Setiap orang memerlukan bergaul dengan sesamanya. Komunikasi sosial ini dirasakan penting demi menjalin hubungan akrab yang saling membutuhkan. Pola interaksi ini biasa disebut dengan simbiosis mutualisme (kerjasama yang saling menguntungkan). Namun, tidak dipungkiri bahwa ada kalanya sebagian masyarakat merasa dirinya lebih unggul dari sebagian yang lain, misalnya dari segi harta, pangkat, popularitas, atau ilmu pengetahuan. Gradasi ini sering menimbulkan gesekan-gesekan sosial yang pada akhirnya akan membuat pola hubungan yang berubah, dari mutualisme menjadi komensalisme (kerjasama antara pihak pertama yang diuntungkan sedangkan pihak kedua merasa tidak menerima manfaat) atau bahkan parasitisme (kerjasama antara pihak pertama yang diuntungkan sementara pihak kedua merasa dirugikan).
Ketika pola interaksi itu menjadi simbiosis parasitisme, kecenderungan untuk bersikap individualis dan egois semakin nyata. Fenomena ini lebih kelihatan dalam pola interaksi masyarakat kota yang hidup di kompleks perumahan elit. Sulit kiranya melihat mereka bekerja sama untuk membersihkan lingkungan atau memperingati hari-hari besar. Sepertinya mereka hanya butuh tempat istirahat di kawasan rumah mewah itu dan bukan untuk berkomunikasi dengan lingkungan. Ketika ada himbauan untuk kerja bakti atau kegiatan sosial di perumahan, mereka lebih senang diwakili pembantu atau pesuruhnya. Mereka malah takut kalau dekat dengan masyarakat di sekitarnya karena bukannya ia mendapatkan keuntungan, justru ia akan dirugikan, seperti dimintai sumbangan atau bekerja tanpa imbalan. Padahal, di luar sana, sejumlah pekerjaan yang menguntungkan telah menunggu.
Sebenarnya, hidup di kawasan pedesaan, sikap merasa selalu diperlukan oleh masyarakat sekitar bisa saja timbul. Perasaan ini umumnya dipicu oleh rasa tinggi hati yang telah merasuk di dalam dada. Seorang modin, misalnya, akan mudah dijangkiti penyakit egoisme karena ia dianggap sebagai orang penting di kampungnya. Ia bisa saja berkata bahwa tanpa dia, urusan masyarakat tidak dapat diselesaikan dengan tuntas. Kebiasaan diagungkan dan dinantikan dapat memicu keyakinan modin bahwa dirinya bukan sembarang orang. Ia akan merasa dirugikan oleh banyaknya keinginan masyarakat yang terus-menerus meminta perannya padahal ia tidak mendapat imbalan setimpal. Oleh sebab itu, ia akan dengan seenaknya memperlakukan masyarakat sekelilingnya.
Satu hal yang patut direnungkan oleh modin itu adalah perlunya ia menata hati bahwa ia adalah manusia juga. Ia bukannya orang sempurna yang tidak lepas dari kesalahan. Ia juga memerlukan bantuan orang lain. Ketika ia dielu-elukan, semestinya hal itu tidak membuatkan berbangga hati yang kemudian menyebabkan tinggi hati, namun ia harus menganggapnya sebagai karunia ilahi yang suatu saat akan pergi. Artinya, saat ini ia berkuasa, namun kelak ia akan menjadi warga biasa yang tidak lagi begitu dibutuhkan seperti saat ini. Ia perlu belajar meyakini bahwa ia adalah orang biasa. Dengan begitu, ketika masyarakat tidak lagi memberi penghormatan berlebih, ia tidak mengalami sindrom pasca berkuasa. Ia tidak gila hormat dan bisa menjalani sisa hidup dengan tenang. Watak semacam ini perlu dihayati dan diyakini sebagai salah satu solusi untuk menghadapi sikap masyarakat yang berubah saat bertemu dengannya kelak.
Akhirnya, untuk menjadi warga yang baik, pola interaksi yang diutamakan adalah pola simbiosis mutualisme. Hanya saja, kadang ada sebagian orang yang karena kedudukannya ingin dihormati selamanya. Padahal, penghormatan itu bisa jadi karena ia memegang jabatan penting. Ketika jabatan itu telah hilang, ia akan menjadi warga biasa. Oleh sebab itu, melatih hati untuk selalu merasa sebagai orang biasa akan membantu kita lebih bahagia saat peran kita tidak lagi diperlukan oleh masyarakat. Wa Allah a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar