Selasa, 09 Maret 2010
DISKRESI HUKUM DALAM KASUS CENTURY
Kasus bank Century yang menyita perhatian masyarakat Indonesia dua bulan terakhir setidaknya telah menemui titik terang setelah panitia khusus (pansus) menyampaikan pandangan akhir di sidang paripurna DPR minggu lalu (2/3/2010). Kasus tersebut yang berawal dari krisis ekonomi kini mulai merambah ke wilayah hukum. Kasus kerugian negara sebesar 6,7 Trilyun itu bisa dipandang dari kacamata hukum sebagai langkah diskresi hukum. Diskresi sendiri memiliki arti sebuah kebijakan hukum yang sengaja dibuat untuk sebuah kemaslahatan. Memperhatikan pidato presiden Kamis lalu (4/3/2010), dapat dipahami bahwa upaya yang dilakukan pemerintah saat menghadapi krisis ekonomi di penghujung tahun 2008 merupakan sebuah langkah berani untuk menyelamatkan bangsa dari ancaman krisis moneter seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998. Masyarakat masih menyimpan trauma dan tentunya segan jika harus kembali terpuruk dalam jurang kemiskinan sebagaimana kisah sepuluh tahun yang lalu: harga sembako melambung tinggi, banyak perusahaan gulung tikar, dan ribuan karyawan harus dirumahkan. Sangat menyedihkan!
Kebijakan pemerintah yang akhirnya memilih opsi mengucurkan dana talangan untuk bank Century dianggap tepat karena situasi memaksa untuk memilih dari dua pilihan yang sama-sama pahit, yakni menutup bank Century atau menalangi keuangan bank Century. Biaya yang dikeluarkan untuk menutup bank juga setara dengan biaya untuk melakukan talangan bank tersebut. Oleh sebab itu, meskipun kini terbukti bahwa prosedur untuk pengucuran itu ternyata tidak seperti yang diharapkan-- sebagaimana hasil akhir kesimpulan mayoritas anggota pansus--namun tindakan tersebut dapat dianggap sebagai tindakan diskresi hukum yang dibenarkan.
Dalam kaidah ushul fikih, diskresi hukum bisa disejajar dengan ijtihad. Untuk melakukan ijihad, diperlukan keberanian dan daya kreasi yang tinggi sehingga mampu membuat satu aturan atau kebijakan yang bermanfaat secara luas. Ijtihad bisa saja salah, dan itu masih mendapat satu pahala. Ijtihad harus mampu menentukan satu pilihan yang paling ringan resikonya dan paling banyak maslahatnya (irtikab akhaf al-dhararain).
Dalam kehidupan nyata, kita sering sekali melihat fenomena diskresi hukum ini. Di perempatan lampu merah misalnya, kita tidak jarang melihat para polisi lalu lintas menyilakan para pengendara mobil dan motor untuk segera maju meneruskan perjalanan meskipun lampu masih berwarna merah. Konsekuensinya, para pengendara yang berada di jalur lampu hijau harus rela berhenti untuk menyilakan kendaraan dari arah lain berjalan lebih dulu. Pertimbangan polisi adalah untuk mengurang kepadatan lalu lintas dari arah jalur yang sesak dan ramai. Dengan demikian, meskipun melanggar hukum, tindakan tersebut dinyatakan legal demi kepentingan bersama yang lebih besar.
Contoh lain, mobil ambulans harus terus melaju meskipun lampu lalu lintas sedang menyala merah. Mobil ini juga bisa menggunakan bahu kiri jalan di jalan tol walaupun fungsi jalur bahu jalan sebenarnya hanya untuk parkir darurat. Selain itu, mobil-mobil lain harus mengalah untuk memberikan kesempatan kepada ambulans melintas terlebih dahulu. Ini sebenarnya tidak sesuai dengan aturan hukum berlalu lintas namun dapat diterima secara umum oleh masyarakat. Peristiwa ini juga bisa masuk dalam kategori diskresi hukum.
Dari kedua contoh di atas, kita bisa menerapkannya dalam kasus bank Century. Dulu, sebelum terbentuknya pansus Century, banyak rumor beredar di masyarakat bahwa dana talangan itu masuk ke kantong salah satu pasangan capres-cawapres. Dengan berakhirnya kinerja pansus, terbukti bahwa dana tersebut tidak masuk ke salah satu pasangan dalam pemilihan presiden tahun 2009 lalu. Kecurigaan itu akhirnya berkembang menjadi satu kesimpulan bahwa pemerintah telah berbuat salah dalam mengambil sikap sehingga merugikan negara hampir 7 Trilyun. Mungkin, jika dana talangan itu benar-benar masuk ke dana kampanye salah satu capres—yang sering disebut-sebut adalah pasangan SBY-Boediono--, nasib pemerintahan sekarang tentu semakin runyam. Tapi, ternyata indikasi itu dengan sendirinya terbantahkan dengan kesepakatan pansus bahwa bail-out itu adalah tindakan salah yang harus dipertanggungjawabkan adalah Boediono selaku gubernur Bank Indonesia dan Sri Mulyani sebagai ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK waktu itu.
Sekali lagi, kebijakan pemerintah bisa jadi benar telah menyalahi aturan, namun perlu dilihat secara jernih, yakni dalam konteks sebuah kebijakan yang dibuat di saat suasana genting. Keputusan harus segera diambil dengan mengambil resiko buruk yang lebih ringan. Dalam paparan presiden, resiko teringan itu adalah melakukan bail-out, bukan menutup bank. Terbukti kemudian bahwa kebijakan itu dapat menyelamatkan Indonesia dari krisis ekonomi makro sebagaimana pengakuan puluhan bankir yang menemui presiden beberapa waktu lalu. Indonesia menjadi salah satu negara yang mampu bertahan dari ancaman krisis sehingga indeks ekonominya justru mengalami pertumbuhan. Dengan demikian, diskresi ini harusnya mendapat dukungan dari masyarakat luas jika memang inti dari kebijakan itu justru berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Wa Allah a’lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar