Minggu, 21 Maret 2010
MENELEPON KIAYI
Saya termasuk orang yang paling segan untuk berhubungan langsung dengan kiayi. Meskipun saya dulu pernah mampir belajar di pesantren, tetapi justru karena saya tahu aturan tatakrama bertemu kiayi, saya menjadi khawatir kalau-kalau saya bertindak kurang sopan menurut standar yang berlaku di kalangan pemimpin umat itu. Memang, diakui bahwa ada etika yang khusus berjalan di kalangan pesantren.
Mereka—maaf—ibarat kerajaan kecil yang mulia dan diagungkan. Contoh kecil, ketika berpapasan dengan kiayi , cara berjalan seorang santri akan mendadak berubah. Berbeda dengan halnya jika bertemu ustad, ia tidak terlalu mengubah gayanya. Di mata santri, kharisma kiayi jauh melebihi para ustad yang kerapkali justru sangat akrab dengan para santri.
Tetapi, berhubung saat ini saya mendapat mandat rektor untuk berkunjung ke Pesantren Riyadhul Jannah, Mojokerto, guna berguru tentang pengelolaan zakat dan wakaf, mau tidak mau saya harus mengkomunikasikan maksud tersebut dengan pemimpin pesantren itu. Kemarin ketika pak Rektor mengintsruksikan kunjungan itu, beliau sudah memberikan nomor telepon kiyai Mahfud, pengasuh pesantren, untuk segera dihubungi. Wah, ketar-ketir juga hati ini. Bagaimana cara berkomunikasi via telepon dengan kiayi besar sekelas Kyai Mahfud, pemimpin pondok pesantren yang besar itu?
Sesampai di kantor eL-Zawa, saya tidak serta merta mengambil gagang telepon lalu menekan tombol nomor, tetapi saya terlebih dahulu membuat beberapa catatan yang perlu saya sampaikan jika panggilan telepon itu diterima. Saya harus mempersiapkan mental dan menyusun kata-kata agar komunikasi awal ini bisa berjalan lancar. Setelah yakin dan siap, dengan membaca bismillah, saya mulai menghubungi nomor kiayi Mahfud. Tak lama kemudian, ada jawaban di seberang sana.
“Assalamu alaikum, Yai!” sapa saya.
“Wa alakum salam. Ini siapa ya?” suara kiayi dengan nada ragu.
“Saya Sudirman, Yai, utusan rektor UIN Malang, Prof Imam Suprayogo.” Jawab saya sekenanya.
“O…, inggih, wonten kerso, Mas?” Kalimat Kyai Mahfud yang terdengar ramah membuat debar hati saya mulai mereda. Saya tidak tahu, apa karena memang karakter beliau tidak seseram yang saya bayangkan, atau karena saya menyebut Prof Imam sebagai “password” pembicaraan.
“Meniko Yai, saya diutus Prof Imam untuk berkunjung ke Pesantren Yai, untuk berguru tentang pengelolaan zakat dan wakaf. Kira-kira kapan kami boleh berkunjung?”
“Inggih, Mas. Kapan mawon saget. Tapi, nyuwun ngapunten, dalem meniko tesik wonten ten Malaysia. Lajeng badhe nderek mu’tamar NU ten Makasar. Dos pundi umpami mangke awal April?” Ucapan kiyai Mahfud di seberang sana terdengar begitu sopan dan halus untuk sekedar bicara dengan seorang Sudirman. Pakai bahasa Jawa kromo lagi. Saya semakin salut dengan kiyai yang satu ini.
Daripada saya salah pilih kosa kata bahasa Jawa, saya jawab saja dengan bahasa Indonesia. “Inggih, Yai. Monggo kerso. Saya akan bicarakan dengan teman-teman untuk memastikan tanggalnya. Nanti saya akan menghubungi Yai kembali. Terima kasih banyak, Yai. Assalamu alaikum!”
Masya Allah, kekhawatiran saya benar-benar hilang setelah percakapan dengan kiayi Mahfud usai. Bener-benar plong! Ternyata saya bisa berkomunikasi dengan kiayi besar sekaliber kiyai Mahfud dan alhamdulillah, respon beliau begitu sejuk. Sungguh di luar dugaan!
Dari pengalaman ini, saya bisa memetik sebuah pelajaran bahwa tidak selalu benar bahwa kiyai itu hanya bisa disentuh oleh orang-orang sekelasnya. Saya yang orang awam ini ternyata bisa diterima dengan ramah dan menyenangkan. Inilah sosok kiyai yang sebenarnya. Wa Allah a’lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar