Jumat, 26 Maret 2010
MENGELOLA KELAS VS PENGAJIAN
Sejak berstatus mahasiswa UIN Jakarta, saya seringkali diberi kesempatan untuk mengisi pengajian. Reputasinya memang masih tingkat lokal, misalnya di lingkungan mushalla, masjid, atau majlis ta’lim. Maklumlah, itung-itung saya masih belajar bicara di depan umum. Semua saya jalani dengan senang hati. Saya mencoba menyesuaikan diri dengan situasi pengajian yang tidak menentu, sangat lentur dan tergantung mood jamaah. Pengalaman demi pengalaman saya lalui dan kian menambah wawasan dan kedewasaan saya. Pelbagai kondisi yang saya hadapi semakin menantang diri saya untuk memberikan pengabdian terbaik kepada masyarakat.
Kemudian, ketika saya mulai dipercaya mengajar mahasiswa S-1 di UIN Jakarta tatkala saya mengawali kuliah program magister, saya banyak menemui pengalaman baru. Saya harus menyampaikan materi kuliah secara sistematis, lugas, dan transparan. Jika ada penjelasan yang kurang dipahami, mahasiswa dengan kritisnya akan menyampaikan pertanyaan kepada saya. Praktis, tuntutan untuk membisakan orang menjadi salah satu beban sekaligus tantangan bagi seorang dosen.
Nah, jika dibandingkan kedua pengalaman di atas, antara memberi kuliah dengan menyampaikan ceramah dalam pengajian, ada beberapa perbedaan mendasar antara keduanya. Salah satunya yang menarik adalah tentang pengelolaan massa. ketika dalam situasi kelas, saya harus konsentrasi menyampaikan pelajaran dengan serius. Bila ada mahasiswa yang tidak memperhatikan penjelasan saya karena ngantuk atau bicara sendiri, saya tentu merasa terganggu. Biasanya saya akan menghentikan sejenak perkuliahan sambil melempar senyum sampai situasi kembali tenang dan nyaman. Saya tidak ingin usaha saya sia-sia karena ada satu atau dua orang yang tidak peduli. Saya merasa bertanggung jawab untuk mengantar mereka mampu menguasai materi kuliah. Apalagi matakuliah yang saya pegang terkait dengan metodologi penelitian yang dikenal cukup rumit untuk dipahami.
Bagi mereka yang mengantuk, saya berikan kesempatan kepadanya untuk membasuh muka ke kamar mandi. Bagi mereka yang suka bicara sendiri, saya persilakan untuk bicara sepuasnya, sebelum kuliah diteruskan. Jika mereka sudah selesai bicara, saya baru melanjutkan proses belajar-mengajar. Dengan demikian, semua proses perkuliahan dapat saya kendalikan untuk mencapai target kompetensi yang ditetapkan. Alhamdulillah, dengan sistem itu, mahasiswa dapat dikelola dengan baik saat mengikuti proses belajar mengajar sehingga prestasi yang mereka capai pun tergolong memuaskan.
Beda halnya dengan pengajian, apalagi jika jamaahnya adalah ibu-ibu beserta sejumlah balitanya, pengajian bisa berubah bak pasar malam. Beberapa orang bisa dengan santai bicara sendiri tanpa peduli terhadap materi ceramah. Begitu pula sejumlah ibu sibuk untuk mendampingi anak-anaknya. Jelas saja, perhatian peserta pengajian menjadi terbagi dan kacau. Bagaimana sikap saya? Tentu saya tidak bisa bersikap setegas tindakan saya dalam kelas. Saya harus tetap tersenyum dengan melontarkan joke-joke segar seraya menyindir halus mereka. Saya dituntut untuk lebih sabar dan mampu menguasai diri. Jika tidak, mungkin saya akan marah dan turun podium dengan bersungut-sungut. Lucu kan? Oleh sebab itu, saya dituntut untuk tetap menyampaikan ulasan keagamaan dengan tenang seperti tidak terjadi sesuatu pun yang merisaukan hati.
Kini, pengalaman yang cukup berkesan itu telah mengajari saya untuk bersikap proporsional dalam menyikapi situasi yang berbeda. Ketika di kelas, saya lebih banyak memberikan kesempatan berdiskusi kepada mahasiswa agar hobi bicara mereka tersalurkan. Peluang bertukar pikiran menjadi semakin terbuka. Beda halnya ketika saya berhadapan dengan ibu-ibu pengajian. Saya harus bisa lebih tahan emosi, tetap konsisten bicara, dan fleksibel dengan situasi yang kurang menguntungkan. Dengan begitu, saya dapat menjalankan peran saya, baik dunia akademik maupun di dunia realitas, dengan lebih nyaman dan tetap menyenangkan. Wa Allah a’lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar