?” “ada sih, Pak, tapi tidak banyak.” “Apa yang bisa Anda berikan ke lembaga ini jika Anda diterima?” “Saya akan bekerja sebisa saya, tapi maaf pak saya ini hanyalah orang yang memiliki ilmu terbatas.” dst. Tentu setelah wawancara berakhir, nama orang tersebut secara langsung dan meyakinkan akan dicoret dari daftar calon karyawan. Mengapa? Sebenarnya ia punya kemampuan mumpuni di bidang komputer sesuai dengan bidang yang ia geluti saat belajar di program magister, apalagi alumnus UGM. Akan tetapi, karena ia biasa diajari untuk selalu bersikap tawadhu’, hingga dalam proses pencarian kerja pun, seharusnya ia bicara terbuka apa adanya serta menunjukkan kemampuannya yang sesungguhnya, ia malah merendahkan diri seakan-akan hal itu dianggap lumrah. Inilah hasil pendidikan yang kurang menguntungkan bagi kehidupan yang sangat kompetitif seperti saat ini.

Kembali ke masalah narsisme. Pada level tertentu, narsisme bisa jadi diperlukan dalam rangka menciptakan rasa percaya diri. Seseorang harus bangkit dan berdiri di atas kakinya sendiri, bukan selalu bergantung kepada orang lain. Ia semestinya berani unjuk gigi dan keahlian ketika memang dibutuhkan. Rasa tawadhu’ atau rendah hati memang diperlukan namun harus disesuaikan dengan konteksnya. Oleh sebab itu, meskipun sikap menutup diri dianggap perlu oleh sebagian kalangan, tetapi seringkali sikap ini sangat merugikan, baik untuk diri kita maupun untuk orang lain.

Akhirnya, sikap selalu mencemooh orang lain dengan label narsisme tentu pada akhirnya akan merugikan dirinya sendiri. Adapun sikap selalu berbenah dan adaptif dengan situasi akan membuat seseorang dapat menjalani hidupnya dengan sukses. Wa Allah a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction